Share

Bab 4 Siapa Wanita itu?

"Wah, enak banget makanannya," puji Caca dan segera duduk di kursi meja makan. 

Aku hanya tersenyum tipis mendengar masakanku dipuji oleh adik iparku. Dan tak berapa lama kemudian, Caca pun memanggil ibunya untuk makan bersama, sementara aku juga berniat untuk duduk dan makan bersama mereka. 

"Ayo, Bu. Kita makan dulu."

"Iya, Sayang."

Mereka pun menyantap makanan buatanku dengan begitu lahap, sedangkan aku kini sudah duduk di sebuah kursi kosong yang ada di samping Caca. 

"Kamu ngapain duduk di situ?" tanya ibu mertuaku lengkap dengan tatapan mematikannya. 

Aku langsung tersentak kaget dan senyum tipis yang sempat kuukir tadi hilang begitu saja bagai ditelan bumi. 

"Aku mau makan sama kalian," jawabku dengan terbata sambil menatap Caca dan ibu mertuaku secara bergantian.

Caca langsung menahan tawanya yang hampir lepas sambil memutar bola matanya ketika menatapku, sedangkan ibu mertua langsung menatapku dengan tatapan sinis sambil berkata, "Makan dengan kami? Heh ... mending kamu makan di tempat lain aja, lihat noh si Aira nangis di luar."

Hatiku bagai disayat-sayat mendengar ucapan mereka, mungkin bagi mereka ini adalah hal yang biasa, tetapi bagiku ini adalah hal yang sangat menyakitkan. Ingin rasanya air mataku tumpah detik itu juga karena mereka mengusirku begitu saja, tetapi aku masih berusaha kuat dan memilih meninggalkan meja makan itu. 

Aku berjalan menuju ruang keluarga dengan sebuah piring berisi makanan di tanganku. Padahal, saat ini Aira tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Ia hanya sibuk bermain di ruang keluarga dengan boneka kesayangannya. 

"Ya tuhan ... mau sampai kapan aku seperti ini? Kapan keberadaanku dianggap?" gumamku dengan lirih. 

Aku mengunyah makanan itu dengan pelan sambil meneteskan air mata. Padahal, makanannya terasa nikmat, tetapi kenapa bagiku sangat hambar. Hampir setiap hari batin dan mentalku dihajar oleh suamiku dan keluarganya. Ada rasa ingin menyerah, tetapi aku juga tidak tega melihat anakku memiliki orang tua yang berpisah. 

***

Waktu terus berlalu dan tak terasa kini malam telah tiba. Mas Rendy juga baru pulang kerja dan langsung membaringkan tubuhnya begitu saja. 

"Mas, kamu udah pulang. Aku siapkan air hangat dulu ya," ucapku dengan antusias.

"Hemm ..."

Seperti biasa, Mas Rendy hanya bergumam tanpa menatapku dan hal itu yang lagi-lagi membuatku menghela nafas panjang. Aku tidak mau protes lagi, dan lebih memilih berjalan menuju kamar mandi menyiapkan semuanya untuk Mas Rendy. 

Setelah semuanya sudah selesai, aku pun keluar dan berjalan menghampiri Mas Rendy, "Mas, airnya udah siap. Sana mandi, aku mau buatkan kamu jahe hangat dulu."

Tanpa sepatah kata, ia berlalu begitu saja menuju kamar mandi. Aku hanya bisa diam dan menatap punggungnya hingga menghilang dari pandanganku. 

"Kamu kok semakin hari semakin berubah sih, Mas? Apa lagi kesalahan yang aku perbuat sampai kamu berubah seperti itu?" gumamku dan segera berjalan ke dapur untuk membuatkan Mas Rendy minuman jahe hangat. 

Aku benar-benar tak habis pikir dengan sikap suamiku dan keluarganya yang semakin hari semakin membenciku saja, padahal aku sendiri tidak mengetahui di mana letak kesalahanku. Apa karena aku tidak memiliki pekerjaan?

Hatiku benar-benar sakit ketika mengingat itu semua karena sebelumnya mereka memang sangat damai kepadaku sebelum kejadian naas itu menimpaku. Mereka semakin berubah ketika mengetahui kalau aku sudah tidak memiliki tabungan lagi.

