Hujan deras mengguyur langit malam itu. Membuat Laura bergeming di depan gedung kantornya. Hari ini, ia tak membawa kendaraan lantaran pagi tadi ia lupa meletakkan kuncinya di mana. Alhasil, Laura memutuskan berangkat kerja menggunakan jasa angkut taxi. Sebenarnya, masih belum terlambat untuk pulang menggunakan jasa angkuti itu lagi. Jarum pada jam di dinding kantornya masih menunjukkan angka delapan. Namun, Laura masih ingin berada di tempatnya berdiri saat ini. Masih ingin sendiri, masih ingin memikirkan semuanya. Bahkan tawaran Angel dan beberapa rekan kerjanya pun di tolak lantaran alasan itu.
Sejak kedatangan Ibu Alexa siang tadi, hari Laura seketika kelabu. Melanjutkan bekerja pun rasanya tak berselera. Semua karena satu kalimat dari ibu Alexa yang terus saja menggema di telinganya. “Kata dokter, kita masih harus terus mengikuti arus drama ini sampai … sampai Alexa benar-benar bisa menerima kenyataan.” Laura mendesah. Hatinya bertanya-tanya. ‘Kenapa ia harus pedu
Raynald ingin menyudahi pertengkarannya dengan Laura. Ia merindukan perempuan itu, dan sama sekali tak ingin hubungan mereka berakhir begitu saja. Setelah sekian waktu mereka tak saling berkomunikasi, Raynald jadi benar-benar berpikir bahwa ia masih menginginkan Laura. Mungkin Laura benar, bahwa ia sudah keterlaluan. Bertindak tanpa mengetahui kebenarannya seperti apa. Jadi malam itu, Raynald memutuskan untuk melajukan mobilnya menuju rumah Laura. Tapi, apa yang didapat? Lagi-lagi kekasihnya itu sedang bermesraan dengan Dylan di dalam mobil. Bahkan, ia tak menolak ketika Dylan membelai wajahnya. Raynald tak menyadari, buku-buku jarinya sampai memutih karena mencengkram setir terlalu kuat. Tak lagi bisa menahan sakit hatinya, Raynald kembali menghidupkan mesin mobilnya. Seketika, lampu depan mobilnya mengganggu dua orang yang sedang berpandangan di depan sana. Sadar Laura telah mengenalinya, Raynald mulai menggerakkan roda mobilnya. Hingga saat Laura keluar dari mobil Dylan, Raynald
Sudah hampir 20 menit Laura berdiri di depan pintu rumah Raynald yang tertutup, dengan gelisah. Ia ingin meluruskan semuanya. Ia ingin menjelaskan apa yang salah. Tapi, hatinya masih ragu. Raynald terlalus ering melihatnya bersama dengan Dylan. Lantas, apakah laki-laki itu masih mau mendengar penjelasannya? Laura menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya dengan keras. Bukankah ia harus mencoba? Untuk memperbaiki hubungannya dengan Raynald yang sudah semakin merenggang. Ia meyakinkan hatinya. Perlahan tangannya bergerak naik. Dan dengan hati-hati diketuknya pintu di depannya dengan jantung bergemuruh. Laura hanya mengetuknya dua kali saja. Ia terlalu takut. Satu menit, dua menit, Laura menunggu pintu di depannya terbuka. Tapi sayangnya pintu itu tetap bergeming. Sekali lagi Laura menguatkan hati, menggerakkan tangannya lagi untuk mengetuknya sekali lagi. Tapi tepat pada saat itu, pintu di hadapan Laura mendadak terbuka. Laura tersentak. Saat ia dihadapkan pada Raynald ke
“Hai Alexa.”Seorang dokter yang selama ini merawat Alexa datang berkunjung untuk melihatnya yang terakhir kali. Ya, hari ini adalah hari di mana Alexa akan meninggalkan rumah sakit setelah sekian lama. Ia begitu bersemangat, beberapa pakaian sudah dipackingnya. Tas sudah siap. Ia sedang melipat selimut rumah sakit ketika dokter itu datang.“Hai, Dok.” Alexa tersenyum menyambutnya. Begitu pun Raynald yang sedang membantunya siap-siap.“Sekali lagi selamat ya, semoga setelah kembali ke rumah, keadaan kamu akan semakin membaik.”Alexa mengangguk. “Terima kasih untuk semuanya, Dok.” ucapnya tulus. Sang dokter hanya tersenyum dan mengangguk. “Jangan lupa untuk terapinya ya. Kamu masih membutuhkan itu.” Beliau menepuk lengan Alexa dengan pelan. Sementara perempuan itu mengangguk. “Baik kalau begitu, saya tinggal dulu.” “Terima kasih, dok.”Laki-laki berjas putih itu meninggalkan ruang rawat Alexa bersamaan dengan ibunya yang masuk ke dalam ruang rawatnya. “Alexa, Taxinya sudah datang.
