Wanita Suku Mui itu merasa heran kenapa Fani diam saja. Biasanya dia selalu bertanya hal-hal kecil sepanjang pelajaran berlangsung. Nuwa merasakan pena yang dipegang temannya selalu salah menuliskan kata-kata. “Kau sakit? Aku antar pulang, ya?” Nuwa memegang tangan Fani, terasa dingin di musim panas yang terik. “Tidak. Aku baik-baik saja, ayo, Nuwa.” Lalu Fani diam. “Ayo ke mana? Katakan apa yang terjadi Fani? Ada yang menyakitimu? Siapa? Lelaki atau perempuan? Ayo kita selesaikan.” “Tidak ada, Nuwa. Kita menulis saja, nanti Syekh marah.” “Peduli apa aku kalau Syeikh marah. Kau aneh sekali dari tadi. Bukan seperti Fani.” “Ehm, harap tenang, sebentar lagi akan dibagikan soal.” Dayyan menegur dua orang yang asyik berbicara itu. Sejenak keduanya tenang.Masuk pesan di ponsel Fani, berasal dari mata-mata yang menunggu di luar gedung. Ia meminta Fani keluar dan berganti peran. Karena takut Fani pun menurutinya. Ia izin sebentar pada Syeikh Dayyan. “Ada latihan sebentar lagi, kalau t
Dayyan berusaha keras merebut senapan dari tangan bawahan Lili. Kemudian Nuwa menarik siswi yang sempat ditawan oleh mata-mata tersebut. “Lari cepat! Pergi semuanya!” jerit wanita bermata besar itu pada semua orang. Lalu ia pun menendang perut bawahan Lili sekali hingga perempuan itu terjatuh dan senapannya terlempar entah ke mana. “Fani, tolong cari dia,” ucap Nuwa pada Dayyan. Wanita itu memilih untuk melipat tangan mata-mata Lili di pinggang sambil menunggu datangnya polisi setempat yang telah dipanggil. “Kau benar-be—” “Apa, pengkhianat?” Nuwa menekuk lututnya di atas tangan utusan Lili. “Negaramu saja membantai orang-orangku. Padahal kami tidak pernah memberontak sekalipun. Berdiri, kita tunggu sampai kau dihukum mati. Entah hukuman gantung atau pancung yang pasti aku akan menikmati kematianmu.” Nuwa mendorang mata-mata itu agar berjalan. Dor! Satu kali tembakan melesat nyaris sedikit lagi mengenai Nuwa. Wanita bermata besar itu menunduk. Mata-mata Lili terlepas dari pegan
Dua orang itu melayang dan terjatuh di atas atap mobil orang. Kendaraan tersebut penyok, dan dua perempuan yang sama gilanya meringis sesaat, bagian kanan tangan dan kaki nyeri luar biasa, bahkan tergores pecahan kaca. Lili meraih belati di pinggang dengan tangan kirinya yang masih baik. Ia hampir sedikit lagi menikam Nuwa. Namun, wanita bermata besar itu menendangnya terlebih dahulu hingga Lili terlempar dari atas mobil. Kesempatan itu digunakan Lili untuk melarikan diri walau tertatih. Kaki yang tergores kaca terasa sakit dibawa bergerak. “Pengecut, kalian selalu saja ingin melarikan diri.” Nuwa turun dari atap mobil yang remuk. Ia ingin menyusul tapi kakinya juga sama sakitnya walau tak tergores. Belati Lili yang tadi terlempar Nuwa raih. Saat itu juga ia lemparkan ke punggung lawannya yang berhenti sejenak, tetapi lemparan belati itu meleset. Lili menoleh ke arah belakang, matanya terbelalak ketika beberapa polisi di belakang Nuwa mengarahkan senapan kepadanya.Jatuh harga diri
Fani telah kembali ke rumahnya. Namun, di sana ada pemeriksaan dan dia beserta satu keluarga telah ditanyai mendetail semua yang ia tahu. Yang Fani dengar dari tim penyidik dua orang penyusup yang menerobos masuk ke dalam rumahnya telah mati. Keduanya kena tembak, tapi yang satu lagi sempat memasang bom di tubuhnya, hingga mengakibatkan ledakan skala kecil. Meski tidak ada korban jiwa tapi beberapa bangunan dan mobil terbakar. Nuwa yang paling dekat dengan Lili pun masih tidak sadarkan diri sampai sekarang. Untuk sementara waktu pula kursus diliburkan sampai keadaan dinyatakan stabil dan tenang. Sebab bisa saja yang ini mati tapi yang satu lagi tumbuh.“Tuan, tunggu, tapi aku menemukan ini di dekat mereka tidur tadi malam. Aku rasa ini mungkin berguna untukmu.” Fani menyerahkan temuan flash disk dan catatan milik Lili yang terjatuh dan mereka tidak sadar. Catatan itu diserahkan oleh polisi pada Fahmi dan Maira juga melihatnya. “Bukan tulisan latin, siapa yang biasa membacanya?” tan
