Share

Bab 5

Harta kalau didapatkan dari cara yang curang, maka tidak akan berkah dan justru jadi masalah. Ini juga yang dialami Hadi dan Alina. Setelah melewati debat panjang, akhirnya Irwan bersedia mengganti uang Hadi yang digunakan untuk merenovasi rumah Marini. 

Uang 50jt yang diberi oleh Irwan, digunakan Alina untuk bersenang-senang. Shoping-shoping, perawatan dan berbagai hal unfaedah. Uang sebanyak itu akhirnya menguap begitu saja, tanpa rupa. 

"Mas, bagi duit dong! Aku mau luluran ke salon," rengek Alina pada suaminya. 

"Uang? Kamu yang bener dong, sayang. Baru kemarin gaji Mas sudah kamu ambil semua, hanya menyisakan uang bensin. Kok sekarang minta lagi? Ini baru tanggal 15, lho. Emang kamu pakai buat apa saja uang sebanyak itu?" tanya Hadi jengkel. Meski begitu suaranya tetap lembut, dia sama sekali tak berani membentak Alina. Walaupun istrinya ini melakukan kesalahan. 

Bibir Alina langsung mengurucut mendengar ucapan suaminya. "Ya buat macem-macem, Mas. Namanya juga orang hidup, masih banyak kebutuhan! Pelit banget sih jadi suami! Duit dipakai istri diungkit-ungkit!" ketus Alina. 

"Bukan mengungkit-ungkit, Sayang. Aku hanya tanya kenapa uang sebanyak itu masih kurang? Marini dulu hanya menerima setengah gajiku, tapi cukup untuk kebutuhan selama sebulan. Itu sudah termasuk biaya sekolah Ramon, lho. Sedangkan kamu hanya sendiri, kok bisa kurang?" ucap Hadi mengungkapkan keheranannya.

"Tuh, kan! Malah banding-bandingin aku sama Mbak Marini! Jelas bedalah! Biaya perawatanku mahal, biar terlihat cantik terus. Kalau aku irit kayak Mbak Marini, perawatan seadanya, bisa-bisa kamu kecantol perempuan lain!" Suara Alina mulai meninggi. Perempuan itu tidak pernah mau dibandingkan dengan Marini dari segi apapun. 

"Aku nggak bandingkan kamu dengan Marini, Sayang. Ya udah, ngak usah diperpanjang, ya." Akhirnya Hadi mengalah, demi menghindari pertengkaran. Dia kena batunya sekarang, kalau dulu Marini selalu mengalah, tak berani bersuara tinggi di depannya. Alina justru sebaliknya. 

"Kalau gitu mana duitnya? Aku sudah terlanjur booking salon tadi." Alina menadahkan tangannya pada Hadi. 

Hadi menghela nafas, bingung harus bagaimana menjelaskan pada Alina. Kalau dia benar-benar sedang tidak pegang uang. "Kamu pakai uang yang dari Mas Irwan, dulu!"

"Hah! Uang sudah dari kapan tahun itu masih kamu tanyakan?" pekik Alina. 

"Iya, kamu simpan, kan?"

"Ha .... Ha .... Ha .... Mas, Mas! Uang itu sudah lama habis." Hadi menatap bingung ke arah Alina. 

"Habis bagaimana?"

"Ya habis, lah! Habis kok gimana? Kamu pikir perayaan ulang tahunku kemarin nggak pakai uang? Jalan-jalan kita kemarin nggak pakai uang!"

Hadi benar-benar tak habis pikir, dengan perempuan yang dia nikahi setahun terakhir ini. Boros sekali kalau urusan uang, padahal dia bukan berasal dari keluarga kaya. Hanya keluarga biasa dan sederhana, harusnya bisa lebih hati-hati dalam menggunakan uang. Kenapa ini? Duh! Ingin rasanya Hadi .... 

"Tapi aku benar-benar nggak pegang uang, Lin. Semua gajiku kuserahkan padamu, uang tabunganku juga kamu yang pegang. Sudah nggak ada uang lagi," jelas Hadi pelan. Berharap Alina mengerti dan tak menuntut macem-macem. 

"Ya usaha dong, Mas! Jangan nyerah gitu aja. Pakai duit kantor, kek!" 

"Kamu mau aku korupsi?" tanya Hadi dengan tatapan tajam. 

"Alah, Mas. Nggak usah sok suci. Aku tahu kalian biasa makan duit proyek, makan duit sogokan dari para kontraktor. Itu sudah jadi rahasia umum orang PU." Alina pernah magang di kantor Hadi, jadi sedikit banyak tahu tentang kinerja orang di kantor itu. 

