“Bisa-bisanya seorang tamu yang tak diundang mengacau di perusahaan saya!”
Suara itu begitu kuat dan dingin, di tengah suasana yang tiba-tiba tegang dan memanas. Empat orang yang berada di sana otomatis memosisikan tubuh mereka ke arah datangnya suara.
Romi menganggukkan kepalanya, sementara Dara membelalakkan mata saat melihat Bima-lah yang muncul di hadapannya.
Pria itu berjalan dengan kedua tangan di saku. Pria berjas abu-abu itu lantas mendekat dengan tatapan mata yang tidak lepas dari netra coklat gelap milik Dara. Jantung Dara berdegup tak beraturan ditatap pria tampan itu.
“Pak Rizal, benar?” Bima menyalami Rizal lebih dulu. “Maaf kalau saya membuat Bapak tidak nyaman, tapi saya harus menyelesaikan urusan dengan Ibu Dara lebih dulu. Apa Anda keberatan?” tanya Bima lagi.
Meski nada suara pria itu lembut, tapi siapa pun jelas tahu setiap kata yang keluar dari mulut Bima jelas bukan pertanyaan, melainkan perintah.
“T-tentu saja tidak masalah, Pak Bima. Saya bisa menunggu.”
Bima tersenyum tipis saat mendengar jawaban Rizal. Dia bahkan mengangguk-anggukkan kepalanya tak kentara.
Sedetik kemudian, mata setajam elang milik Bima menatap singkat ke arah Irma. Kerutan di dahinya menyatu sebelum berujar, “Satu lagi, Pak Rizal.” Bima kembali menatap Rizal dengan pandangan tak ingin dibantah. “Saya tidak ingat jika ada janji dengan dua orang. Saya harap, siapa pun yang tidak punya kepentingan tidak ikut serta di sini.”
Rizal tergagap di tempatnya. "S-saya mengerti, Pak Bima. Saya mohon maaf.” Pria itu menatap tajam ke arah sang kekasih yang wajahnya sudah memerah karena malu dan marah. “Kamu tunggu di mobil!” desis Rizal ke arah Irma.
Irma ingin menyanggah perintah Rizal, tetapi pria itu lebih dulu memberikan kunci mobil disertai dengan pandangan seperti ingin membunuh. Lantas, meski enggan, akhirnya wanita itu pergi dengan tangan mengepal dan kaki dientakkan.
Setelahnya, Bima memutar tubuhnya ke arah Romi dan Dara. “Dara?”
Suara Bima yang begitu lembut dan terdengar mesra itu sangat kontras dengan nada yang pria itu keluarkan tadi ketika menghadapi Irma dan Rizal. Dara berjengit sesaat sebelum menyahut, “Ah, iya?”
“Ikuti Romi, dan tunggu aku di ruangan.”
Kalimat itu jelas terdengar juga oleh Rizal. Pria itu kaget melihat bagaimana Bima, bos besar perusahaan yang dia datangi untuk kerja sama begitu lembut memperlakukan Dara, sang mantan yang telah ‘dibuangnya’.
“Aku akan selesaikan urusanku dulu di sini.” Bima menunjuk Rizal dengan gestur santainya.
Dara mengangguk patuh, begitu juga dengan Romi yang langsung mengarahkannya sesuai perintah Bima.
“Mari ikut saya, Bu Dara.”
**
“Terima kasih, Pak Romi.”
Dara menganggukkan kepala sebelum Romi meninggalkan ruang kerja Bima untuk menyusul kembali bosnya. Di ruangan yang cukup besar ini, Dara sendiri. Walau sudah bertemu Bima di malam yang lalu, tapi mengingat apa yang terjadi di antara mereka, juga kenyataan ini adalah interview pertamanya, gadis itu gugup setengah mati.
Untuk mengusir rasa gugupnya itu, Dara memutuskan untuk melihat-lihat ke sekitar ruangan sebelum matanya tertuju pada sebuah pigura yang terpajang di lemari dekat meja kerja.
“Astaga!”
Matanya menangkap satu sosok yang begitu familiar. Sosok pria tua yang dulu sama-sama tinggal di kampung yang sama dengan keluarganya. Dengan hati-hati, gadis itu mengambil pigura tersebut guna memastikan.
Dara menggumam sambil menatap lekat-lekat sosok pria tua yang dia sudah kenal lama, “Paman Handoko??”
Kemudian, matanya beralih ke sosok di samping Paman Handoko yang tidak lain adalah Bima, pria yang menolongnya kemarin malam.
Mata Dara memicing. Dia terus mencari-cari memori lama terkait hubungan sosok Handoko, juga Bima. Tak lama, mata gadis tersebut membelalak, seakan baru menemukan hal yang tidak terduga.
