Malam itu, Laura tak bisa tidur. Pikirannya melayang pada pemandangan beberapa jam yang lalu ketika ia berada di rumah sakit. Sejujurnya, mengingat apa yang dikatakan Alexa membuat Laura takut. Ia takut kalau perempuan itu akan berharap banyak pada hubungannya dengan Raynald. Bagaimana nanti kalau Alexa ternyata membutuhkan waktu lama untuk pulih dan malah semakin tak terpisahkan dengan Raynald. Memikirkan hal itu seketika membuat ulu hatinya nyeri. Laura menyingkap selimutnya dan duduk di tepi ranjang. Ia sungguh tak ingin hal itu terjadi. Diraihnya ponsel yang sejak tadi digeletakkannya di atas nakas dan mencari nomor Raynald. Beberapa jam ini sungguh membuatnya tak bernafsu untuk melakukan apa-apa. Bahkan untuk sekadar mengecek pesan atau chat yang masuk di aplikasi whatsappnya pun ia enggan. Namun kali ini, ia tak peduli hari sudah malam, ia hanya ingin mendengar suara laki-laki itu. Akhir-akhir ini, mereka jarang sekali punya waktu bersama. Atas apa yang harus dilakukan Raynald, L
Raynald menenggak minumannya yang seketika habis dalam satu kali teguk. Hari ini, genap dua hari Laura tak ada kabar. Ia tak tahu, sampai kapan perempuan itu meminta waktu darinya untuk menyendiri. Tapi, dua hari saja rasanya Raynald sungguh tersiksa. Ia tak fokus bekerja, tak fokus merawat Alexa. Pikirannya hanya tertuju pada Laura yang tak tahu bagaimana kabarnya.“Ya, mau bagaimana lagi? Kamu yang salah di sini, kamu harus hargai keputusan Laura.” Angel menuangkan cola sekali lagi ke gelas Raynald yang sudah kosong. Malam itu, Raynald tak tahu harus ke mana untuk meluapkan rasa rindunya pada Laura. Maka ia memilih untuk berkunjung ke rumah Angel. Beruntung, Angel tak sedang lembur atau keluar. Perempuan itu sedang menikmati waktu senggangnya di rumah, yang sayangnya harus terusik dengan kedatangan Raynald.“Sebenarnya, aku juga kesal sama kamu. Aku saksi hidup bagaimana Laura berjuang mendapatkan promosi itu. Terus tiba-tiba … boom!” Angel menganalogikan tangannya layaknya kembang
Laura mematung di ujung koridor rumah sakit menuju ruang rawat Alexa, ketika dilihatnya ruangan itu sedang ramai pengunjung. Mungkin sekitar 6 atau 7 orang. Tak biasanya ruangan itu terasa hidup. Tapi, memang tidak ada yang salah. Bukankah, Alexa memiliki teman? Mungkin saat ini mereka sedang menjalankan peran sebagai teman yang baik. Mengunjungi temannya yang baru saja sadar dari koma setelah dua tahun lamanya berjuang. Diam-diam, Laura suka melihat pemandangan itu. Mereka bergurau, tertawa dengan renyah. Setidaknya, hal itu bisa menghibur Alexa, bukan? Terkadang, Laura mencoba merasakan bagaimana rasanya menjadi Alexa. Pasti sangat membosankan setiap hari bangun dan berada di ruangan yang sama dengan pergerakan yang terbatas. Tapi, mau tak mau Alexa harus menerima itu kalau ia mau cepat pulih. Dan melihat mereka yang tak Laura kenal datang menghibur Alexa, Laura tiba-tiba saja ikut bahagia. Ia menunduk, menatap setangkai mawar yang dibawanya hari ini dan berkata pada bunga itu, mu
“Hari ini, seharusnya Alexa sudah menjadi istri saya yang sah.” Dylan memulai ceritanya. Mengenang kisah yang tak pernah terjadi hingga hari ini. Laura mengangkat wajahnya dari gelas kopi, menatap wajah Dylan yang menerawang. Lantas ketika menyadari perempuan di depannya sedang menatapnya, Dylan mengalihkan pandangan ke arah Laura dan tersenyum. Laura tak tahu mengapa ia bisa tersenyum mengiringi statment menyedihkan seperti tadi. Bahkan, Laura sendiri merasa menyesal atas apa yang didengarnya. Ia tahu, sebenarnya hati laki-laki ini sedang hancur. Bagaimana tidak, dilenyapkan begitu saja dari ingatan sang kekasih. Rasa-rasanya cukup wajar untuk merasa berduka. Tapi, Laura justru merasa laki-laki di depannya ini cukup dewasa dalam menghadapi persoalannya.Dylan meraih gelasnya dan meneguk isinya sekali teguk. “Saya merasa ini semacam hukuman buat saya dari Tuhan.” Ia mendesah. Tapi Laura menangkap ketenangan dari wajahnya. Kenyataan itu membuat Laura sedikit iri. Bagaimana tidak, di te
