Lukman kembali mengernyitkan keningnya heran. "Maksud kamu gimana, Nak?" tanya Lukman. “Tunggu sebentar, Ibu letak Danish ke kamar dulu.” Indah berkata pada Diva. “Baik, Bu.” Diva menjawab. Selagi menunggu Ibunya, Lukman melihat ke arah Diva dengan tatapan cukup dalam. “Kamu mau pindahin Ratri apa sudah menemukan tempat yang bagus? Kamu kan sudah tahu, keadaan adikmu itu seperti apa dan juga ....” tanya pria itu dengan nada khawatir. Diva hanya tersenyum mendengar nada kekhawatiran pada ayahnya itu. Belum sempat menjawab Indah sudah kembali datang. “Betul seperti yang ayah kamu bilang Div, sebenarnya kita ini masih terkendala di biaya, kalau menyerahkan masalah ini padamu, rasa-rasanya kurang pantas.” Indah berkata dengan suara bijak, sembari melihat ke arah suaminya. “Benar Diva, selain itu, Nak, kamu juga harus memikirkan dirimu sendiri juga. Nanti kamu ke depannya bagaimana? Uang yang kamu peroleh, lebih baik kamu kumpulkan saja. Berhemat, Nak, keperluanmu masih banyak.” Luk
Diva tahu ayahnya akan bereaksi seperti ini, tetapi secepat mungkin dia harus kembali meyakinkan orang tuanya. Namun, Prisya tiba-tiba berdehem sedikit kencang. “Ehem ... Sudah ayah tenang saja, Kak Diva berani ke sana pasti dia sudah ada kenalan dan mendapatkan diskon yang besar! Bukan begitu, kak Diva?” Prisya tahu ini pasti akan membuat Lukman terkejut, sebelum Diva kembali meyakinkan pria itu, Prisya lebih dulu mengambil alih pembicaraan agar Diva bisa menambahkan argumennya agar lebih mantap. Jelas Lukman sangat terkejut dengan tempat itu, karena waktu itu Lukman dan Prisya pernah mengunjunginya sekali, tetapi mereka mundur secara teratur karena biaya untuk mendapatkan perawatan di sana yang cukup besar. “Iya benar, Yah! Serahkan sama Diva masalah penyembuhan Ratri, kita pasti akan dengan cepat membuatnya pulih..” Diva berkata dengan penuh keyakinan. Dia harus memastikan orang tuanya mau memindahkan adik mereka. “Ini juga demi kepentingan Ratri, Yah, agar dia juga bisa mendapa
Anggala sudah tiba di tempat yang dijanjikan oleh Marissa, Dia melihat wanita itu sedang menunggu di dalam mobilnya. Anggala lalu menghubungi Marissa melalui ponselnya. “Hai, Ang, keluar dan masuklah ke mobilku, kalau kita bicara di luar kita tidak tahu apa nanti akan ada orang yang mengenalimu atau tidak.” Marissa berkata dengan datar agar terkesan tenang. Anggala menghela napas berat. “Apa kamu mau menjebakku? Aku tidak tahu apa yang kau siapkan di dalam sana. Jangan kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu itu sebenarnya sangat licik?" Anggala berkata dengan nada dingin. "Cih!" Marissa berdecih, dia sedikit kesal mendengar kalimat angkuh yang terlontar dari mulut Anggala. "Kalau aku ke sana apa aku juga tidak berpikir yang sama?""Terserah, aku akan menunggumu di sini," ucap Anggala."Kita ini dipihak yang sama.” Marissa berkata dengan tenang. “Ya, dipihak yang sama dengan tujuan yang berbeda.” Anggala berkata dengan nada sarkas pada Marissa. “Baiklah, aku akan ke tempatmu.” Maris
ESW: “Pagi ini siapkan data-datanya, kita rapat setelah briefing pagi.” Grup chat pagi ini dibuka oleh Elvan yang mengirim pesan di sana. Sudah bisa dipastikan penghuni grup akan sangat heboh saat melihat pesan yang datang dari bos besar mereka ini.Mereka dengan cepat merespon secara sopan dan kalimat basa-basi yang cukup panjang hanya untuk mengatakan siap!Namun, diantara mereka semua ada satu orang penghuni grup ini yang belum merespon sama sekali. Mereka menyadari bahwa rekan mereka yang satu ini memang sedikit berbeda. Dia adalah ... Diva.Beberapa rekan kerja Diva ini ada yang mengirim pesan langsung secara personal untuk menyuruhnya merespon pesan yang diberikan oleh Bos mereka saat ini.Akan tetapi, Diva tetaplah Diva. Wanita itu malah tidak bisa dihubungi sama sekali, membuat beberapa dari mereka sedikit khawatir. “Kakak! Kak Diva! Kakak ini mau bangun jam berapa sih?!” Suara Prisya mengejutkan Diva, membuatnya seketika melompat dari atas tempat tidurnya. “Ada apa Pris? K
