Setelah selesai, wanita itu meminumkan airnya kepada Suci. Sisanya dia percikkan. Setelah itu, semuanya hening. Tidak terjadi apa pun. Suci yang lemah, kian bertambah lemah. Orang-orang yang menungguinya pun semakin resah.
"Insya Allah dengan pertolongan Allah, anak ini akan lahir. Tiada Tuhan yang dapat disembah dan tiada sebaik-baiknya menolong kecuali Allah." Dea menutup rangkaian doanya sambil memegang perut Suci.Tiba-tiba saja entah bagaimana, suci yang sudah terkulai kembali menegakkan kepalanya. Dia berkata, "Tolong, Suci mau ngeden, Buk."Dea langsung pergi ke ke ujung ranjang, dia menunggu di bawah. Bidan yang tadi keluar, tiba-tiba masuk kembali. Mereka ikut membantu Dea.Lalu, dengan tiga kali, dorongan bayi tersebut terlahir ke dunia.Semua orang yang ada di sana serempak mengucapkan alhamdulillah tatkala mendengar suara tangisan bayi. Mereka terharu, wajah-wajah yang tadinya gusar kini telah lega.Sang bayi diambil oleh dukun beranak yang ikut bersama bidan tersebut, sedangkan Suci diurus oleh sang bidan. Dea sudah selesai melakukan tugasnya, wanita itu pun mencuci tangan dan keluar.Zuhal menyambut istrinya, dan orang-orang yang tadi menunggu bersama Zuhal menyalami Dea. Saat itu dia merasakan kebahagiaan yang mereka pancarkan dan perasaan itu kian besar saat dia menyadari bahwa kebahagiaan yang terlihat di wajah mereka adalah karena dirinya. Dia berhasil menyelamatkan satu nyawa ibu dan bayi yang tak berdosa.Dea duduk di kursi sofa, didampingi sang suami. Beberapa wanita muda mempersilakan Dea untuk minum dan makan panganan yang sudah tersaji. Perempuan-perempuan yang Dea taksir masih berusia sekolah itu mengantre untuk menyalami Dea."Sudah-sudah, biarkan Buk Dea minum dulu," kata Makcik memotong. "Silakan diminum, Nak," kata Makcik. Wajah perempuan itu tampak bahagia, air mata bahagia mengalir dari netranya.Zuhal yang tadi sempat tercengang, kini takjub dibuat oleh sang istri. Dia ingin bertanya banyak hal pada Dea, tetapi urung dilakukan. Nanti saja pas di rumah, pikir Zuhal.Dea dan Zuhal duduk di sofa, sementara itu warga sudah ramai memadati rumah Suci. Mereka berkumpul di luar, membicarakan apa yang Dea lakukan barusan. Pertanyaan-pertanyaan meluncur dari mulut mulut polos mereka. Semuanya heran terhadap keajaiban yang baru saja Dea lakukan. Seolah-olah kejadian itu makin menambah keabsahan kalau tangan Dea memanglah berat (besar ilmunya)."Tadi padahal sudah mau dibawa ke rumah sakit, mau dibelah perutnya, tapi sama Dea dibacakan ke air putih, dipercikin langsung keluar tuh anak," kata seorang warga. Mereka kini tak malu-malu lagi membicarakan Dea di depan orangnya langsung.Dea yang dibicarakan hanya bisa menunduk malu. Dia tidak tau harus merasakan apa saat ini, bangga, malu, biasa-biasa saja atau bagaimana?"Kita pulang saja, Bang. Sudah siang, matahari juga sudah tinggi. Sebentar lagi Ayu sama Sita pasti minta makan. Neneknya repot ntar," kata Dea pada Zuhal.Mereka berpamitan pada Makcik. Namun, orang tua itu mencegahnya."Tunggu, Nak. Sebentar," kata Makcik.Dea dan Zuhal yang berdiri terpaksa duduk kembali. Tak lama setelah itu, Makcik muncul dari kamar dan membawa sebuah amplop."Cuma ini yang bisa kami berikan, Nak," kata wanita itu sembari mengangsurkan amplop.Dea sentak menolaknya. "Terima kasih, Makcik, tapi Dea ikhlas. Yang penting Suci dan anaknya sehat," kata Dea.Dia benar-benar ikhlas, semua itu pun berkat pertolongan dari allah. Jika tidak, tidak ada yang akan terjadi jika bukan izin dari Allah.Tak lama setelah itu, mereka berpamitan. Warga masih berkumpul di rumah