"Aku nggak berani, Lin. Sekarang pengawasan dari pusat lebih ketat. Kamu mau suamimu ini pakai seragam oren?"

"Terus gimana, dong? Aku sudah terlanjur booking salon," rajuk Alina yang sukses membuat Hadi kebingungan. 

"Sabar, ya? Tunggu gajian cair, nanti kamu ke salon," bujuk Hadi. 

"Kamu payah, Mas!" sentak Alina kemudian meninggalkan Hadi yang sedang memijit keningnya karena pusing. 

Hadi jadi ingat ucapan Irwan dan Lilik, ketika dia meminta uangnya dikembalikan. 

"Oke, akan kubayar uang yang kamu keluarkan untuk merenovasi rumah ini. Tapi jangan pernah kamu menginjakkan kakimu di rumah ini lagi," ucap Irwan dingin. 

Dia benar-benar sakit hati dengan iparnya yang satu ini. Sebagai suami, kepala keluarga, Ayah. Mengeluarkan uang untuk biaya renovasi rumah milik istri diperhitungkan, padahal dia ikut tinggal di dalamnya. Laki-laki nggak ada otak si Hadi ini. 

"Jangan dikasih, Mas. Keenakan dia nanti! Orang keluar uang untuk keluarga sendiri kok diungkit-ungkit," ucap Lilik mencoba mencegah Kakak tertuanya itu. 

"Nggak pa-pa, Lik. Aku hanya ingin Marini tenang di sana. Awas saja kalau dia berani menuntut macem-macem lagi, aku nggak segan-segan melemparnya ke penjara!" ancam Irwan dengan nada emosi. 

"Semoga uang itu jadi penyakit dalam hidupmu, Mas. Semoga nggak berkah!" Lilik mengeluarkan sumpah serapah, saking jengkelnya pada Hadi. Manusia kok nggak punya hati, toh rumah itu untuk anaknya sendiri. 

"Apa ini akibat sumpah serapah yang diucapkan Lilik dulu, ya?" gumam Hadi dalam hati. 

Sejak menerima uang itu, selalu saja ada masalah yang datang menyapanya. Padahal gajinya besar, belum lagi uang sampingan yang dia dapat. Tapi tak pernah cukup, bahkan selalu kurang. Padahal dulu bersama Marini, dengan gaji yang lebih rendah masih bisa nabung. "Sepertinya aku salah pilih istri," gumam Hadi dalam hati. 

Ah, menyesal pun percuma semua sudah terlanjur terjadi. 

* * * * * * * * 

Sementara Hadi hidup dalam penyesalan, Ramon sudah bisa menjalani hidupnya secara normal. Dia masuk SMP favorit, ikut berbagai kegiatan ekstrakurikuler untuk mengisi waktu luangnya. Lilik sengaja memberi banyak kegiatan pada Ramon, agar anak itu segera melupakan kesedihannya. 

Tak sia-sia Lilik menggembleng Ramon menjadi anak yang disiplin dan berprestasi. Dari SMP sampai kuliah, Ramon selalu menjadi juara. Bukan hanya prestasi akademik, tapi juga beberapa kejuaraan olahraga. 

"Jadi Bu Lek tidak mau menghadiri wisudaku?" tanya Ramon dengan wajah kecewa. 

"Lho, yang nggak mau menghadiri acara wisudamu siapa? Bu Lek hanya ingin kamu mengabari ayahmu, memintanya untuk datang menyaksikan keberhasilan kamu menyelesaikan studi," jelas Lilik.

Sudah bertahun-tahun sejak meninggalnya Marini, Ramon dan ayahnya putus kontak, tak ada komunikasi sama sekali. Bahkan Hadi mangkir dari kewajibannya membiayai hidup Ramon. Meski begitu Lilik ingin keponakannya itu berdamai dengan Hadi. Bagaimana pun juga mereka adalah ayah dan anak, akan lebih baik jika saling memaafkan dan melupakan kesalahan di masa lalu. 

"Untuk apa sih, Bu Lek? Wong dia sudah bahagia dengan kehidupannya, untuk apa kita ganggu lagi. Lagipula, belum tentu dia mau datang."

"Soal dia mau datang atau tidak, itu urusan belakang. Yang penting kamu datang, temui ayahmu dan sampaikan kabar gembira ini. Aku rasa beliau akan bahagia dan bangga putranya sudah berhasil menyandang gelar sarjana. Sudahi permusuhan kalian! Kasihan Mbak Marini, dia pasti sedih melihat suami dan anaknya bermusuhan." 

Ramon hanya terpekur menatap lantai. Damai dengan ayahnya? Apa mungkin? 

Bersambung .... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status