[Papa: Papa udah di restoran, Nduk. Papa tunggu di sini, ya.]Julia menerbitkan senyumannya begitu mendapatkan pesan itu dari ayahnya. Perempuan itu lantas bergegas mengganti pakaiannya, lalu segera turun ke restoran.Sejenak hatinya merasa lega, setidaknya pikirannya jadi teralihkan dan dia tak lagi memikirkan Yudhistira.Julia lantas mengedarkan matanya ke sekitar begitu tiba di restoran. Lalu melanjutkan langkahnya saat melihat ayahnya duduk termenung sendirian di salah satu meja yang kosong di area outdoor.Di bawah naungan pohon-pohon di sekitarnya. Meskipun panas menyengat tapi angin berembus kencang. Nicolas memilih untuk duduk di sana."Pa…"Nicolas sontak menoleh, dia lalu bangkit dari duduknya. Pria paruh baya itu berjalan menghampiri Julia, lalu sedetik kemudian berhambur memeluk putrinya dengan erat."Apa kabar, Nduk?" tanya Nicolas dengan suara beratnya."Baik, Pa. Papa sehat, kan?""Alhamdulillah, Nduk. Ayo duduk dulu. Kamu nggak lagi sibuk, kan?"Julia menuruti Nicolas.
Suasana mendadak hening saat Yudhistira dan Nicolas tengah duduk berhadapan. Sesekali kening Nicolas mengerut, terlihat tengah berpikir keras. Sementara Yudhistira terlihat jauh lebih tenang."Skak!" katanya dengan cepat, dan hal itu memancing senyuman di wajah Julia."Nak Yudhistira kenapa suka catur?" tanya Nicolas membuka suaranya."Karena Mama saya sering main catur saat saya masih kecil, saya jadi ikut-ikutan belajar main catur, Om. Ternyata nggak buruk juga. Dari catur saya belajar banyak hal," jawab Yudhistira tanpa memalingkan wajahnya dari papan persegi yang ada di hadapannya.Nicolas manggut-manggut lalu memindahkan salah satu pion yang ada di hadapannya."Pion-pion ini selalu mengingatkan saya dengan Julia.""Maksudnya, Om?""Sejak kecil, saya nggak pernah membiarkan Julia hidup nyaman dengan semua yang saya miliki. Pokoknya dia harus mulai segalanya dari bawah. And see, dengan pencapaian Julia sekarang, saya sebagai ayahnya bangga. Sama seperti halnya pion ini." Nicolas me
"Kita mau langsung balik ke hotel?" tanya Yudhistira dengan pelan."Iya."Yudhistira memilih untuk tidak bertanya lagi, dan memilih untuk fokus dengan kemudinya.Akhirnya market survey di Yogyakarta selesai hari ini. Keduanya baru saja sedang dalam perjalanan menuju kembali ke hotel.Suasana masih saja canggung. Meskipun Julia berusaha untuk tetap bersikap profesional selama bekerja, tapi setelah pekerjaan itu selesai, perempuan itu kembali ke mode diam.Yudhistira tahu jika Julia masih marah kepadanya, namun pria itu juga tidak tahu bagaimana harus memulai menjelaskan semuanya.Setibanya di hotel, Julia sudah lebih dulu turun dari mobil. Dia melangkah tergesa menuju kamarnya, pun dengan Yudhistira yang berusaha untuk mengimbanginya."Julie?""Ya, Pak?""Kamu masih marah sama saya?" tembak Yudhistira dengan cepat."Nggak, Pak. Saya capek sekali hari ini, boleh saya langsung istirahat?"Lagi-lagi Yudhistira tidak punya pilihan lain, selain mengangguk. Pria itu tersenyum kecil, membiark
Julia berusaha untuk memejamkan matanya sejak tadi, namun kenyataannya gagal. Pesan yang sudah bermenit-menit yang lalu dikirimkan oleh Yudhistira sengaja tidak dibalasnya, tapi anehnya dia sendiri yang justru merasa kesal.Ada banyak pertanyaan yang melintasi pikiran Julia sekarang. Apakah Yudhistira pergi menemui perempuan itu? Atau dia sedang berkencan dengannya? Candle light dinner, mungkin?Julia menggulirkan badannya dengan kesal. Perempuan itu lantas mengubah posisinya menjadi duduk, lalu mendesah panjang. Dia perlu pengalihan sekarang dari kekesalannya yang diakibatkan oleh dirinya sendiri.Saat pikirannya sedang kacau, ponselnya berkedip kembali. Cepat-cepat Julia meraih ponselnya, berharap jika pesan itu dari Yudhistira. Tapi ternyata pesan itu dari Nicolas, dan perempuan itu merasa kecewa.[Papa: Papa lagi jalan-jalan di sawah, Nduk. Kamu nggak mau pulang, ya?]Lalu di bawahnya ada sebuah foto yang dikirim oleh ayahnya.[Papa: Send a photo.]Seketika Julia membelalak. "Ya a