Suci, beberapa menyalami Dea sebelum dia berlalu. Kabut telah pergi, membawa cahaya mentari kembali menyinari Desa Kunti.Cahaya merah yang tadinya datang bersama kabut, mendadak hilang begitu Dea datang. Kilau sinar putih melingkupi rumah ibu yang akan melahirkan itu. Bersamaan dengan hilangnya kabut, suara lengkingan kembali terdengar."Bang, Abang dengar suara orang berteriak?" tanya Dea.Zuhal yang tidak mendengar apa pun hanya menggeleng. "Jangan macam-macam, Dek. Kita mau melewati tugin keramat, nih."Dea memandang ke depan, ada tugin (tanah yang meninggi karena dibuat sarang oleh rayap) di samping kanan jalan setapak itu, tepat di seberang parit."Apaan memangnya, Bang? Sarang rayap aja kan?" tanya Dea."Lah, Adek memangnya gak tau? Tugin ini tempat tinggal jin, jangan ngomong macam-macam kalau pas mau lewatin ini?"Sontak Dea tertawa. "Abang dengar dari mana?""Dari kecil abang sudah dikasi tau Ibuk. Teman-teman abang juga. Masak Adek gak tahu?" Zuhal heran karena biasanya anak-anak kampung tahu apa itu tugin dan kisah horor di baliknya."Dea itu besar di kampung santri dan di pondok pesantren, tahayul begituan gak ada di sana, Bang," kata Dea.Zuhal tertawa. "Nah, begini baru istri abang," katanya. "Tahayul begitu memang ga boleh dipercayai, tapi keberadaan jin dan setan wajib kita percayai karena mempercayai hal gaib itu sebagian dari rukun iman. Perihal mereka mendatangkan bahaya buat kita, itu enyahkan aja jauh-jauh," kata Zuhal."Oh, jadi Abang teh ngetes?" tanya Dea.Zuhal tertawa. Dea juga tertawa. Mereka berlalu dan mengabaikan suara pekikan yang terdengar tadi.Desa Kunti kembali tenang, tetapi sesuatu yang menghuni lereng bukit tampak kacau. Seorang wanita yang buruk rupa, kini tampak berdarah-darah. Dia memohon ampun pada sosok berbaju merah yang melayang-layang di depannya."Maafkan hamba, Nyai. Mohon berikan pertolongan Nyai," katanya dengan wajah memelas.Sosok yang dia panggil Nyai itu tertawa melengking. Tawanya yang menyeramkan membuat binatang liar tunggang langgang. Wanita yang menghiba itu bersujud, takut akan murka sosok berbaju merah tersebut.Tubuh wanita itu gemetaran, giginya bergemeletuk. Dingin yang menggigit membuat dia ingin mati membeku rasanya."Maafkan saya, Nyai. Tolong berikan kesempatan. Akan saya carikan ibu dan bayi lain untuk makanan, Nyai.""Jika kau gagal, maka tubuhmu yang akan kumakan," kata sosok itu.Wanita tersebut menggigil. Dia mengangguk. Namun, perlahan-lahan suasana di sekitar tempat itu mulai menghangat, pertanda siluman tersebut sudah pergi.Wanita itu bangun, dia memegangi perutnya yang terluka. "Sialan perempuan itu, akan kubuat perhitungan dengannya!" katanya dengan wajah marah.***Tak lama setelah Dea dan Zuhal sampai di rumah, Tarman rupanya baru sampai juga. Pemuda itu tampak terengah-engah."Dari mana, Man?" sambar Zuhal.Tarman terkejut melihat iparnya. "Anu ... itu!""Zuhal, Dea sudah pulang? Ayu minta makan itu, dikasi makan dulu," kata Pak Roslan.Ayu menghampiri ibunya dan merengek-rengek meminta makan. "Iya, sabar ya, Nak. Hayuk kita makan, ajak nenek sekalian," kata Dea pada Ayu.Tarman langsung masuk dan naik ke atas. Zuhal memperhatikan adik iparnya tersebut, ada yang aneh menurut Zuhal.Tadi Tarman keluar dengan baju abu-abu, tetapi sekarang dia memakai baju hitam. Dari manakah pemuda itu?Zuhal menyimpan kecurigaan dalam hatinya.Setelah ketegangan di pagi itu, Dea akhirnya bisa menikmati istirahat di malam hari bersama anak dan suaminya. Setelah melaksanakan salat isya, dia berbaring di kasur bersama suaminya. Tadi sore mereka pun telah resmi