Seisi ruangan melihat ke arah Diva dengan pandangan yang cukup prihatin. Pun Deska dia hanya diam saja, tidak akan melakukan pembelaan terhadap dirinya. Diva juga heran, saat ini apa Elvan sedang bermain-main dengannya? “Jadi ... pacar kamu yang membuat kamu terlambat? Begitu maksudmu?” tanya elvan pada Diva, pria itu menatap Diva dengan sangat intens. “Menurut Bapak, kalau bukan dia siapa? Karena dia yang mengajak saya cerita sampai nyaris pagi. Wajar kalau saya mengantuk dan–” Ah! Diva baru menyadari kalau sepertinya dia terlalu banyak bicara, sorot mata rekan-rekannya melihat ke arahnya bagai sebuah peluru yang melesat mengenai dirinya. 'Diva bodoh sekali kamu! Apa kamu tidak mengawasi situasi sebelum berperang?!' Diva bertanya pada diriya sendri. “Ah, maap, Pak, saya bener-bener minta maap. Saya gak maksud cerita begini untuk cari-cari alasan, saya … pokoknya saya minta maaf, saya tidak bisa ....” “Baiklah Diva, itu tidak masalah kalau kamu terlambat seperti sekarang, tapi Ap
Elvan dan Diva menunggu pintu lift terbuka, mereka berdiri bersisian."Dasar iblis kejam!" ungkap Diva dengan suara tertahan.Elvan hanya tersenyum mendengarnya. "Tetapi kamu jangan lupa iblis kejam ini adalah tunanganmu.""Pak Elvan benar-benar keterlaluan." Diva berkata dengan sedikit merengek.TING!Pintu Lift terbuka lebar."Ayo masuk," ajak Elvan pada Diva.Diva mengikutinya."Masih mengantuk?" tanya Elvan saat mereka sudah ada di dalam lift tersebut.Diva mengangguk perlahan, tanpa aba-aba Elvan merengkuh pundak Diva, membuat wanita itu terkejut dan matanya langsung membesar kembali."Elvan apa-apaan kamu ini! Lepasin, entar kita ketahuan orang gimana?!" Diva berkata nyaris berteriak."Ya tinggal bilang saja jangan beritahu siapapun, kalau ada yang tahu selain dirinya siap-siap saja konsekuensinya." Elvan berkata dengan sangat santai."Ish! Udah lepasin, bentar lagi sampe!" Setelah Diva mengatakan hal itu, pintu lift terbuka dan Elvan sudah menyingkirkan tangannya dari Diva."Ay
Diva sangat tidak mengerti dengan jalan pikiran Elvan saat ini, apa maksudnya? “Kenapa ….” Diva tiba-tiba saja kehabisan kata-katanya. “Ya, Tolong jangan tampilkan lehermu itu di depan orang lain, aku tidak suka.” Elvan berkata terus terang dan mempertegasnya sekalilagi. Diva menatap lekat ke arah Elvan ingin mengetahui alasan yang lebih logis lagi. “Ini … membuatku ingin memakanmu.” Elvan membisikkan kalimat itu di belakang telinga Diva membuat bulu halus yang ada di tubuh Diva tiba-tiba berdiri apalagi saat ini wajah Elvan tepat berada di ceruk leher Diva. “Van! Kamu ini apaan sih! Sudah aku naik dulu, aku tidak akan memperlihatkannya dengan orang lain, kecuali tunanganku!” Diva mengerlingkan sebelah matanya. Elvan tersenyum melihat Diva dan menarik tangan wanita itu hingga membuatnya jatuh ke dalam pelukannya. “Van, kamu ….” “Diamlah sejenak aku juga butuh mengisi daya!” Elvan berkata pada Diva membuat gelenyar hebat dalam tubuh wanita itu. Setelah merasa cukup, Elvan meren
Diva tersenyum melihat keduanya dan berkata, “Sudah kalian tenang saja, aku tidak marah, kok.“ Diva tersenyum lalu keluar dari dalam lift, karena pintu lift tersebut sudah terbuka sejak tadi. Baru sampai di depan pintu ruangannya, seperti biasa anggota ruangan ini memang tidak bisa untuk tidak tahu dengan kondisinya. “Diva kamu ….” “Santai saja, bukannya aku sudah terbiasa seperti ini?” Diva langsung menanggapi kekhawatiran mereka dengan santai. “Mbak Des, yang diminta sama Pak Elvan tadi aku perbaiki sedikit ya, minta waktu lima belas sampai tiga puluh menit ya, Mbak?” Diva berkata pada Deska dengan wajah memelas. Deska mengangguk. “Diva, mulai sekarang ke depan, saya harap kamu bisa menjaga sikapmu itu. Pak Elvan mungkin tidak akan berbaik hati lagi kalau kamu terlalu sering seperti itu.” Mendengar ucapan Deska Diva hanya mengangguk dan berjalan ke meja kerjanya. Sebenarnya, sekarang ini Diva sedikit gelisah dengan gosip yang sedang beredar itu. Dia disangka selingkuhan? Yang