"Kamu sengaja ngerjain Nak Yudhistira, ya Nduk?"Julia yang baru saja bergabung dengan ayahnya di teras belakang rumah, lantas mengerutkan keningnya.Kedua tangannya membawa sebuah nampan yang berisikan wedang rempah dan pisang goreng di atas piring. Ritual pagi yang selalu dilakukan Nicolas sebelum memulai aktivitasnya, sembari menikmati sejuknya pemandangan sawah di dekat rumahnya."Hah? Maksudnya gimana, Pa?""Baju yang dipakai Nak Yudhistira itu kekecilan, Nduk. Kamu bisa, kan tanya sama Papa ada baju atau nggak. Papa bisa pinjamkan."Julia sontak tertawa. "Dia sendiri yang mau, kok Pa. Lagian Papa memangnya ada baju baru?""Setidaknya Papa ada baju yang ukurannya besar, Nduk."Malah kelihatan imut, kan?" jawab Julia diiringi dengan tawa.Perempuan itu lantas meraih cangkirnya, ikut menikmati wedang rempah yang baru saja dibuatnya."Jadi…?"Nicolas sengaja menggantung ucapannya dan hal itu membuat Julia lantas menoleh. "Jadi apa, Pa?""Kamu sama Nak Yudhistira gimana?"Dan sedetik
Berangkat dari kecurigaannya akhir-akhir ini, Yudhistira Gautama—Chief Operating Officer di Diamond Grup—yang tidak sengaja berpapasan dengan Julie Lavanya—sekretarisnya, lantas berjalan menghampiri perempuan itu. Entah apa yang menggerakkan hati pria itu. Mungkin dia sedang gila karena saat ini dia sengaja menunggu kepulangan Julia.“Sudah malam, Jul. Belum pulang?”Julia lantas mengangkat wajahnya, lalu tersenyum. “Bentar lagi, Pak. Saya masih ngerjain laporannya Pak Mahesa biar besok saya nggak terlalu banyak kerjaan.”Yudhistira manggut-manggut mendengar ucapan Julia.“Bapak sendiri kenapa belum pulang?”Pria itu lantas melirik jam yang melingkar di tangannya, lalu dia kembali bersuara. “Saya juga barusan menyelesaikan revisi berkas yang diminta Mahesa tadi pagi.”“Butuh bantuan?” tawar perempuan itu.Yudhistira lantas menggeleng. “Nggak perlu, Jul. Sudah selesai, kok.”“Ya udah kalau gitu, Pak. Kalau begitu saya siap-siap pulang dulu.”“Pulang sama siapa?” tanya Yudhistira dengan
“Pak, ada apa?"Julia yang sejak tadi tidak tenang bekerja setelah kekacauan yang terjadi, mendadak ikut panik begitu melihat Arjuna berlari menuju ruangan Yudhistira. Dan memintanya untuk ikut dengannya.“Jul, ke sini sebentar.”Julia menuruti Arjuna. Perempuan itu lantas mengekori Arjuna untuk menuju ruangan Yudhistira sekarang.Baru saja Arjuna mendorong pintu ruangan Yudhistira, pria itu langsung bangkit dan berjalan mendekati Arjuna.“Gimana?” tanya Yudhistira saat itu.“Mahesa kritis sekarang, Dhis. Gue minta tolong lo sama Sena standby di kantor, sama Julia. Gue sama Bayu mau ke rumah sakit sekarang."Tiba-tiba kepala Yudhistira berdengung. Pun begitu dengan Julia yang membuka mulutnya lebar-lebar seolah tidak percaya dengan ucapan Arjuna baru saja."Gimana kejadiannya, Pak?"“Mahesa dikeroyok sama orang-orang suruhannya Bara, dan gue terlambat datang untuk menyelamatkannya. Sekarang dia sedang ditangani oleh dokter di rumah sakit, dan saya mau ke sana.”“OMG! Pak Mahesa,” kata
“Bagaimana kondisinya Mahesa, J?”Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Yudhistira, membuat Arjuna yang tadinya sibuk dengan iPad miliknya, lantas menoleh. Baru saja dia tiba di sana bersama Antasena usai jam kerja berakhir.“Belum ada perkembangan apa-apa. Gue kayaknya bakalan di sini nemenin Tante Citra.”Yudhistira meraup wajahnya dengan gusar. “Terus Sasi? Dia dirawat di sini juga, kan? Bagaimana kondisinya?”Arjuna mengangguk. “Iya. Sejak tadi dia sama Yura dan Krisna. Gue nggak berani nemuin dia, karena dia pasti masih terguncang dan jelas membutuhkan waktu untuk sendiri.”“Benar. Mending biarin dia tenang dulu, deh.”“Terus komplotannya Bara?”“Semua tersangka sudah ditangkap. Bahkan termasuk Abhimana dan Dinar yang ikut terseret dalam kasus ini untuk penyidikan. Bayu lagi ngurusin semuanya.”“Bangsat memang. Motifnya apa, coba?”“Kalau dari rekaman yang gue ambil dari yang dibawa Mahesa, Bara ingin balas dendam atas hancurnya Diandra, dan karirnya. Termasuk Saras, news anch