“Dara, aku berjanji kita akan bertemu lagi ... Dan kita akan menikah ketika dewasa."
Samar-samar, Dara mengingat ucapan seorang bocah kecil sebelum sosok itu meninggalkan kampung halaman mereka. Pipi gadis itu sontak merona merah mengingat janji yang terucap dulu, terutama saat menyadari bahwa ... bocah itu bernama Bima! Teman masa kecilnya!
Tanpa bisa ditahan, degup jantung Dara kembali menggila. 'Tenang, Dara. Itu hanya janji anak kecil. Dia pasti tidak mengingatnya lagi.' Namun, tak terpungkiri dia merasa sedikit malu. 'Astaga, bisa-bisanya mengingat hal seperti itu sekarang!'
Tak lama, mata Dara kembali berpindah ke pigura di tangannya. Dia menatap sosok pria kecil yang berada di gendongan Bima di pigura tersebut. Kening Dara tertaut, mencoba menebak apa hubungan anak lelaki yang begitu mirip dengan Bima semasa kecil.
"Siapa anak kecil ini? Apa Paman Handoko punya anak lagi?"
Dara masih mencaritahu jawaban sosok anak kecil di foto itu, saat kemudian pintu ruangan kembali terbuka dan menampilkan sosok pria yang jadi alasan rona merah di pipinya. Buru-buru, dia menaruh pigura tersebut pada tempat semula.
“Maaf membuatmu menunggu. Ayo, kita mulai interview-nya,” ucap Bima dengan senyuman manis terlukis di bibirnya, terlihat jauh berbeda dengan apa yang ditunjukkan di hadapan Rizal tadi.
Entah berapa lama waktu berlalu sejak interview dimulai, tapi Dara merasa cukup lelah karena jantungnya terus berdetak kencang. Bukan hanya karena takut menjawab salah, tapi juga karena cara Bima menatapnya membuat gadis itu merasa gugup.
Netra hitam gelap milik Bima menatap tajam dirinya, hampir tidak berkedip. Bibir pria itu menyunggingkan senyum penuh arti setiap mengajukan pertanyaan dan juga ketika mendengar jawaban Dara, seakan apa pun yang gadis itu katakan menghibur dirinya.
“Kamu bisa mulai bekerja besok, Dara," ucap Bima pada akhirnya seraya mengangsurkan tangannya pada Dara.
Selama sesaat, Dara terdiam. "Aku ... diterima?"
"Kamu tidak terlihat senang, apa kamu berubah pikiran?" tanya Bima.
Pertanyaan pria itu langsung membuat Dara tersentak dan menggenggam tangan Bima. “T-tentu saja aku senang! Terima kasih, Pak Bima!”
Melihat Dara begitu bahagia, Bima juga secara otomatis mengukir senyum di bibirnya. "Jangan begitu kaku, panggil aku Bima," balas pria itu. Kemudian, dia memperkuat genggaman tangannya dan mendekatkan wajahnya sedikit. "Dilihat dari bagaimana kamu bersikap lebih santai di hadapanku, sepertinya kamu sudah ingat padaku?"
Pipi Dara kembali bersemu. Dengan ragu-ragu, dia menganggukkan kepalanya.
“Aku ingat.”
Suara Dara seperti cicit ayam, tetapi begitu jelas terdengar oleh Bima. Pria itu tersenyum semakin lebar. “Coba katakan, aku siapa?"
Dara mengangkat pandangannya, terlihat sedikit bingung. "Kamu Bima anak Paman Handoko, 'kan?" Dia lanjut berucap, "Kita dulu sempat bermain bersama sewaktu kecil."
Jawaban Dara membuat pancaran mata Bima sedikit meredup. Namun, pria itu kemudian menegakkan bahunya dan menaruh kedua tangannya di meja guna mendekatkan diri kepada Dara. “Tidak mungkin hanya itu." Sebuah senyuman penuh arti terpampang di wajah Bima. "Kamu juga ingat dengan janji kita, bukan?”