menamai anak si Tarman. Abdurrahman Farizi nama bayi laki-laki itu. Tepat di hari ke-7 kematian Maya, bayi itupun akhirnya punya nama.Sita dan Ayu sangat senang, mereka yang sejak dulu menginginkan adik kecil laki-laki memperlakukan Farizi dengan penuh kasih sayang.Setelah drama Suci melahirkan tadi pagi, warga berbondong-bondong datang ke rumah Pak Roslan, mereka semua ingin bertemu Dea. Beberapa juga mengantarkan hasil kebun, ternyata mereka semua adalah keluarga Suci."Terima kasih sudah menyelamatkan Suci, Nak. Kalau ndak ada kamu, mungkin dia sudah lewat," kata ibu Suci.Wanita berusia setengah abad yang sering dipanggil Mbah itu, menyalami Dea dan hampir mencium tangannya. Namun, Dea mencegah beliau melakukan itu."S
Dea terperanjat lalu menjauh dari dinding. Suara itu ... suara itu benar-benar menakutkan. Bulu romanya merinding. Suara teriakan itu sangat jelas di telinganya, seakan-akan sumber suara tersebut berada begitu dekat. Dea memucat, tubuhnya dingin. Wanita itu mencoba membangunkan suaminya."Bang ... Bang!" Wanita itu mencoba membangunkan Zuhal."Bang, Bang!" katanya sembari menggoyangkan tubuh sang suami.Dea duduk di dekat suaminya dan Zuhal pun terbangun. Lelaki itu duduk. "Apa, Dek?" tanya Zuhal."Abang dengar suara gak, Bang?" tanya Dea."Gak dek," jawab Zuhal sambil menguap."Ya Allah, ada suara dari kamar Tarman. Dea dengar jelas tadi," kata Dea.Zuhal mengucek matanya dan berdiri. Pria itu membuka pintu dan menengok keluar sebentar, tak lama dia pun masuk kembali. "Gak ada apa-apa di luar? Suara apa? Adek yakin?" tanya Zuhal."Suara teriakan perempuan, Bang," kata Dea.Saat Dea mengatakan itu, tiba-tiba saja terdengar tawa cekikikan dari luar. Sejenak, keduanya membeku. Suara ce
Pak RT dan Pak Roslan naik ke mobil, saat Zuhal mau ikut, bapaknya melarang. "Jaga Ibuk dan keluargamu di rumah, biar bapak yang pergi," katanya."Iya, Pak," ujar Zuhal, lalu dia pun turun dari kendaraan roda empat itu.Tak lama, kendaraan itu pun pergi meninggalkan rumah tersebut. Zuhal dan para pemuda duduk di depan rumahnya, berjaga-jaga."Bang, kami bisa jaga di rumah Abang, kalau Abang mau," kata pemuda lainnya yang tertinggal."Pulanglah, istirahat di rumah kalian. Ada abang di sini Abang bisa," kata Zuhal menimpali.Pemuda-pemuda itu pun bubar, begitu juga dengan warga lainnya. Beberapa masih berjaga di luar. "Tadi kalian ngeliat sesuatu, ya?" tanya Zuhal pada pemuda tanggung yang masih ada di teras rumahnya."Iya, Bang. Kayak orang pakai baju merah gitu, melayang-layang," sahut pemuda itu.Zuhal yang sudah tahu arah pembicaraan mereka, hanya diam. Tak lama kemudian para pemuda itu pun pulang ke rumah ma
Zuhal bertandang ke rumah pak RT setelah berdiskusi dengan Dea. Sebagai kamuflase agar kepergian mereka tidak dicurigai kedua orang tuanya, Dea dan Zuhal beralasan mengirim kue kepada seluruh warga kampung dari hasil kebun pemberian mereka kemarin.Mertua Dea paham dan tidak curiga sama sekali. Kebetulan, rumah Pak RT sangat dekat. Sekitar 2 menit saja menggunakan motor. Jika mereka pergi lama pun, Marini dan Pak Roslan akan menganggap keduanya masih mengantar kue.Dea dan Zuhal mengetuk pintu begitu mereka sampai. "Assalamualaikum ... Assalamualaikum."Tak lama kemudian, terdengar sahutan dari dalam. "Waalaikumsalam."Ternyata istrinya Pak RT yang membuka pintu, beliau dikenal dengan sebutan Bu Reni."Oh, Nak Zuhal, Nak Dea. Masuk masuk." Bu Reni mempersilakan keduanya masuk.Dea dan Zuhal pun mengikuti wanita itu, tak lupa Dea menyerahkan kue yang sudah dia bawa. "Silakan duduk," kata wanita itu sembari tersenyum.
