"Manusia hanya dapat berencana, Tuhanlah yang berkehendak."***"Pak, saya dengar surat panggilan pemeriksaan untuk Praba Bhanu Winnata telah keluar."Senyum menyeringai langsung muncul. Wajah tampannya menengadah, melupakan ribuan huruf yang tercetak di sebuah kertas. Ekspresinya memang datar, namun kilauan netra tak dapat berbohong. Biru sedang senang saat ini.Ia lalu mengangguk, memberikan ruang untuk bawahannya duduk. Biru harus memastikan bahwa Praba tidak boleh lolos dari kasus percobaan pembunuhan yang terjadi pada Ava. Kalau pun lolos, Biru harus membuatnya kesulitan. Pria itu harus mendapatkan rasa gelisah yang sama seperti yang telah ia perbuat pada Ava."Tolong, jangan biarkan Praba lolos semudah itu dari kasus ini. Taklukan semua alibinya, buat pria itu kesulitan hingga ia tidak mampu lagi membuat argumen. Kita cari cara agar pria itu mendekap di penjara yang sama seperti orang suruhannya."Sang bawahan tak menjawab. Ia berpikir sebentar. Ekspresinya begitu kesulitan, sep
"Tidak ada yang instan, segala hal memiliki proses, termasuk cinta. Segala sesuatu yang instan akan cepat habis dan mudah terhapus oleh lekang waktu."***"Saya pikir kamu enggak punya tato."Biru tertawa kecil. Mereka berbaring di tempat tidur, saling berhadapan. Badannya belum terbalut kaos. Ia hanya memakai celana pendek yang disiapkan oleh Ava. Awalnya Ava merasa risih dan kaget saat Biru memeluknya hanya dibalut oleh handuk. Namun, karena pelukan Biru terasa begitu hangat, dan pria itu sangat butuh pelukan, Ava membiarkannya. Setelah cukup lama berpelukan, Biru melepas Ava. Terjadilah sebuah kecanggungan hingga akhirnya mereka saling menatap di atas tempat tidur seperti sekarang."Kalau kamu lupa, saya pernah begitu berantakan saat remaja. Tato jadi salah satu pelampiasan. Lagipula bentuknya enggak besar, hanya di beberapa titik kecil saja."Ava memandangi salah satunya. Di lengan teratas sebelah kanan, berbentuk seperti meteor yang jatuh. Cantik sekali."Saya suka yang itu. Baka
"Orang lain hanya melihatmu dari kesuksesan. Mereka tidak pernah peduli pengorbanan seperti apa yang telah kau lalui hingga akhirnya mencapai kesuksesan itu."***"Padma? Diteror? Siapa yang berani meneror gadis galak seperti dia?"Ava mengedikkan bahunya. Karena tidak tahu, maka dari itu ia bertanya pada Biru. Pria itu pasti pernah menghadapi masalah teror meneror, jadi jawabannya akan lebih bijak, serta masuk akal. Ada kalanya manusia hanya tahu sebagian, sebagian lagi dikuasai manusia lain.Selesai mandi, Ava melihat Biru tengah duduk membaca laporan. Gadis itu pun memberanikan diri untuk bertanya. Ava tahu dengan bertanya pada Biru, mungkin ia bisa memberi nasihat yang tepat nantinya pada Padma."Dia selalu mendapat bunga berjenis sama tiap hari jum'at. Terkadang ada kartu ucapannya, tapi lebih banyak hanya bunga saja. Permasalahan utamanya, pengirim bunga ini selalu berganti toko. Jadi, Padma enggak benar-benar bisa menyelidiki seperti apa orangnya."Biru mulai menyimak dengan se
"Dalam cinta, tidak melulu berakhir bersama. Terkadang banyak yang gagal, lalu coba lagi dengan yang lain. Terkadang yang gagal berakhir dalam kenangan, atau terlupakan begitu saja."***"Saya harus ke kantor polisi. Sebentar saja, kok. Pergi sama Yeni, ya. Nanti saya akan menjemput kamu selepas dari kantor polisi."Pagi itu Biru tampak tergesa-gesa. Seperti ada hal penting yang mengganggunya. Ava tak ingin bertanya, karena takut berakhir menjadi pengganggu. Jadi, gadis itu memilih diam, dan mengikuti apa pun yang sekiranya Biru instruksikan.Seharian ini, ia akan berada di apartemennya. Membereskan segala barangnya, karena Ava akan mengakhiri sewa kontraknya bulan ini. Ia akan pindah, dan menetap di rumah baru yang katanya sudah dibeli Biru."Baiklah, kalau begitu. Hati-hati, ya!" Biru mengangguk, netranya menatap Ava dengan sangat dalam. Ava tidak mengerti, tapi ia bisa merasakan kegundahan yang dirasakan Biru. Ada apakah sebenarnya hari ini?Biru hendak pergi, namun Ava menahannya.
