"Bunuh anak ini, Nak. Dia akan mengacaukan segalanya di masa depan. Seperti saya, mungkin Farizi pun akan kembali ke desa ini suatu saat dan membangkitkan iblis itu. Bunuh dia, Nak." Nek Saidah memohon sembari menggenggam tangan Dea. "Jangan lakukan kesalahan seperti kakek buyutmu. Dia menolak membunuh saya padahal dia tahu saya akan jadi malapetaka," katanya kemudian.
Dea terdiam dan menatap wanita tua itu. Dari raut wajahnya, dia begitu memerlukan pertolongan. Wajah pucat dan keriput itu begitu memprihatinkan. Dea kasihan padanya. Namun sesaat dia tersadar kalau semua ini tidak benar."Bayi yang suci dan tidak berdosa ini bukanlah penyebab kutukan itu kembali." Suara seseorang berbisik di telinga Dea. "Jangan tertipu bujuk rayu setan!"Dea mengambil Farizi dan menggendongnya. "Mungkin saya harus kembali ke ruang tamu, Mbah. Saya sudah selesai," kata Dea.Wanita itu ingin berlalu, tetapi Nek Saidah menggenggam pergelangan tangan Dea. Wajahnya berMalam itu, langit gelap melingkupi Desa Kunti. Hujan tampaknya akan turun tak lama lagi. Seorang wanita terseok-seok menyusuri jalanan setapak. Napasnya terengah-engah, keringat bercucuran di kening wanita itu."Duhai, janganlah hujan. Biar saya cepat sampai," gumamnya.Wanita bernama Nyai Sri itu bergegas, mencoba sampai sebelum hujan turun. Kali Brani akan meluap jika hujan, dan dia harus menyeberang sebentar lagi.Nyai Sri telah sampai di Kali Brani, dengan hati-hati dia menyusuri jembatan dengan lebar setengah meter itu. Jembatan rapuh yang sudah tua itu masih digunakan warga untuk menyeberang dari pemukiman satu ke lainnya. Hanya itu jalan tersingkat yang ada, jika dibandingkan dengan jembatan beton yang jauhnya lima kilometer dari situ.Nyai Sri, bidan kampung itu harus lekas-lekas, sebab seorang perempuan memerlukan bantuannya.Saat Sri ingin menyeberang, tiba-tiba saja air bah datang dari kanan sungai. Perempuan itu berteriak kemudian terlempar. Jembatan kayu itu mendadak putu
Zuhal ingin masuk ke dalam dan melihat apa yang terjadi tetapi Mak Sari melarangnya."Kenapa, Mak?" tanya Zuhal dari luar."Jangan masuk kau, Zuhal. Jangan ada laki-laki yang masuk ke kamar ini. Tolong hormati jenazah, jangan sampai menimbulkan fitnah.""Tapi saya mau tahu apa yang terjadi sama adik saya, Mak Sari!"Karena tidak tahan dan merasa tidak pernah didengarkan, Zuhal merangsek masuk. Saat itu dia melihat Dea berdiri di samping jenazah Maya dengan wajah sendu. Dia juga melihat janin sang adik yang tersangkut di jalan lahir."Ya Allah, ndak bisa dikeluarkan itu?" tanya Zuhal."Wanita yang meninggal bersama janinnya harus dikubur jadi satu dan tidak bisa dikeluarkan.""Tapi ... tapi bayinya gerak dan dia belum tentu meninggal juga. Lebih baik kita cek, siapa tahu bayinya masih hidup, Mak. Kita coba keluarkan," kata Dea."Jangan mengada-ngada deh, ya. Sejak dulu jika ada yang meninggal melahirkan baik janinnya keluar setengah atau keluar dengan keadaan meninggal tetap dikuburkan
Bayi itu menangis dengan keras. Tubuhnya yang semula membiru kini telah memerah, menandakan sang bayi sehat dan selamat. Semua orang yang ada di sana takjub melihat kejadian ini, bagaikan keajaiban dari Allah SWT. Dea memberikan bayi merah itu kepada suaminya dan mencuci tangan. Setelah mencuci tangan, dia mengambil kembali sang bayi dan membungkusnya dengan kain. Dia memeluk bayi tersebut dan mendekatkannya ke dada."Kita harus bawa bayi ini ke bidan atau puskemas untuk pemeriksaan, Bang. Sementara ini kita urus dulu Maya," kata Dea kepada suaminya.Tak lama kemudian, Dea menyerahkan bayi tersebut kepada mertuanya."Ibuk tolong urus bayinya, ya. Kita urus Maya dulu."Ibu mertuanya yang tadi benci, menerima sang cucu itu dengan tangis haru. Kemudian, dia membawanya keluar."Bapak, maafkan Dea, tapi kita harus panggil Mak Sari kembali buat urus jenazah," kata Dea kepada ayah mertuanya."Iya, bapak coba panggil dulu," sahut ayah mertuanya.Pak Roslan langsung menuju ke luar, mencari ke
