POV AUTHOR
Malam harinya ....
Manda mengetuk pelan pintu ruang kerja Papa Hendra di rumah. Manda membuka pintunya, setelah Papa Hendra mengijinkannya masuk.
"Manda? Ada apa?" tanya Papa Hendra, yang sedang duduk di kursi meja kerjanya.
"Manda menganggu Papa?" Manda berdiri di depan meja kerja Papa Hendra.
"Tidak, Papa hanya sedang membaca buku saja. Kamu perlu sesuatu?"
"Iya, Pa. Ada yang mau Manda bicarakan sama Papa,"
"Soal Arman?" tebak Papa Hendra.
Manda mengangguk.
Papa Hendra menutup bukunya. Dia menyandarkan punggungnya di kursi sambil menghela nafas.
"Kamu mau berpisah?" tebak Papa Hendra dengan nada sedih.
"Gak, Pa. Bukan itu," sela Manda segera.
"Lalu?"
"... Manda mohon ... Papa mau memaafka
POV AUTHORDi kamar hotel ...."Beneran, Sayang. Papa sudah merestui pernikahan kita?" Sarah terkejut mendengar kabar gembira itu.Arman mengangguk.Sarah melompat kegirangan, lalu dia memeluk Arman dengan tertawa bahagia."Ini yang kuimpikan selama ini. Mendapat restu Papa,""Bersiap-siaplah. Kita akan kembali ke rumah,""Iya, baiklah," jawab Sarah dengan antusias.Sarah mengemas beberapa barangnya ke dalam tas."Cutimu sebentar lagi selesai, kan? Kita bisa mengajak Papa dan Mama sekalian ke Amerika, ke rumah kita. Papa kan belum bertemu dengan orang tuaku,""Ya, kita bisa melakukanya. Nanti aku akan bicara pada Papa. Sekalian berpamitan pada orang tuamu,""Apa? Berpamitan?" tanya Sarah, bingung. Dia berhenti packing.&n
POV MANDASeminggu berlalu sejak Mas Arman kembali ke Amerika. Tidak seperti sebelumnya, Mas Arman sekarang sering menghubungiku. Kadang kami mengobrol via chat di WhatsApp, dan kadang Mas Arman menelponku. Tapi aku selalu menjawab singkat semua pertanyaannya. Aku tidak mau berlama-lama mengobrol dengan Mas Arman. Hatiku masih sakit tiap mengingat pengkhianatannya.Sampai saat ini, aku masih menyimpan masalah rumah tanggaku dari Bapak dan Ibu. Aku tidak mau mereka sedih. Aku juga meminta Papa Hendra dan Mama Andien untuk menyembunyikan rahasia ini. Aku perlu waktu untuk mengatakannya pada mereka.Aku mencoba menyibukkan diri dengan banyak kegiatan. Semua itu kulakukan untuk menghibur diriku sendiri. Aku tidak mau terlarut dalam kesedihan terus-menerus.***Hari ini aku pulang ke Purworejo untuk menghadiri pernikahan Ayu. Aku sengaja datang lebih awal, karena aku jug
POV MANDA"Ini buat Ibu," Mas Arman memberikan box kecil yang dibungkus kertas kado pada Ibu."Apa ini?""Hadiah buat Ibu,""Makasih ya,""Buka, Bu," pinta Adi."Iya, sabar," Ibu mulai membuka kado hadiah itu.Mata Ibu terbelalak ketika melihat hadiah yang diterimanya. Sebuah cincin berlian."Cin-cincin?""Ibu suka?""Aduuh, Nak Arman. Ibu suka sekali. Makasih banyak ya, Nak," ucap Ibu dengan terharu."Sama-sama, Bu,""Ini buat Bapak," Mas Arman memberikan hadiah pada Bapak."Ngerepotin Nak Arman," ujar Bapak."Gak ngerepotin sama sekali kok, Pak,"Bapak membuka hadiah yang diberikan oleh Mas Arman. Sama seperti Ibu, Bapak juga terkejut dengan isi kado itu. Se