"Ya ampun, Tante turut prihatin dengan kejadian yang menimpa kalian." Dara, yang sekarang terduduk di sofa ruang tamu kediaman Keluarga Handoko, hanya tersenyum canggung di tempatnya. Ya, sekarang Dara sudah berada di rumah Bima dan tengah berbincang dengan ibu pria tersebut, Winda. Wanita tersebut baru saja mendengar mengenai musibah yang menimpa Dara, dan keluarganya.Di dalam hati, Dara merasa sangat malu. Awalnya, ketika Bima mengungkit perihal janji masa kecil mereka, Dara mengacu pada janji 'pernikahan'. Ternyata, janji yang sekarang tengah diwujudkan oleh Bima adalah pertemuan mereka kembali, termasuk pertemuannya dengan keluarga Handoko.Tante Winda kemudian mengambil kedua tangan Dara dan digenggamnya dengan hangat. "Andai saja Bima menemuimu lebih cepat ...."Dara tersenyum menyambut ketulusan yang diberikan Tante Winda padanya. "Nggak apa-apa, Tan. Saat ini pun, Dara berterima kasih sekali pada Bima."Senyum kemudian terukir dari bibir mamanya Bima. "Jangan sungkan minta tolong
“Ya ampun, Tante minta maaf ya, Dara, karena nggak nemenin kamu sampai ke kamar yang Tante maksud.” Dara baru saja bercerita kejadian dia dan Bima di kamar tadi pada Tante Winda saat mereka tengah berada di meja makan. Dara benar-benar merasa bersalah, karena kesoktahuannya, dia malah memasuki kamar Bima tanpa izin. Namun, wanita paruh baya itu juga menunjukkan rasa bersalah yang sama pada Dara.“Dara yang salah, Tan, karena nggak tanya lagi.” Cengiran muncul di wajah Dara usai berkata demikian.Dia canggung setengah mati, karena ketahuan salah masuk kamar, dipergoki oleh yang punya kamar, dan kejadian itu terjadi ketika orang tua Bima ada di sini. Sementara Dara setengah mati menahan rasa malu, pria di hadapannya justru terlihat santai sekali, seolah tidak ada hal yang baru saja terjadi.“Kamu juga, Bima! Lain kali kalau mau masuk kamar itu ketuk pintu dulu!” Alih-alih menyalahkan Dara, Tante Winda justru menyalahkan putranya sendiri.Pria yang jadi korban kesalahan mamanya itu berd
“Kalau kamu, Dara … kamu mau kan, jadi istrinya Bima?”Dara menjadi kikuk dengan pertanyaan tentang pernikahan. Dia bingung ingin menjawab apa, terlebih lagi dia belum pernah mengasuh anak sebelumnya. Kepalanya menjadi pusing memikirkan ini semua.“Aku belum siap untuk menikah saat ini,” jawab Dara.“Tante tahu perasaanmu saat ini bagaimana. Tapi kamu harus memikirkan masa depanmu,” ucap Ibu Winda.Memang itu yang Dara rencanakan saat ini, dia akan giat bekerja mengumpulkan uang demi membantu perekonomian keluarganya yang telah bangkrut. Dia sama sekali belum memikirkan masalah pernikahan.“Iya Tante,” jawab Dara singkat padahal dia sama sekali tidak menolak kalau Bima sendiri yang melamarnya. Kenapa harus Tante Winda.***Bima mengantar Dara Pulang menggunakan mobilnya karena hari sudah sore dan besok dia sudah mulai bekerja.“Dara, jangan terlalu memikirkan permintaan mama,” ucap Bima sambil menyetir mobilnya.“Eh, iya,” jawabnya singkat.“Aku dan mantan istri bercerai karena dia s
Dara menatap Bima dengan gugup, dia juga masih ada rasa sebenarnya dengan Bima tapi kondisinya saat ini bebeda. Dia belum siap membuka lembaran baru untuk memulai kisah asmara lagi dengan seorang pria. Ditambah lagi Bima seorang duda beranak satu, gadis itu berpikir kalau anak Bima pasti akan membenci seorang ibu tiri sepertinya.“Aku akan memikirkannya,” jawab Dara lirih.“Aku harap tidak kecewa dengan pilihanmu nanti,” balas Bima.“Selamat malam, sampai jumpa besok di kantor,” ucap Dara lalu dia melambaikan tangan kepada Bima.Bima melajukan kembali kendaraannya pulang ke rumah. Dia berpikir masih ada banyak waktu untuk memulai kembali hubungan asmaranya dengan Dara. Bima menjadi tak sabar menunggu hari esok saat bertemu dengan Dara di perusahaan.***“Aku sedikit gugup, ini adalah pertama kalinya aku berkerja,” gumam Dara.Gadis cantik itu melangkahkan kakinya ke ruang personalia untuk melapor bahwa hari ini adalah kesepakatan dia mulai bekerja. Kepala Personalia yang sudah menungg