Kuburan-kuburan itu jumlahnya ratusan. Tersebar dari ujung pemakaman ke ujung lainnya. Nisan yang ada di atasnya bertuliskan berbagai nama. Namun, yang aneh adalah, usia lahir dan wafat sang penghuni liang lahat adalah di hari yang sama!"Apa semua ini? Ya Allah, ya Rabbi!"Dia menatap nanar sekeliling, dibalik pintu yang dia buka adalah pemakaman. Yang lebih menyeramkan, rumah mertuanya sudah menghilang. Dia terdampar di pemakaman antah-berantah yang tidak diketahui letaknya di desa mana.Dea mencoba berjalan, tetapi saat hendak melangkah sesuatu menahan kakinya. Saat dia melihat ke bawah, tangan-tangan kecil memegangi betisnya!"Ya Allah!" Dia berteriak.Wanita itu mengibas-ngibaskan kakinya dengan keras agar tangan tangan itu terlepas. Tangan-tangan kecil yang penuh dengan tanah dan berbau busuk itu tercampak ke sana kemari. Saat tangan tangan itu terlepas, tangan lain muncul dari dalam tanah dan menggantikannya.Dea terus menghentakkan kakinya, sambil menangis ia mencoba melafalka
Tujuh hari setelah kematian Maya, suasana kembali seperti semula. Orang-orang sudah melupakan kematian tragis yang dialami wanita muda itu. Namun, keberanian Dea masih menjadi buah bibir.Cerita itu tersebar dari mulut ke mulut, dari rumah ke rumah, dari pos kamling ke pos kamling, dan kampung ke kampung. Tentunya, beberapa orang menambah-nambahi kabar itu. Ada yang mengatakan kalau Dea mewarisi ilmu itu dari orang tuanya yang merupakan guru ngaji di kampung sebelah. Ada juga yang mengatakan kalau Dea memang sejak dahulu ada yang menjaganya. Sosoknya berwarna putih dan bercahaya, orang menyebutnya sebagai orang kebenaran. Katanya mereka melihat orang kebenaran itu selalu mengikuti ke mana Dea pergi. Ada juga yang mengatakan kalau kematian Maya itu karena santet.Seperti biasa, kalau sebuah cerita sudah menyebar dari mulut ke mulut pasti ada banyak tambahan dan bumbu-bumbu. Mungkin hanya 1% saja yang benar dan itu pun sisanya berupa gosip tak berdasar.Dea dan zuhal tidak terganggu ak
"Bagaimana dia mau mengasuhnya ya Allah. Kasihan kamu, Nak" kata Dea dalam hati.Sekarang bayi itu sudah tertidur kembali setelah diberi minum susu formula dan digendong oleh Dea."Lagi apa, Dek?" tanya Zuhal saat melihat istrinya menggendong bayi sembari memasak."Ya Allah, mana bapaknya Dek?" tanya Zuhal.Zuhal sudah tahu Tarman ada di mana, dia hanya kesal saja pada iparnya yang labil itu. Dea yang melihat raut marah di wajah suaminya langsung menggeleng dan memberikan isyarat pada Zuhal agar bersabar. Zuhal menghela napas."Sudah punya anak masih saja kayak orang bujang," gerutu pria beranak dua itu."Sudahlah Bang," kata Dea. "Jangan buat keributan pagi-pagi begini."Zuhal menghela napas. "Sudahlah. Sini bayinya, kamu masak dulu setelah itu baru urus yang lain oke?" kata Zuhal.Dea menyerahkan bayi tersebut kepada Zuhal dan meneruskan acara memasaknya. Zuhal adalah seorang ayah yang telaten dan seorang suam
Dea menatap suaminya sebentar kemudian kepada ibu dan bapak mertua nya. Zuhal mengangguk dan memberi isyarat kepada Dea untuk membantu Makcik."Baik Makcik, Dea akan mengecek terlebih dahulu, tapi dia nggak janji bisa bantu. Dea hanya orang biasa, bukan dukun beranak atau bidan," kata Dea."Iya ... Tolong sekali ini saja, Dea." Makcik memohon."Bang titip anak-anak, kompor sudah Dea matikan," ujar Dia kemudian bergegas memakai sandal.Zuhal yang merasa tidak enak membiarkan istrinya pergi sendiri, kemudian memberikan bayi kepada orang tuanya."Zuhal mau menemani Dea, tolong jaga anak-anak ya Pak Buk?" Tak lama setelah itu, zuhal pun menyusul Dea dan Makcik yang telah terlebih dahulu pergi. Kabut tebal mengiringi perjalanan mereka. "Duh kenapa tiba-tiba ada kabut pagi-pagi gini. Tadi pas pulang dari pasar cerah terang benderang kok," kata Dea kepada Makcik."Sudahlah Dea, ayo kita cepat. Kabut gini biasa terjad
Setelah selesai, wanita itu meminumkan airnya kepada Suci. Sisanya dia percikkan. Setelah itu, semuanya hening. Tidak terjadi apa pun. Suci yang lemah, kian bertambah lemah. Orang-orang yang menungguinya pun semakin resah."Insya Allah dengan pertolongan Allah, anak ini akan lahir. Tiada Tuhan yang dapat disembah dan tiada sebaik-baiknya menolong kecuali Allah." Dea menutup rangkaian doanya sambil memegang perut Suci.Tiba-tiba saja entah bagaimana, suci yang sudah terkulai kembali menegakkan kepalanya. Dia berkata, "Tolong, Suci mau ngeden, Buk."Dea langsung pergi ke ke ujung ranjang, dia menunggu di bawah. Bidan yang tadi keluar, tiba-tiba masuk kembali. Mereka ikut membantu Dea.Lalu, dengan tiga kali, dorongan bayi tersebut terlahir ke dunia.Semua orang yang ada di sana serempak mengucapkan alhamdulillah tatkala mendengar suara tangisan bayi. Mereka terharu, wajah-wajah yang tadinya gusar kini telah lega. Sang bayi diambil