Dylan mendudukkan Laura di samping kursi kemudi dan memasangkan seatbelt untuknya. Setelah itu, ia memutari bagian depan mobilnya dan duduk di kursi kemudi. Sejenak ia berpikir mau dibawa kemana wanita di sampingnya ini? Laura ngotot tak tingin dibawa ke rumah sakit, sementara Dylan tak tahu sama sekali di mana rumah Laura. Tiba-tiba sebuah ide hinggap di atas kepalanya. Dengan cepat ditariknya tas tangan perempuan itu dan ia memutuskan untuk membongkar seluruh isinya. Mencari-cari ponsel Laura. Cepat Ia membuka kontak Laura dan menemukan nama Raynald di sana yang diapit dua buah hati. Ragu-ragu, Dylan akhirnya mengontak nomor itu. Sebenarnya ia takut akan terjadi kesalah pahaman antara ia dan Raynald. Namun ia sama sekali tak punya pilihan lain. Maka ketika panggilannya dijawab oleh Raynald, Dylan memutuskan untuk to the point. “Saya Dylan. Saya butuh bantuan kamu, rumah Laura di mana?” ujar Dylan tiba-tiba. Karena tak ada jawaban dari seberang sana, Dylan kembali mengulangi kalimat
Raynald masih dapat mendengar jeritan Laura ketika ia menghampiri laki-laki yang terpelanting di atas lantai karena hantamannya. Ia tak dapat lagi menahan emosi yang memuncak di ubun-ubunnya ketika melihat Dylan memperlakukan Laura begitu hangat. Dylan hendak bangkit ketika Raynald terlebih dahulu mencegah gerakkannya. Mendorongnya kembali ke atas lantai dan menarik kerah bajunya dengan berang. Matanya melotot tajam. Napasnya memburu. Entah karena ia habis berlari atau karena rasa sakit di dalam hati yang dideranya ketika melihat adegan mesra Laura dengan laki-laki di depannya ini. Yang mencengkram tangannya begitu kuat untuk mencegahnya menghajar wajahnya kembali. Tepat saat itu, Raynald merasa seseorang menarik tangannya dari belakang. Suara Laura yang tadi tenggelam karena emosinya, perlahan timbul kembali dan Raynald mulai kembali ke alam sadarnya. Perlahan, cengkramannya di kerah baju Dylan mengendur. Perlahan ia melangkah mundur. Masih menatap Dylan dengan penuh kebencian. Ia l
Raynald melangkah dengan perasaan carut marut. Ia masuk ke dalam kamarnya yang gelap dan menutup pintu. Menjatuhkan tubuhnya di tepi ranjang. Duduk termenung memikirkan semuanya. Hatinya masih sangat sakit setiap kali mengingat bagaimana Dylan memperlakukan Laura. Dan sakitnya bertambah kian parah ketika mengingat bagaimana Laura lebih membela laki-laki itu ketimbang dirinya. Raynald meraup wajahnya dengan kedua tangannya dan merebahkan tubuh di atas kasur. Pikirannya sedang tak karuan. Segala kemungkinan-kemungkinan buruk terus saja berkelebat di dalamnya. Ia sungguh tak ingin apa yang pernah terjadi pada Alexa, kembali terjadi pada Laura. Ia masih sangat ingat bagaimana cemasnya ketika mendapat telepone dari Dylan, mengabarkan kalau Laura pingsan. Raynald bahkan tak mengatakan apa-apa pada Alexa. Ia bergegas meninggalkan rumah sakit. Berlari menyusuri koirdor, melajukan mobilnya dengan ugal-ugalan. Dan kembali berlari ketika ia tiba di rumah perempuan itu. Tapi apa yang didapat? ia
Dylan masih tak dapat menghentikan langkah setengah berlarinya ketika menyusuri koridor rumah sakit. Beberapa menit setelah keluar dari rumah sakit, ia mendapat telepone dari ibu Alexa, mengabarkan kalau Alexa tak sadarkan diri. Dibantingnya setir, melajukan mobilnya kembali ke tempat semula. Pontang-panting Dylan berlari, memasuki lift dan kembali menyusuri koridor di lantai 3. Langkahnya terhenti seketika di ujung koridor saat matanya menangkap sosok Raynald dan ibu Alexa. Ia mencoba mengatur napasnya yang terengah sejenak sebelum kemudian kembali berjalan dengan langkah-langkah lebarnya.“Alexa bagaimana tante?” Tanya Dylan. Menyentakkan dua orang yang ada di sana. Ibu Alexa nampak terkejut dengan kehadiran Dylan yang dirasanya begitu cepat dan tiba-tiba. “Tante? Bagaimana keadaan Lexa? Kenapa bisa seperti ini?” Dylan mengulangi pertanyaannya saat perempuan di depannya tak kunjung menjawab pertanyaannya. “kita masih belum tahu keadaannya sekarang.”Dylan mengalihkan perhatiannya