“Dia tidak ingat kalau masuk rumah sakit karena imbas dari ledakan bom bunuh diri di pinggir jalan, dan maaf sepertinya dia tidak ingat denganmu, Tuan. Saat kami sebutkan namamu dia bertanya kau ini siapa? Kami hanya menyebutkan kau penanggung jawabnya, dan dia mengucapkan terima kasih padamu sebelum pulang.” Degh! Agak sedikit berdetak kuat jantung Dayyan dan berdesir darahnya ketika tentang dirinya dilupakan oleh Nuwa. “Apakah buruk ketika sebagian ingatannya hilang?” “Kita tidak tahu pasti. Kita hanya tahu setelah dia menjalani hidup beberapa hari ke depan.” “Apakah hanya aku saja yang dilupakan olehnya?” “Itu juga kami tidak tahu pasti, tadi dia menyebutkan suami dan teman-temannya dan sudah berapa lama tinggal di sini. Itu saja. Oh, iya, kalau boleh tahu, Tuan ini siapanya? Karena tadi nama suaminya lain yang disebutkan dan katanya sudah meninggal.”“Ehm, kakakku temannya, syukron atas penjelasannya, Dokter.” Dayyan meninggalkan ruangan tersebut. Ia menghela napas panjang ke
Bagian 56 Sopan Santun Maira datang ke rumah Nuwa sambil mengantar tiga serangkai latihan. Nuwa sudah benar-benar pulih kecuali tentang ingatan siapa Dayyan, dan benar ia tak pernah datang lagi ke tempat kursus. Memori tentang tempat itu hanya tersimpan sedikit saja. Anehnya dia tidak pernah lupa tentang teman-temannya. Itu yang membuat Nuwa bertanya-tanya, mengapa bisa sampai demikian.“Terima kasih, Nuwa, dan ya bahasa arabmu sudah sangat membaik sekarang. Tidak seperti dulu lagi.” Maira melihat tulisan tangan Nuwa yang rapi dan susunan katanya yang hanya tinggal perlu diasah setiap hari saja. “Benarkah? Terus aku bagaimana bisa jadi bertambah baik, ya, padahal aku dulu di desa paling malas belajar bahasa Arab.” “Kau sudah lupa dengan orangnya, jadi akan buang-buang waktu saja kalau aku cerita. Sudahlah, jalani saja hidupmu. Jangan ingat-ingat masa lalu, ya. Jazakumullah, Nuwa, ini sangat berarti bagi kami.” Maira meninggalkan rumah Nuwa sembari membawa catatan penting peningga
“Lihat, wajah Syekh Dayyan langsung bingung melihat Nuwa ramah padanya. Rasanya lebih baik kalau mereka baku hantam saja berdua, lain perasaanku jadinya.” Fani sampai merinding melihat temannya berubah pasca lupa ingatan. “Dengarkan aku, sampai mereka berdua menikah, suatu hari nanti, aku potong unta peliharaanku,” ucap Anjali. “Kau yakin?” Padma memastikan. Anjali mengangguk. Tiga orang itu masih saling berprasangka atas apa yang terjadi di antara Dayyan dan Nuwa. Padahal memang tidak ada apa-apa. Hanya kisah masa lalu yang sangat menyakitkan. “Terima kasih atas kehadirannya selama enam bulan. Lebih dan kurangnya sebagai seorang pengajar dan merangkap penyelanggara maafkan jika kami banyak berbuat salah. Silakan mengulang belajar kembali apabila dirasa kemampuan berbahasa Arab belum bagus. Kelas selalu terbuka untuk semuanya.” Dayyan menutup enam bulan kebersamaan yang sangat luar biasa di kelas itu. Lelaki bermata abu-abu tersebut mempersilakan semua siswi keluar. Jeda satu min
“Sebenarnya aku kasihan dengan syeikh, dia susah payah membawamu ke rumah sakit dan kabarnya sampai menjadi penanggung jawab sampai kau sembuh. Eh, tapi kau malah lupa dengannya. Hatinya pasti ada sedikit luka. Bagaimana, ya, bilangnya, rasanya syeikh itu menyimpan perasan denganmu, Nuwa. Ini tebakanku saja,” ucap Fani. Dia yang paling perasan dengan perubahan Dayyan. “Aku juga berpikir begitu.” Anjali tak mau kalah. “Aku juga. Orang yang terlalu sering ribut lama-lama jadi kepikiran terus di dalam hatinya, jadi tanpa sadar cinta di dalam hatinya tumbuh. Batasan antara benci dan cinta itu, kan, tipis.” Asumsi Padma. “Eh, jangan, marah istri dan anaknya nanti. Lagi pula aku tak pernah mau masuk dalam rumah tangga orang. Aku sudah terbiasa menjadi satu-satunya dalam hidup Kai dulu, sampai maut yang memisahkan kami.” “Hei, kau ini, syeikh dudalaaah, dudaaa. Itu pun kau lupa. Parah kawan kita ini.” Fani mulai kesal. “Syeikh Dayyan, duda?” Nuwa lupa sekali. “Iya, istrinya, kan, menin