Share

Jejak Luka
Jejak Luka
Penulis: Muzdalifah Muthohar

Bab 1

#Jejak_Luka 1

[Mas, Kapan pulang?] tulis Marini dalam pesannya.

Gelisah wanita berperut buncit itu menanti jawaban sangat Suami. Semenit, dua menit, hingga satu jam berlalu, pesannya tak kunjung terjawab.

[Mas, perutku mulai mules] tulis Marini lagi, tapi lagi-lagi tak terbalas. Sibuk apa suaminya, hingga tak sempat membaca dan membalas pesannya.

[Mas, cepet pulang. Antar aku ke rumah sakit] Dengan menulis pesan seperti itu, dia berharap suaminya segera pulang setelah membaca pesannya.

Tapi sayang, sang suami tak merespon sama sekali. Sepertinya laki-laki itu sengaja tak membuka ponselnya, tak ingin diganggu.

Marini bukan tak tahu suaminya dimana dan sedang apa. Laki-laki itu sedang berada di rumah istri barunya, perempuan yang baru dinikahi dua bulan yang lalu. Sebagai pengantin baru tentu mereka tengah asik memadu kasih. Tak peduli di sini istri tuanya sendirian menahan sakit sejak kemarin.

Sebenarnya Marini tak ingin mengganggu kebersamaan suami dan madunya, tapi dalam keadaan darurat siapa lagi yang bisa dimintai tolong? Di rumah hanya ada anak sulungnya yang berusia tiga belas tahun. Bisa apa anak seusia itu? Tak bisa diandalkan sama sekali.

"Auw!" Marini meringis sambil memegangi perutnya.

Kehamilan keduanya ini sedikit bermasalah, kakinya bengkak dan badannya selalu lemas. Bahkan cek up terakhir, posisi janin masih sungsang.

"Sakit lagi ya, Bu?" tanya Ramon, si sulung yang belum lulus SD itu. Marini mengangguk lemah sebagai jawaban.

"Aku panggil Bulek Lilik, ya?" tanya Ramon dengan wajah prihatin, tak tega melihat ibunya yang terus meringis menahan sakit.

Hanya gelengan pelan yang Marini berikan sebagai jawaban. Adik perempuannya itu repot sendiri, punya anak balita yang sedang aktif-aktifnya, sementara suaminya sedang dinas di luar kota. Tak mungkin memintanya mengantarnya ke rumah sakit dimana dokter obsgin langganannya dinas. Lagi pula ini sudah malam.

Bisa saja Marini minta tolong tetangga, tapi dia sungkan, tak mau merepotkan. Begitu lah Marini, selalu melakukan semaunya sendiri. Karena dia pikir, dia harus terbiasa mandiri. Apalagi sebentar lagi menyandang status janda, tak mungkin sedikit-sedikit meminta bantuan orang lain.

"Sudah telfon Ayah?" Marini menatap wajah polos sang Putra. Ingin sekali dia berkata jujur pada bocah belia itu, bahwa ayahnya sedang dimabuk cinta, tak ingin diganggu oleh mereka berdua. Tapi dia tak tega, tak ingin anaknya ini mengetahui kelakuan buruk bapaknya.

"Kalau begitu aku saja yang telfon, Bu." Ramon meraih ponsel dalam genggaman ibunya, Marini berusaha mencegah tapi benda itu sudah berpindah tangan.

"Dari tadi nggak diangkat, Bu! Memang Ayah di mana, sih?" tanya Ramon dengan wajah gusar.

"Sudah, biarkan saja! Ibu mau ke rumah sakit bersalin, kamu di rumah aja! Atau kamu bisa main ke rumah bulekmu. Biar ibu nyetir sendiri," ujar Marini lemah. Dia bertekad tidak akan mengemis pertolongan dan perhatian suaminya lagi.

"Aku kuat, aku pasti bisa," gumam Marini dalam hati, menyemangati dirinya sendiri.

"Jangan, Bu! Aku antar pakai motor!" Marini menggeleng. Meminta bocah kelas 6 memboncenkan dirinya dengan motor? Itu sama saja bunuh diri. Selain jalan yang ramai dengan kendaraan besar, bagaimana kalau ada razia polisi? Bisa makin panjang urusannya. Salah-salah dia melahirkan di jalan bukan di klinik.

"Kalau begitu aku biar aku telfon Ayah lagi!" Marini tak lagi mempedulikan Ramon, dia berjalan pelan sambil menyeret tas besar yang sudah dia siapkan sejak kandungan memasuki usia 9 bulan, menuju garasi.

