Dipta mempercepat langkah menuju kamar rawat Cindy, diikuti Karin yang tergopoh-gopoh di belakang, kesulitan mensejajarkan langkah. Gadis yang masih duduk di kelas tiga SMA itu kembali drop. Padahal dua hari yang lalu, setelah Dipta meninggalkan Aina dan menyempatkan diri ke rumah sakit untuk memeriksa keadaannya, kondisi Cindy sudah membaik.
Pintu kamar Cindy terbuka. Di dalam sudah ada perawat yang sedang membersihkan muntahan yang berceceran di lantai, sedangkan orang tuanya berdiri di samping ranjang Cindy, menatap putrinya dengan tatapan cemas.
Dipta mendekat setelah sang perawat selesai membersihkan sisa-sisa muntahan di lantai. Dia menatap gadis itu iba. Tubuhnya masih kurus, namun tidak sepucat saat pertama kali masuk ke rumah sakit. Bibirnya kini membiru pecah-pecah dengan kulit yang mengelupas di beberapa tempat. Terlalu sering muntah pasti membuatnya dehidrasi.
"Kamu memuntahkan makanan lagi?" Dipta bertanya seraya mengecek roller clamp guna mem
Aina menghentak-hentakkan kakinya kesal ketika melangkah menuju warung makan di seberang jalan. Bel istirahat baru berbunyi beberapa saat yang lalu. Sebelumnya, Aina berniat makan di kantin saja. Namun, tempat itu begitu penuh, bahkan bisa dibilang sesak. Aina menjadi kesal karenanya.Hari ini suasana hatinya sedang sangat berantakan. Sepertinya semua hal yang terjadi hari ini selalu membuatnya kesal. Anak muridnya yang ngeyel saat dinasehati, rekan gurunya yang berisik saat Aina sedang mengoreksi ulangan siswanya di kantor, juga kejadian tadi. Saat dia hendak makan dan kantin malah penuh. Menyebalkan.Sejak pagi hari dia sudah uring-uringan. Masih teringat jelas bagaimana Dipta bercerita dengan entengnya semalam, bahwa dia menyuapi perempuan lain makan, bahkan tanpa rasa bersalah lelaki itu masih berani memeluknya! Apa dia tidak tau kalau Aina sedang marah? Dipta selalu saja begitu.Sudah bukan rahasia lagi bahwa Dipta selalu bersikap kelewat baik kepada siapa
Sesuai dengan yang dijanjikan Dipta tempo hari, akhir pekan ini dia mengajak Aina untuk ke mall bersama Yudi dan istri serta anaknya. Mereka janjian bertemu di tempat parkir salah satu mall terkenal di Jogja pukul sepuluh pagi. Nantinya mereka akan mencari makan terlebih dahulu sebelum berkeliling pusat perbelanjaan itu.Pukul sembilan pagi Aina sudah menyajikan kopi di meja suaminya. Dipta baru saja masuk kamar setelah selesai mandi saat indera penciumannya menangkap aroma nikmat dari atas meja kerja. Masih dengan melilitkan handuk di pinggang, Dipta meraih cangkir keramik putih itu dan menyesap kopinya. Sedangkan Aina sudah kembali ke dapur untuk membersihkan tempat itu. Dia juga menyempatkan diri membuat teh untuk dirinya sendiri.Selesai membersihkan dapur serta membuang sampah ke tong sampah besar di pinggir jalan depan rumah, Aina beralih menyapu ruang tv sampai ke ruang tamu. Sebenarnya ruangan-ruangan itu tidak terlalu kotor, karena
Aina dan Dipta pulang ke rumah. Begitu memarkirkan kendaraan di halaman, Dipta langsung membantu Aina turun dan segera membawanya masuk ke kamar. Setelah memastikan Aina rebahan dengan nyaman, dia bergegas ke dapur untuk membuatkan teh hangat dan juga menyiapkan makanan.Di dalam kamar, Aina terpekur. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikirannya. Perkataan ibu-ibu tadi masih terngiang di telinga. Hamil? Benarkah? Ucapan ibu itu membuatnya ingat kalau tanggal menstruasinya sudah lewat beberapa minggu. Namun, selama ini dia berpikir bahwa itu adalah efek samping dari obat-obatan yang dia konsumsi.Aina menggelengkan kepala kuat-kuat. Jangan berharap lebih, dia mengingatkan dirinya sendiri. Pasti dia terlambat datang bulan karena obat-obatan yang dia konsumsi mempengaruhi keseimbangan hormon dalam tubuhnya. Ya, pasti karena itu.Dipta masuk membawa nampan berisi teh hangat dan juga semangkuk bakso yang tadi mereka beli. Aina menegakkan punggung begitu Dipta dudu