Rizal menatap wajah Dara yang semakin cantik kala panik itu, lalu dia tersenyum dan menggenggam tangan Dara.“Aku mohon padamu, Dara. Kamu dekat ‘kan sama Bima, tolonglah aku,” pinta Rizal.Dara segera menarik tangannya dari genggaman Rizal, dia tidak mau ada yang melihatnya lalu salah paham. Apalagi sekrang Rizal berpacaran dengan Irma, masalah akan meluas kalau Irma melihat hal ini.“A-ku tidak dekat dengan Bima,” ucap Dara lalu berjalan pergi meninggalkan Rizal namun pria munafik itu mengejarnya. Dia meraih pergelangan tangan Dara sehingga Dara menghentikan langkah kakinya.“Dara, kenapa kamu tidak mau menolongku?” tanya Rizal tanpa rasa malu.Dara membalikkan pandangannya ke Rizal, dia menatap lekat-lekat wajah pria licik itu. Sorot mata Dara menunjukkan kebencian yang amat dalam. Rizal ini sebenarnya pura-pura tidak tahu atau memang beginilah sikap aslinya mendekati orang jika memang menguntungkan baginya.“Aku tidak mau menolongmu. Jadi sia-sia saja kamu datang kepadaku,” jawab
Raut wajah Rizal langsung berubah ketika melihat siapa yang datang. Dara langsung berlari berlindung ke belakang tubuh tinggi tegap itu.“Tentu saja aku tahu hukum itu, tapi aku tidak mengancam orang,” ucap Rizal.“Apa kamu pikir aku ini tuli? Jelas sekali kamu menganca karyawanku!” seru Bima dengan tatapan yang tajam.Rizal menyeringai tipis, sepertinya memang ada hubungan di antara mereka berdua. Dengan begini Rizal mempunyai kesempatan untuk menekan Dara dan mendapatkan apa yang dia inginkan.“Dia hanya karyawan biasa, aku rasa Pak Bima mempunyai pekerjaan yang lebih penting daripada mengurusi karyawan rendahan seperti Dara,” ucap Rizal.Bugh!” Bima langsung memberikan bogem mentah kepada Rizal yang kurang ajar itu, mulutnya sungguh menyakiti hatinya, mengatakan Dara karyawan rendahan seolah Dara itu adalah sampah yang tidak berguna. Bukankah tujuh tahun lamanya dia berpacaran dengan Dara dan banyak keuntungan yang ia dapatkan.“Dara, ayo kembali ke kantor,” ajak Bima sembari mengg
Rizal menatap Irma dengan lembut lalu mencumbunya mesra sesaat untuk membuat Irma tetap tenang. “Aku tidak mungkin mencintai orang miskin seperti Dara,” ucap Rizal. “Syukurlah kamu menemui dia pasti hanya untuk mendapatkan kerja sama dengan Bima,” balas Irma. “Kamu kenapa melupakan hal seperti ini, buang rasa cemburumu itu,” ucap Rizal lembut. Mereka kemudian bercumbu mesra lagi karena ingin melupakan masalah sesaat yang tengah dihadapinya. Telepon terus berdering di ruangan Rizal sehingga memecah konsentrasinya bermesraan bersama Irma, membuatnya semakin sakit kepala. “Sial!” seru Rizal, “Mereka sama sekali tidak bisa membuatku tenang sedikit,” ucapnya kemudian. “Angkat telepon itu dahulu, sayang, siapa tahu itu adalah bantuan untukmu,” bujuk Irma sambil mengelus pundak Rizal. Rizal mengangkat telepon yang ada di mejanya. Tentu saja dia mendapatkan kabar yang tidak mengenakkan lagi. Banyak pelanggan yang memutuskan untuk tidak lagi menggunakan produk dari perusahaan karena isu
Rizal berubah ekspresi wajahnya, lalu dia dan Irma saling tatap menertawakan Dara yang sangat percaya diri kalau Rizal masih mencintainya."Wanita rendahan sepertimu kenapa masih berharap Rizal mencintaimu," ledek Irma."Kalau tidak masih cinta seharusnya tidak menggangguku," jawab Dara."Aku menikahi seorang baby sister sepertimu? Apa kata dunia?" balas Rizal lalu dia kembali tertawa bersama Irma.Dari dalam mobil Brian memperhatikan mereka bertiga, dia melihat Dara dibully dua orang sekaligus. Dia merekam kejadian itu dan mengirim ke papanya. Brian menurunkan kaca mobil lalu lalu memanggil Dara."Tante, cepatlah. Aku sudah lapar," ucap Brian."Cepatlah pulang, majikanmu sudah memanggilmu!" seru Irma."Aku tak menyangka ternyata kamu hanya menjadi seorang baby sister," ucap Rizal.Dara tidak menggubris lagi ucapan kedua orang itu. Dia berlari menuju mobil lalu meminta sopir untuk segera meninggalkan kedua orang jahat itu ***"Tante, apa kamu dibully?" tanya Brian."Tidak sayang," ja