Marini sudah duduk di jok sopir, ketika ketika Ramon memanggilnya. "Bu! Ini Ayah nelfon!" Ramon berlari menghampiri sang Ibu, menyodorkan ponsel yang meraung-raung.

"Kamu itu apaan, sih! Manja banget! Ini kan giliranku di rumah Alina, nggak bisa nunggu sampai aku pulang apa!" bentak Hadi, begitu Marini mengangkat panggilan. Bukan salam, atau kalimat yang menunjukkan kekhawatiran, Hadi justru mengomel panjang lebar pada sang istri.

"Dari semalam sudah kontraksi terus, Mas. Aku takut sudah waktunya melahirkan," jelas Marini dengan suara lemah.

"Halah! Dasar kamunya aja yang manja! Nggak usah mengada-ada, HPLnya kan minggu depan!" sahut Hadi ketus.

Marini memejamkan mata, menahan sakit fisik dan sakit hati yang mendera.

"Mas, HPL itu hanya perkiraan, bisa maju bisa mundur. Di rumah tidak ada orang dewasa yang bisa dimintai tolong," ucap Marini sambil memegangi perutnya yang kembali terasa mules.

"Kamu bukan pertama kalinya hamil. Harusnya kamu lebih kuat, nggak usah manja, sedikit-sedikit merengek. Bukankah kita sudah sepakat, seminggu aku bersamamu, seminggu bersama Alina. Dan tidak saling menganggu dengan telfon nggak penting!" Entah apalagi yang Hadi ucapkan, Marini sudah tak sanggup lagi mendengar. Dia memilih memutus panggilan sepihak.

Hatinya benar-benar terluka, dalam keadaan darurat seperti ini, suaminya menganggapnya mengada-ada, manja. Kalau pun tak bisa membantu, setidaknya jangan mengucap kata-kata yang menyakitkan.

Laki-laki itu berubah 180° sejak mengenal perempuan muda itu. Sikapnya yang dulu penyayang kini berubah jadi ketus dan kasar. Segala keluh kesah Marini dianggap sebagai upaya Marini untuk menguasai dirinya. Padahal Marini benar-benar butuh pendamping dan tempat bersandar.

Kembali air mata Marini menetes, teringat lagi peristiwa tiga bulan yang lalu, kala Hadi membawa perempuan cantik yang masih berusia muda itu ke rumah.

"Ini Alina, dia pegawai baru di kantorku," ucap Hadi saat itu.

Sebenarnya perasaan Marini sudah tak karu-karuan melihat gadis itu terus menempel suaminya, tapi dia berusaha menepis prasangka buruknya. Dia berusaha meyakinkan hati, bahwa antara gadis itu dengan suaminya hanya sebatas teman kerja.

"Bulan depan kami akan menikah." Bagai disambar petir, Marini mendengar kalimat yang meluncur dari bibir Hadi.

"Me---ni---kah?" tanya Marini terbata.

Usia kandungannya menginjak tujuh bulan, bukannya mendapat kasih sayang dan perhatian lebih. Hadi justru membawa kabar buruk. Kini dia mengerti, kenapa beberapa bulan terakhir Hadi berubah. Mulai suka bersolek, wajahnya selalu berbinar ceria. Sering pulang malam, bahkan beberapa kali tak pulang. Lembur dan dinas luar kota yang jadi alasan.

Kini terjawab sudah apa yang menjadi penyebabnya. Suaminya terpikat pada gadis yang lebih muda. Ibarat bunga, gadis itu tengah mekar-mekarnya, harum semerbak menggoda. Sedangkan dirinya hanyalah bunga yang hampir layu, pantas saja suaminya sampai lupa diri seperti itu.

"Iya," tegas Hadi tanpa memperhitungkan perasaan istrinya.

"Tapi ---" Marini hendak melayangkan protes, tapi Hadi segera membungkamnya. "Aku tidak sedang meminta ijin atau persetujuanmu. Aku hanya memberitahumu, bahwa aku akan segera menikah," ucap Hadi pongah.

Marini hanya bisa mengusap bulir air mata yang membasahi pipinya. Andai tidak sedang hamil, ingin rasanya ngamuk dan memukuli keduanya. Tapi tubuhnya sedang lemah, biarlah masalah ini dia selesaikan setelah melahirkan nanti. Sepertinya cerai adalah keputusan yang terbaik, daripada harus berbagi suami.

Bersambung ....

Jangan lupa subscribe dan review bintang lima.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status