“Jadi, Alexa sudah mulai menemukan ingatannya?” Laura meletakkan cangkir berisi capucino hangat di atas meja. Setelah Dylan mendengar kabar dari Alexa pagi tadi, Dylan tak dapat menahan diri untuk tidak bertemu Laura dan menceritakan semuanya. mereka memilih jam istirahat makan siang dan melakukan pertemuan di salah satu cafe yang dipilih Dylan yang berada tak jauh dari kantor Laura. Ia tak ingin hanya karena kepentingannya sendiri malah membuat gadis itu kerepotan dengan memilih cafe yang jauh dari kantornya. Dylan mengangkat cangkir miliknya dan menyesapnya. Ia meletakkannya kembali di atas meja sebelum menjawab, “Iya.” Kenangnya pada penjelasan Raynald tanpa pernah berhenti tersenyum. Meski belum ada penjelasan dari Alexa, tapi ia tetap senang mendengar kabar berita itu. Meskipun kata mungkin masih bertebaran dari setiap cerita Raynald, Dylan tetap tak bisa berhenti berharap kalau semua yang diceritakan laki-laki itu adalah kebenaran. Bahwa kini, Alexa mulai mengingat dirinya.Na
Sudah lebih dari satu jam Alexa menunggu Dylan di tempat biasa laki-laki itu duduk, di depan ruang rawatnya. Alexa penasaran atas perasaan aneh yang hadir ketika melihat Dylan bersama Laura. Jadi ia memutuskan untuk bertanya langsung pada laki-laki itu. Tapi, untuk pertama kalinya, hingga waktu menunjukkan pukul 21:00, laki-laki itu tak muncul di tempatnya. Dari atas kursi rodanya, Alexa mendesah pasrah. Sepertinya ia memang tak berkesempatan untuk hari ini. Alexa memutar roda kursinya ketika dokter yang menanganinya melangkah mendekat.“Hai, Lexa,” sapa dokter yang berperawakan tinggi dengan usia tak jauh darinya. Alexa tersenyum. “Hai, Dok,” sambutnya. Dokter itu menghentikan langkahnya di depan Alexa.“Nunggu seseorang?” tebaknya yang tepat sasaran. Alexa menunduk sejenak. Tersenyum, dan mengangguk. Ia kembali mengangkat wajahnya dan menatap dokter di depannya. “Dokter tahu, ‘kan, laki-laki yang selalu duduk di sini?” Ia bertanya. Dokter itu lantas terdiam sebelum kemudian mengan
“Hai!” Laura keluar dari gedung tempatnya bekerja dengan wajah berseri. Mata bulatnya yang menghiasi wajah putihnya menatap Dylan dengan binar kebahagiaan. Beberapa menit yang lalu, laki-laki itu menghubunginya. Memintanya mengirimkan lokasi kantor Laura tanpa memberi alasan kenapa dirinya akan datang. Dylan yang sejak tadi bersandar di badan mobilnya, menunggu Laura keluar, lantas menegakkan tubuhnya dan menghampiri Laura yang berjalan mendekat.“Ada apa sih, kok tumben maksa main ke kantor?” tanyanya penasaran. Ada satu hal yang disukai Dylan dari gadis bertubuh ramping di depannya ini. Matanya yang selalu terlihat penuh keceriaan. Yang entah bagaimana mampu membuatnya tersenyum.“Tapi saya gak ganggu, kan?” Dylan memastikan. Laura menggeleng penuh semangat. Ia kemudian bergumam kecil sambil menoleh ke kiri dan kanan seolah mencari sesuatu.“Kenapa?” tanya Dylan.“Oh, gak. Aku cari tempat untuk kita ngobrol. Atau mau di kantin saja?” tawarnya. Kali ini, Dylan yang menggeleng. “Saya
“Ray ....”“…”“Raynald.”“…”“Ray.” Alexa menyentuh lengan Raynald dengan lembut. Gerakan yang akhirnya mampu menyadarkan laki-laki itu dari lamunannya.“Eh, iya. Ada apa? Kamu mau minum? Tunggu sebentar aku ambilin.” Raynald beranjak dari tempatnya tanpa menunggu jawaban Alexa. Ia hendak menggapai gelas yang berada di sisi kiri tubuh perempuan itu. Namun sebelum itu, Alexa mencengkram lengan Raynald. Memaksa laki-laki itu untuk tetap diam. Raynald menatapnya dalam ekspresi yang tak terbaca oleh Alexa. .“Aku gak mau minum, Ray,” ujarnya. Dan Raynald seketika merasa bodoh. Ia hanya bergumam ‘oh’ pelan lalu kembali duduk dengan canggung.“Kamu kenapa sih?kok dari tadi bengong terus?” tanya Alexa mulai merasa ada yang aneh dengan laki-laki di depannya. Pasalnya, setelah mendapat pesan beberapa menit yang lalu, sikapnya mulai berubah. Raynald nyaris saja menjatuhkan piring buah di pangkuannya. Hampir saja melukai tangannya ketika mengupaskan Alexa sebuah apel, dan untuk waktu yang cuku