Angin malam terasa begitu dingin hingga menusuk ke tulang. Rupanya sudah masuk musim dingin. Raynald bahkan sampai mengeratkan jaket bomper abu-abunya. Sebenarnya, ia sudah mengajak Alexa untuk bertemu di tempat yang lebih nyaman dan tertutup. Tapi, perempuan itu tetap memaksa memilih tempat pertemuan di taman yang berada tak jauh dari rumahnya. Dan betapa senangnya Raynald ketika ia melihat Alexa datang. Tubuhnya bisa saja membeku kalau menunggu sedikit lebih lama. Ia rasa, Alexa tahu kalau dirinya tak bisa tahan dengan udara dingin.“Hai.” Sapa Raynald berusaha mengontrol gemetar bibirnya yang kedinginan.Alexa menjatuhkan tubuhnya di samping Raynald pada sebuah kursi panjang yang sejak tadi diduduki laki-laki itu. Ia hanya tersenyum tanpa membalas sapaan Raynald.“Kenapa gak besok saja? Ini sudah malam dna kamu harus istirahat.” ujar Raynald. Ia masih tak mengerti kenapa Alexa memakasanya untuk datang malam itu juga. Padahal gadi
Seharian ini, Dylan merasa gelisah. Ia tak bisa fokus bekerja. Pekerjaannya bahkan beberapa kali salah. Berkali-kali ia mengalihkan pikirannya dari apa yang menghantuinya, tapi selalu saja berakhir sia-sia. Ia akan mendapati dirinya kembali larut dalam lamunan yang berkepanjangan. Tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan yang menemukan jawaban. ‘Kenapa, Laura tak bisa dihubungi beberapa hari ini?’Awalnya Dylan mencoba menghubungi perempuan itu untuk memintanya menemani dirinya memberikan hadiah untuk Alexa atas kepulangannya. Tapi Dylan mendapati panggilannya direject. Ia sempat terkejut, tapi mencoba positive thinking mungkin Laura sedang meeting atau bersama klien. Ia mencoba mengirimi pesan permintaan maaf dan meminta perempuan itu menghubunginya kembali. Tapi lagi-lagi tak ada respon. Pesannya terbaca tapi Laura bahkan tak membalasnya hingga satu dinihari. Esoknya, Dylan kembali menghubungi perempuan itu, dan berakhir sama. Panggilannya direject. Pesannya diabai
Laura menatap layar ponselnya yang berkedip, menampilkan nama Dylan di sana. Hari ini, sudah kali ketiga ia mengabaikan panggilan laki-laki itu dan sudah tujuh hari sejak ia memutuskan untuk berhenti berhubungan dengannya. Atas dasar janjinya pada Raynlad, lagi-lagi Laura menekan tombol kunci layar pada ponselnya dan menelungkupkan benda itu. Ia mendesah. Entah kenapa tujuh hari ini Laura merasa begitu berat. Bahkan, ia sering tidak fokus pada pekerjaannya. Laura sungguh tak menyangka, ada desakan besar di dalam dadanya untuk bertemu dengan Dylan. Atau sekadar menjawab panggilan laki-laki itu. Namun tentu saja, ia tak ingin menghianati janjinya pada Raynald. Ia masih berharap pada hubungan mereka.“Kenapa gak diangkat?”Laura tersentak, memutar kursi kerjanya dan mendapati Angel yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakangnya. Perempuan itu mengerutkan kening menunggu jawaban Laura. Sebenarnya, Laura sendiri masih bingung atas apa yang diala
Bab 45Angel merapatkan jaket yang dikenakannya ke tubuh. Menelusuri jalanan beraspal yang basah sisa hujan sore tadi. Ia menyebrangi jalan dan masuk ke dalam sebuah cafe kecil bercahaya remang. Tak sulit menemukan sepupunya di sana. Raynald sedang menenggak minumannya di salah satu meja yang sudah di pesannya. Angel melanjutkan langkah menghampiri Raynald.“Hai, Sorry telat.” ujarnya sembari menarik sebuah kursi di depan Raynald dan menjatuhkan tubuhnya di sana.“It’s oke.” jawab Raynald. “Pesan. Sorry aku pesan dulu. Haus.” Raynald menyodorkan sebuah buku menu pada Angel. Perempuan itu mulai tenggelam dalam deretan huruf di depannya, sebelum kemudian ia kembali mengangkat wajah dan tangannya pada seorang waiters yang tak jauh dari mereka.“Milkshake Bannana.” Angel menyebutkan pesanannya yang segera dicatat sang waiters.“Hujan-hujan?” tanya Raynald memastikan Angel tak
Laura berjalan gontai menyusuri koridor kantornya. Waktu sudah menunjukkan pukul 18:00. Semua pekerjaannya sudah selesai jadi ia bisa pulang sedikit lebih Awal. Sayangnya, ia tak bisa menikmati waktunya yang begitu berharga dan jarang terjadi. Perasaannya sedang carut marut. Tentu saja semua karena Angel. Pengakuannya pada sahabatnya tadi telah membuat perempuan itu kesal dengan dirinya dan menghindarinya. Perasaannya jadi semakin tak menentu. Laura sadar di sini, dirinya memang salah. Tak tahu diri membuka hati kembali untuk laki-laki lain, sementara hubungannya dengan Raynald masih baik-baik saja. Bahkan Raynald sedang berusaha keras untuk membuat mereka tetap bersama. Laura mendesah untuk kesekian kalinya. Ia mendorong pintu kaca yang entah mengapa terasa berat. Tenaganya benar-benar habis terkuras atas apa yang sudah terjadi padanya. Pikiran yang kacau seolah menyedot habis tenaganya yang tersisa. Ia merasakan ponselnya yang berada pada saku celana bergetar. Laura mengeluarkan ben