Aku yang dulu sangat disayangi dan dimanja, kini malah berbanding terbalik. Mereka malah menghinaku habis-habisan dan lebih parahnya menyangkutpautkan pendidikanku dengan keadaanku saat ini.

Cukup lama aku melamun di dapur mengingat kenangan indah bersama mereka. Kebersamaan yang terjalin begitu baik di mana aku bisa merasakan kebahagiaan bersama mereka, tetapi sekarang malah berbanding terbalik. 

"Huh ... sudahlah, mungkin ini sudah jalannya. Mungkin aku perlu banyak bersabar aja agar tidak tersinggung dengan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya," ucapku yang terus mensugesti diri sendiri ke hal-hal yang lebih positif. 

"Mungkin, sudah saatnya aku harus berusaha lagi untuk bisa bekerja seperti semula. Semakin Aira besar, maka kebutuhannya juga akan semakin besar. Aku tidak bisa kalau hanya mengandalkan gaji dari Mas Rendy saja, apalagi ia begitu pelit," jelasku lagi.

Aku kembali berjalan menuju kamar dengan secangkir jahe hangat di tanganku. Sampai saat ini, Mas Rendy belum juga keluar dari kamar mandi. Aku pun meletakkan minuman itu di atas meja dan berjalan mendekati lemari untuk menyiapkan baju ganti. Hanya sebuah kaos oblong berwarna putih dan celana pendek yang aku ambil.

Namun saat aku hendak menyimpan pakaian ganti Mas Rendy di atas tempat tidur, tiba-tiba saja ponsel Mas Rendy berbunyi pertanda ada panggilan yang masuk. Aku sedikit ragu untuk mengangkatnya karena menghargai privasi suamiku. Beberapa kali aku melihat ke arah kamar mandi, tetapi Mas Rendy belum juga keluar. 

"Apa aku angkat aja? Siapa tau penting," gumamku sambil meraih benda pipih yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. 

Aku melihat sejenak ke arah pintu kamar mandi, tetapi belum ada tanda-tanda kalau Mas Rendy akan keluar. Aku pun mengambil benda pipih itu dan melihat nama "Wilson" di sana. Sebuah nama yang menurutku sangat asing. 

"Wilson? Apa ini temannya?" gumamku sambil mengerutkan kening.

Hingga pada akhirnya, akupun memutuskan untuk menjawab panggilan itu karena takutnya itu adalah hal penting. Akupun menggeser tombol hijau pada benda pipih itu dan mendekatkannya pada daun telinga.

"Halo," sapaku dengan pelan. 

["Halo, Sayang. Eh, ini siapa ya?"] balas seorang wanita dari seberang sana. 

Mendengar suara wanita, seketika tubuhku lemas seolah tidak ada lagi tenaga di dalamnya. Hati dan pikiranku mulai tak karuan dan segala macam pikiran negatif itu berputar di kepalaku.

"Siapa wanita ini? Kenapa dia memanggil dengan sebutan kata sayang?" gumamku dengan tangan yang gemetar. 

Aku seolah tidak sanggup untuk mendekatkan kembali benda pipih itu pada daun telingaku. Hatiku sangat sakit bagai diterpa ribuan beda tajam, meskipun aku belum tahu ada hubungan apa wanita itu dengan Mas Rendy. 

["Halo, ini siapa ya? Halo?"] ucap wanita itu lagi dari dalam telepon. 

Aku langsung menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan pelan agar bisa bertanya lebih detai mengenai siapa sebenarnya sosok wanita itu dan apakah ada hubungan dengan Mas Rendy atau tidak?

Setelah merasa lebih tenang, ia pun mendekatkan kembali benda pipih itu pada daun telinganya dan dengan hati dan pikiran yang tak karuan, ia memaksakan diri untuk bertanya pada wanita itu secara langsung. 

"Halo, Mbak. Maaf sebelumnya? Mbak ini siapa ya? Kok malam-malam begini nelpon ke nomor suami saya?" tanyaku dengan nada pelan. 

Belum sempat wanita itu menjawab, tetapi tiba-tiba saja ponsel Mas Rendy direbut yang justru membuatku tersentak kaget.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status