Dylan pulang ke rumahnya dengan rasa lelah yang membelit tubuhnya. Seluruh lampu sudah padam. Artinya, ibu dan adik perempuannya, Nania sudah tidur. Ya, Dylan sudah terbiasa pulang dalam kondisi seluruh lampu rumah sudah padam. Mereka memang jarang bertemu ketika malam, mereka lebih sering bertemu saat pagi. Ketika pukul 04.00 ibunya akan terbangun untuk melaksanakan sholat tahajud dan menyempatkan mengaji sedikit sembari menunggu waktu subuh. Setelah itu, beliau akan mulai disibukan dengan urusan rumah tangga. Memasak sarapan untuk Dylan dan adiknya yang masih SMA, dan segala macam kesibukan rumah lainnya.Dylan menghempaskan tubuh di atas kasurnya yang terasa nyaman. Ia melonggarkan dasi yang sejak pagi menecekik lehernya. Ia bersyukur seluruh pekerjaannya hari ini lancar tanpa hambatan. Meski setiap hari ia akan meneysal karena belum sempat menyelesaikan kasus ayahnya pasca tragedi kecelakaan yang menimpa Alexa. Ah, mengingat gadis itu membuat Dylan melayangkan ingatannya pada Laur
Sudah satu minggu berlalu sejak hari itu. sejak pertemuan pertama Laura dengan Dylan. Sejak mereka saling bertukar pikiran dan saling menguatkan. Laura sudah tak pernah bertemu lagi dengan laki-laki itu. Beberapa kali ia diam-diam datang berkunjung ke rumah sakit, tapi Dylan juga tak pernah terlihat di sana. Entahlah. Kemana perginya laki-laki itu. Mungkin ia sedang sibuk dengan pekerjaannya. Bisa jadi juga, hari itu adalah pertemuan pertama dan terakhir Laura dengan Dylan. Laura tak mau ambil pusing dan memikirkannya. Ia hanya ingin fokus pada hubungannya dengan Raynald. Berusaha untuk tetap menjaga semuanya agar tak ada yang berubah atau merasa ada yang berubah “Mik, duluan ya.” Sore itu, Laura pamit pada rekan kerjanya untuk pulang lebih awal. Ia sudah menyelesaikan pekerjaannya. Biasanya jika pekerjaannya selesai lebih awal seperti ini, Laura akan menghabiskan waktu di tempat kerjanya. Sekadar cerita-cerita atau menemani kawannya lembur. Ia bersyukur mendapatkan pekerjaan ini y
Pagi pukul 07:00, untuk pertama kalinya Laura sudah siap untuk berangkat ke kantor. Tapi sebelum itu, hari ini sudah memiliki rencana untuk memulai misinya bersama Dylan. Malam tadi, sepulang dari pertemuan mereka, sebuah pesan masuk ke ponsel Laura. Dari nomor asing yang ternyata milik Dylan. Laki-laki itu memintanya untuk datang lebih pagi ke rumah sakit, esok hari. Maka hari ini, Laura bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah selesai berdandan, Laura keluar dari kamarnya untuk berpamitan dengan ibunya. “Kok tumben pagi banget, Lau?” Mama Laura yang sedang sibuk menata sarapan tentu saja merasa terkejut. Pasalnya ini kali pertama Laura berangkat sepagi ini selama bekerja. Jam operasional kantor Laura adalah jam sembilan pagi. Biasanya, Laura akan berangkat satu jam sebelumnya. Siaga ketika terjadi macet, ia tak akan terlambat. “Iya, Ma. Laura ada perlu.” Laura tak berniat menjelaskan lebih lanjut karena hal itu hanya akan memperpanjang waktu dan membuatnya terlambat. Ia lantas mer
Alexa meraba tulisan tangannya yang tercetak pada buku pemberian Laura. Sejujurnya ia tak ingat apa-apa tentang buku ini. Ia tak ingat pernah membeli atau memberikannya pada seseorang. Terlebih, ia tak ingat pernah menulis sesuatu semacam itu.“Selamat karena sudah memenangkan kasus penggelapan dana Rumah Sakit Nami. Bekerja keraslah, tapi jangan lupa bersenang-senang.”Kalimat itu terdengar penuh perhatian dan manis ketika ia membacanya. Tapi, untuk siapakah kira-kira ia mengirimkan pesan itu? Kasus penggelapan dana? Bukankah seharusnya ia mengirimkan ini untuk seseorang yang bekerja dibidang hukum? Apakah ia mengenal seseorang yang bekerja di sana? Alexa mendesah. Ia mengalihkan pandangannya ke jendela besar yang berada di kamarnya. Menatap langit yang biru di luar sana. Sungguh, ia merasa benar-benar aneh terhadap dirinya yang sekarang. Bukan sekali dua kali ia merasa kosong. Terkadang Alexa merasa ingin bertemu dengan seseorang. Ia rindu, tapi …. ia bahkan tak tahu pada siapa rind