"Masakan yang terhidang tanpa bumbu penyedap, pastilah tidak enak. Sama seperti hubungan, tanpa cemburu, dan pertengkaran mungkin tak tampak menyenangkan."***"Praba Bhanu Winnata, senang sekali bisa melihat anda di kantor polisi. Seperti melihat masa depan. Masa depan anda."Praba mendengus. Ia tahu, saat menginjakkan kaki di kantor polisi, ia akan bertemu dengan polisi muda menyebalkan itu. Dewandaru Angkasa Biru kini menjelma menjadi sosok yang sangat ia benci. Sosok yang benar-benar menghentak naluri membunuhnya.Sayangnya polisi muda itu bukanlah lawan sembarangan. Bila ia hanya seorang polisi dengan pangkat menengah, mungkin sudah lama Praba akan menghabisinya. Tapi Biru berbeda. Biru yang akan menghabisi Praba lebih dulu, kalau Praba tetap nekat turun tangan tanpa memakai otak."Jangan bergurau!" seru Praba dengan ekspresi sombong yang begitu kentara. "Silahkan tertawa atau mengejek saya. Saya tidak akan lama di sini. Kamu yang akan menyesal dan kesal sendiri, karena tak akan
"Pernikahan bukan hanya wadah untuk mempersatukan dua jiwa. Namun juga tempat belajar untuk saling mengenal, mengerti dan merajut cinta dalam kebersamaan."***"Saya enggak suka cumi, karena alergi. Selain cumi, saya makan apa pun. Saya enggak punya satu pun makanan favorit. Begitu juga dengan minuman. Kamu bisa memasak apa pun, dan saya akan memakannya."Sebenarnya paparan Biru tentang hal yang ia suka, dan tidak terdengar biasa saja di telinga siapapun. Namun tidak di telinga Ava. Entah ia yang aneh, atau telinganya yang bermasalah, tapi Ava menangkap sebuah gombalan di sana. Ava merutuki jantungnya, agar diam dan tak bergemuruh tiap Biru berbicara.Setelah pulang dari apartemennya, Biru kembali ke mode santai. Tidak ada Biru yang pemarah dan mengakui dirinya seorang pencemburu. Tidak ada Biru yang dingin, dan bersikap berjarak lagi. Biru kembali ke sosok hangat yang siap menyambutnya dan sigap melindunginya."Ava," panggil Biru pelan. Gadis itu langsung tersadar. Ia tersenyum salah
"Setiap manusia dalam hidup sebenarnya hanya butuh kepastian. Namun terkadang Tuhan memberi jeda untuk berpikir. Untuk menentukan bahwa apa yang dijalani kedepannya adalah hal terbaik yang bisa terjadi dalam hidup manusia itu sendiri. *** "Biru, kamu di kamar mandi?" Pertanyaan itu tak ada sahutan, tak ada pula gerakan yang menunjukkan sebuah jawaban. Ava sudah mengira bahwa Biru sudah pergi sejak lama. Kasurnya terasa sangat dingin. Ava mengambil ponselnya, dan melihat bahwa jam masih tertuju di angka empat lewat empat puluh delapan pagi. Ava bergegas bangun untuk melaksanakan kewajibannya sebagai umat Muslim. Ponselnya berdering, saat Ava selesai beribadah, dan mandi. Ia melihat ke ponselnya, dan melihat nomor yang tak dikenal tertera di layar. Ava awalnya ragu untuk menjawab, namun karena takut itu adalah panggilan yang penting, maka ia pun mengangkatnya. "Ya, siapa ya?" tanya Ava begitu panggilan telepon diangkat. Seorang laki-laki di ujung telepon menyahut. Lalu menjelaskan a
"Tak ada kejahatan yang terus menang. Ada ujung yang membahagiakan bagi yang tersakiti. Seperti roda, selalu berputar. Meskipun tiap gerakannya selalu berbeda hambatannya."***"Saya rasa ada yang aneh sama diri saya, Ava. Padahal cuma beberapa jam, tetapi saya merasa ada belasan hari yang terbuang. Ternyata saya serindu itu sama kamu."Ava yang tengah mengupas apel untuk Biru langsung mendelik kesal. Sejak tadi yang dilakukan pria itu hanya berbicara gombal. Ava sampai bingung sendiri dibuatnya. Biru yang lebih banyak serius, berubah jadi lawak sehabis ditembak. Apel yang sudah Ava kupas dan potong, lalu ia berikan pada Biru yang langsung menerimanya. Pria itu tadi mengeluh lapar, dan Ava pun menawari buah sebagai cemilan. Jam makan yang ditentukan masih tiga puluh menit lagi, dan tidak ada makanan lain selain buah yang boleh dikonsumsi oleh orang sakit. "Saya rasa bukan bahu kamu deh, yang kena tembak. Tapi, kepala kamu," cibir Ava yang dibalas tawa oleh Biru. "Kamu enggak capek m