Keesokan harinya—tepatnya Kamis pagi, Aina sudah bersiap-siap untuk ke dokter kandungan. Sehari sebelumnya, dia telah membuat janji dengan seorang dokter spesialis di rumah sakit tempat Dipta bekerja. Namun, karena janji temunya pukul sembilan, sementara Dipta berangkat kerja pukul tujuh, mereka tidak bisa berangkat bersama. Nantinya mereka akan bertemu di rumah sakit dan Dipta akan menemani Aina memeriksakan kandungannya.Aina berangkat ke rumah sakit dari sekolah tempatnya mengajar. Sebelum berangkat, dia menyempatkan diri meninggalkan tugas untuk anak didiknya di kelas dan meminta izin kepada guru piket untuk meninggalkan jamnya karena dia akan memeriksakan kandungan."Bu Aina hamil?" tanya Bu Rohayati dengan suara nyaring."Sssttt! Jangan keras-keras, Bu. Nanti yang lain mendengar." Aina mengedarkan pandangan was-was. "Saya baru mau periksa.""Alhamdulillah ...," ucap Bu Rohayati. "Ya sudah
Dipta duduk dengan tidak tenang di meja kerjanya. Ruangan empat kali empat meter bernuansa putih itu tak lagi terasa nyaman untuk dia tempati. Jemarinya mengetuk-ngetukkan ujung bolpoin ke dagu. Kertas-kertas berserakan di atas meja, sementara dirinya sendiri sedang termenung. Pikirannya melayang jauh ke rumah, tempat istrinya sedang terbaring sendirian.Sejak tadi pagi, Dipta sudah tidak fokus bekerja. Dia harus meninggalkan Aina untuk bed rest, tetapi wanita sendirian di rumah. Sebelumnya, Dipta sudah meminta izin kepada kepala sekolah di tempat Aina mengajar agar Aina diizinkan libur karena dia sedang hamil muda. Dan syukurlah, Pak Yusuf memberikan cuti satu minggu untuk Aina. Namun, sekarang yang jadi masalahnya adalah Aina sendirian di rumah. Dipta merasa khawatir.Awalnya dia ingin meminta tolong istri Yudi untuk datang ke rumah dan menemani Aina. Namun, niat itu dia urungkan karena takut justru nanti Aina tidak bisa istirahat karena h
Berita tentang kehamilan Aina sudah menyebar ke mana-mana. Setelah memastikan bahwa Aina hamil dan kandungannya sehat, Dipta memberitahu kabar bahagia itu kepada orang rumah. Keluarganya, pun keluarga Aina menyambut gembira berita itu. Mamanya bahkan datang jauh-jauh ke Jogja untuk menemui menantu kesayangannya itu.Sementara keluarga Aina belum ada yang bisa datang. Semuanya masih sibuk. Ayah dan bundanya, adik-adiknya, mereka semua masih dibelenggu pekerjaan masing-masing. Namun, bundanya sudah berjanji akan datang bulan depan, saat acara empat bulanan Aina.Mama sudah tinggal di rumah mereka hampir seminggu. Beliau yang sudah berhenti bekerja, kini bisa leluasa bolak-balik ke Jogja untuk menemani Aina. Dipta juga senang karena mamanya bisa menjadi teman Aina saat dirinya harus lembur di rumah sakit.Memang, pagi sampai sore Aina masih mengajar. Namun, jika Dipta lembur sampai malam, Aina harus sendirian di rumah malam hari. Karena sekarang ada Mama, Ain
Gumpalan awan hitam menutupi seluruh cakrawala. Berkas sinar matahari bahkan kesusahan menembusnya. Angin berembus kencang, mengantarkan tetesan air hujan menggedor-gedor jendela kaca sekaligus menambah parah hawa dingin yang sejak pagi tadi menyelimuti kota Jogja.Aina termenung di kursinya, memandangi derasnya air yang mengguyur bumi di luar sana. Kilat dan petir bersahut-sahutan, seakan berebut untuk meramaikan suasana. Wanita yang mengenakan seragam abu-abu itu mendekap tubuh. Hawa dingin menusuk tulang. Teh hangat di cangkirnya tak mampu menolong. Jemarinya meraih ponsel, membuka aplikasi chatting, lalu mencari nomor sang suami.Pukul setengah enam sore. Seharusnya Dipta sudah menjemput. Namun, hingga ruang guru hampir kosong, suaminya itu belum juga menghubungi. Padahal, lelaki itu biasanya menjemput sebelum pukul lima. Sebenarnya dia bisa saja pulang sendiri, kalau hujan di luar sana berhenti. Namun, derasnya air yang turun memaksanya
Dua hari Aina mendiamkan Dipta di rumah. Selama dua hari itu, dia sama sekali tidak berbicara, atau menanggapi apa pun yang dikatakan Dipta. Padahal lelaki itu sudah mengerahkan segala upaya untuk memenangkan hati wanitanya, tetapi hasilnya nihil.Sebenarnya Aina masih melakukan pekerjaan rumah, juga melayani Dipta seperti biasa. Dia hanya tidak mau bicara. Namun, bukankah itu sama saja seperti tinggal di kastil neraka? Megah, namun mencekam. Siapa juga laki-laki yang betah didiamkan lama-lama. Akhirnya Dipta memilih ikut diam. Bukan untuk balas dendam, tetapi lebih kepada ingin memberikan waktu untuk Aina menyendiri.Pukul setengah delapan pagi Dipta tiba di halaman parkir rumah sakit. Dia memilih parkiran belakang sebagai tempat istirahat mobilnya. Turun dan mengunci mobil, Dipta kemudian melanjutkan langkah menuju kafetaria untuk membeli kopi hitam panas dan membawanya ke ruangan.Di persimpangan sebelum sampai ke ruangannya, Dipta berpapasan dengan Yudi. Lel