POV MANDAHari ini kami kembali ke Jakarta. Selama perjalanan panjang ini, kami mengambil kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain. Mas Arman dan aku mengobrol panjang lebar tentang diri kami. Mulai dari apa yang kami suka dan tidak suka, hobi, kehidupan sekolah kami, dan sebagainya.Pembicaraan kami santai dan kadang diselingi dengan bercandaan. Sejenak kami melupakan masalah di antara kami. Dan aku menyukainya. Ini perjalanan jauh yang sangat menyenangkan.***"Manda?" Mas Arman berdiri di depanku sambil membawa koper.Lamunanku seketika buyar. Aku sedang berdiri di depan rumah mertuaku sambil memandangi rumah itu. Kami kembali lagi ke sini. Kembali ke realita yang tidak kusukai.Rasanya aku ingin lebih lama lagi bersama Mas Arman. Hanya kami berdua. Pergi jauh dari sini. Jauh dari Sarah."Ada apa?" Mas Arman mendek
POV MANDAAku sedang berjalan bersama Anita dan Cheryl ke parkiran Bakery, ketika Mas Arman tiba. Mas Arman keluar dari mobilnya, lalu berjalan menghampiri kami."Hai," sapanya. Aku menyapa balik."Teman-temanmu?" tanya Mas Arman."Iya, Mas. Ini Anita dan Cheryl," aku memperkenalkan mereka."Hai, salam kenal. Aku suami Manda, Arman,"Anita dan Cheryl mengabaikan keramahan Mas Arman. Mereka memandangnya dengan pandangan kesal."Manda, kami duluan ya," pamit Cheryl."Iya, hati-hati di jalan,""Kamu yang sabar ya," Anita memelukku sambil berbisik padaku."Jangan sungkan bicara pada kami, jika kamu ada masalah," ujar Cheryl dengan sedih."Iya," aku mengangguk."Dah, Manda," merekapun pergi meninggalkan aku dan Mas Arman
POV ARMAN"Hi, Mom. Hi, Babe," Sarah bergabung bersama kami di meja makan."Halo, sayang," sapa balik Mama dengan ramah."Kamu gak bilang mau pulang makan siang, Sayang?""Tiba-tiba saja aku mau pulang,""Bagaimana jalan-jalanmu tadi?" tanya Mama."Menyenangkan, Mom. Seharusnya Mama ikut Sarah tadi. Kita bisa shopping bersama,""Mungkin lain kali ya,"Sikap Mama berbeda. Mama lebih lembut pada Sarah, tapi keras pada Manda. Ini gak adil."Kamu pergi kemana?" tanyaku."Di sekitaran sini aja, Yang. Dan tadi aku mampir juga ke Bakerynya Manda,"Sudah kuduga. Pasti Sarah membuat masalah di sana. Karena itu sikap Manda terlihat murung."Apa yang kamu lakukan di sana?" selera makanku mendadak hilang."Aku ha
POV AUTHORBeberapa hari kemudian..."Non Manda, ada tamu di depan," Kiki menghampiri Manda di teras belakang rumah."Siapa?" Manda berhenti membaca buku sejenak."Katanya teman Non dari Purworejo. Mba Ayu,""Ayu?!" Manda terkejut senang."Makasih, Ki," Manda bergegas menghampirinya.Ayu dan Joko sedang duduk menunggu di ruang tamu."Ayu!""Manda!"Mereka berpelukan dengan riang."Manda kangen banget,""Aku juga kangen, Nda,""Kenapa gak ngabarin dulu kalau mau ke sini?""Aku mau kasih kejutan,""Mba Manda," sapa Joko."Mas Joko," sapa Manda balik."Ayo, masuk ke dalam," Manda mengajak mereka untuk duduk di ruang tenga
POV MANDAMalam ini bintang di langit bercahaya terang. Langit malam begitu cerah. Berbanding terbalik dengan perasaanku hari ini.Aku coba menenangkan diri di teras belakang rumah. Duduk di ayunan kayu sambil merenung. Rasanya hening dan sunyi di sini.Mas Arman tiba-tiba datang menghampiriku. Tanpa berkata-kata, dia duduk di sampingku. Kami hanya terdiam sambil memandang ke arah langit."... Manda mau pulang, Mas," ucapku kemudian."Kamu marah sama Mas?" tanya Mas Arman dengan nada sedih."Bukan. Manda memikirkan ucapan Ayu. Dia benar. Manda harus memberitahu Bapak dan Ibu. Walaupun itu menyakitkan, tapi lebih baik mereka mengetahuinya dari Manda,""Mas akan mengantarmu,""Gak perlu, Mas. Manda bisa sendiri. Kalau Mas ikut, Manda khawatir Bapak dan Ibu akan semakin marah melihat Mas,"