"Yang jelas, mungkin saja ... Ini hanya mungkin ya, Dea ini memiliki kemampuan untuk menghalangi pemuja setan ini dari menumbalkan ibu-ibu yang akan melahirkan. Seperti yang kakek buyutnya lakukan dahulu."Dea kaku, lidahnya kelu. Dia tidak tahu akan mengatakan atau melakukan apa. Jika benar, maka kekuatan ini datang dengan tanggung jawab yang besar. "Saya hanya wanita lemah dan ibu rumah tangga biasa Pak RT, bagaimana mungkin saya bisa melakukan hal sebesar itu?""Mungkin kalian tidak akan percaya, tetapi jangan sampai ketidakpercayaan kalian bisa membuat pemuja setan itu itu semakin merajalela. Kejahatan harus dihancurkan. Bukankah lazimnya seperti itu?"Dea dan Zuhal mengangguk. Mereka hanya saling memandang satu sama lain. Keduanya butuh waktu untuk memikirkan dan menerjemahkan apa yang sedang terjadi dan apa yang baru saja Pak RT katakan. Apalagi beliau berkata tidak ada yang bisa ditanyai soal ini karena pemeran utama yang terlibat langsung dengan mitos ini telah tiada, yaitu k
Pagi itu kabut belum turun, padahal jam sudah menunjukkan pukul 7. Dea yang siap-siap ingin ke pasar segera menyambar jaketnya demi menghindari dingin yang menggigit kulit. Wanita itu menggunakan kaos kaki dan juga kaos tangan sekalian, tak lupa dia mengenakan helm dan masker."Dea pergi dulu ya, Bang. Harus keburu nih, sebelum barang-barang habis," kata Dea berpamitan pada Zuhal.Lelaki itu yang sejak pagi sibuk di depan laptopnya hanya melambaikan tangan. Zuhal bekerja di sebuah kantor swasta dan saat ini dia meminta izin kepada kantor untuk melakukan pekerjaan secara daring. Memang, semenjak pandemi pun semua pekerjaannya dilakukan secara daring, jadi sangat memudahkan sekali. Zuhal pun tidak tahu sampai kapan dia bisa kembali ke rumahnya, jika sang Ibu masih menahan-nahan mereka.Saat akan menstarter motor, Dea melihat iring-iringan warga mengantarkan jenazah. Dea heran, siapa yang meninggal? Tidak ada pengumumannya pun di masjid.Saat itu tet
Sesampainya di tepi liang lahat, ketiganya tersentak saat melihat kondisi makam yang teramat kacau. Mayat Minah begitu berantakan. Kain kafannya bersimbah darah. Terlihat potongan-potongan daging tersebar di sana sini. Bahkan ada usus yang tersangkut di batu nisan sehingga membuat nisan itu berdarah. Yang membuat bulu kuduk berdiri adalah, terlihat jelas kalau perut Minah telah dirobek oleh sesuatu. Yang lebih menyeramkan, janin yang ada di rahim Minah telah menghilang!Tung ... Tung ... Tung!!!Ramli mengetok pentungan sekeras mungkin sembari berteriak. "Iwak Merah, Iwak Merah!"Keluarga Zuhal yang mendengar itu terperanjat dan langsung terbangun. Jam sudah menunjukan pukul 12 malam, kenapa orang ribut jam segini? Pikir Zuhal.Pria itu keluar diikuti oleh Pak Roslan. Ramli dan beberapa pemuda memukul pentungan dan berteriak sejak tadi."Kenapa ini?" tanya Zuhal pada orang yang lewat."Iwak Merah, Bang. Minah perutnya b
"Bapak-bapak, atas persetujuan dari Tarno, jenazah istrinya akan diangkat dan dikafankan ulang. Mari kita sama-sama membantu untuk prosesi ini. Saya harap warga saling gotong royong di sini. Karena pengurus dari pihak wanita gak ada, terpaksa kita andalkan warga yang ada di sini ya. Tolong bantuannya," kata Pak RT Dusun Anak."Siap, Pak RT." Warga serempak menjawab.Malam itu, para warga bergotong-royong membenahi makam Minah yang berantakan. Jenazah wanita itu juga diangkat untuk dikafankan ulang besok. Liang lahat yang terbuka, digali lagi oleh warga, dibentuk semula. Semua daging dan potongan tubuh Minah yang berserakan dimasukkan ke dalam kantong plastik untuk diperbaiki besok. Entahlah, pengurus jenazah mana yang mau melakukan itu. Sementara itu, Tarno masih sedih melihat kenyataan yang terjadi di depannya. Bagaimana dia bisa lalai menjaga makam istrinya sendiri. Dia sungguh suami yang bodoh, tidak berguna, tak habis-habis Tarno menyalahkan dirinya sendiri.