Share

BAB 5 - Ingatan Masa Lalu

“Bisa-bisanya seorang tamu yang tak diundang mengacau di perusahaan saya!”

Suara itu begitu kuat dan dingin, di tengah suasana yang tiba-tiba tegang dan memanas. Empat orang yang berada di sana otomatis memosisikan tubuh mereka ke arah datangnya suara.

Romi menganggukkan kepalanya, sementara Dara membelalakkan mata saat melihat Bima-lah yang muncul di hadapannya.

Pria itu berjalan dengan kedua tangan di saku. Pria berjas abu-abu itu lantas mendekat dengan tatapan mata yang tidak lepas dari netra coklat gelap milik Dara. Jantung Dara berdegup tak beraturan ditatap pria tampan itu.

“Pak Rizal, benar?” Bima menyalami Rizal lebih dulu. “Maaf kalau saya membuat Bapak tidak nyaman, tapi saya harus menyelesaikan urusan dengan Ibu Dara lebih dulu. Apa Anda keberatan?” tanya Bima lagi.

Meski nada suara pria itu lembut, tapi siapa pun jelas tahu setiap kata yang keluar dari mulut Bima jelas bukan pertanyaan, melainkan perintah.

“T-tentu saja tidak masalah, Pak Bima. Saya bisa menunggu.”

Bima tersenyum tipis saat mendengar jawaban Rizal. Dia bahkan mengangguk-anggukkan kepalanya tak kentara.

Sedetik kemudian, mata setajam elang milik Bima menatap singkat ke arah Irma. Kerutan di dahinya menyatu sebelum berujar, “Satu lagi, Pak Rizal.” Bima kembali menatap Rizal dengan pandangan tak ingin dibantah. “Saya tidak ingat jika ada janji dengan dua orang. Saya harap, siapa pun yang tidak punya kepentingan tidak ikut serta di sini.”

Rizal tergagap di tempatnya. "S-saya mengerti, Pak Bima. Saya mohon maaf.” Pria itu menatap tajam ke arah sang kekasih yang wajahnya sudah memerah karena malu dan marah. “Kamu tunggu di mobil!” desis Rizal ke arah Irma.

Irma ingin menyanggah perintah Rizal, tetapi pria itu lebih dulu memberikan kunci mobil disertai dengan pandangan seperti ingin membunuh. Lantas, meski enggan, akhirnya wanita itu pergi dengan tangan mengepal dan kaki dientakkan.

Setelahnya, Bima memutar tubuhnya ke arah Romi dan Dara. “Dara?”

Suara Bima yang begitu lembut dan terdengar mesra itu sangat kontras dengan nada yang pria itu keluarkan tadi ketika menghadapi Irma dan Rizal. Dara berjengit sesaat sebelum menyahut, “Ah, iya?”

“Ikuti Romi, dan tunggu aku di ruangan.”

Kalimat itu jelas terdengar juga oleh Rizal. Pria itu kaget melihat bagaimana Bima, bos besar perusahaan yang dia datangi untuk kerja sama begitu lembut memperlakukan Dara, sang mantan yang telah ‘dibuangnya’.

“Aku akan selesaikan urusanku dulu di sini.” Bima menunjuk Rizal dengan gestur santainya.

Dara mengangguk patuh, begitu juga dengan Romi yang langsung mengarahkannya sesuai perintah Bima.

“Mari ikut saya, Bu Dara.”

**

“Terima kasih, Pak Romi.”

Dara menganggukkan kepala sebelum Romi meninggalkan ruang kerja Bima untuk menyusul kembali bosnya. Di ruangan yang cukup besar ini, Dara sendiri. Walau sudah bertemu Bima di malam yang lalu, tapi mengingat apa yang terjadi di antara mereka, juga kenyataan ini adalah interview pertamanya, gadis itu gugup setengah mati.

Untuk mengusir rasa gugupnya itu, Dara memutuskan untuk melihat-lihat ke sekitar ruangan sebelum matanya tertuju pada sebuah pigura yang terpajang di lemari dekat meja kerja.

“Astaga!”

Matanya menangkap satu sosok yang begitu familiar. Sosok pria tua yang dulu sama-sama tinggal di kampung yang sama dengan keluarganya. Dengan hati-hati, gadis itu mengambil pigura tersebut guna memastikan.

Dara menggumam sambil menatap lekat-lekat sosok pria tua yang dia sudah kenal lama, “Paman Handoko??” 

Kemudian, matanya beralih ke sosok di samping Paman Handoko yang tidak lain adalah Bima, pria yang menolongnya kemarin malam.

Mata Dara memicing. Dia terus mencari-cari memori lama terkait hubungan sosok Handoko, juga Bima. Tak lama, mata gadis tersebut membelalak, seakan baru menemukan hal yang tidak terduga.

“Dara, aku berjanji kita akan bertemu lagi ... Dan kita akan menikah ketika dewasa."

Samar-samar, Dara mengingat ucapan seorang bocah kecil sebelum sosok itu meninggalkan kampung halaman mereka. Pipi gadis itu sontak merona merah mengingat janji yang terucap dulu, terutama saat menyadari bahwa ... bocah itu bernama Bima! Teman masa kecilnya!

Tanpa bisa ditahan, degup jantung Dara kembali menggila. 'Tenang, Dara. Itu hanya janji anak kecil. Dia pasti tidak mengingatnya lagi.' Namun, tak terpungkiri dia merasa sedikit malu. 'Astaga, bisa-bisanya mengingat hal seperti itu sekarang!'

Tak lama, mata Dara kembali berpindah ke pigura di tangannya. Dia menatap sosok pria kecil yang berada di gendongan Bima di pigura tersebut. Kening Dara tertaut, mencoba menebak apa hubungan anak lelaki yang begitu mirip dengan Bima semasa kecil.

"Siapa anak kecil ini? Apa Paman Handoko punya anak lagi?"

Dara masih mencaritahu jawaban sosok anak kecil di foto itu, saat kemudian pintu ruangan kembali terbuka dan menampilkan sosok pria yang jadi alasan rona merah di pipinya. Buru-buru, dia menaruh pigura tersebut pada tempat semula.

“Maaf membuatmu menunggu. Ayo, kita mulai interview-nya,” ucap Bima dengan senyuman manis terlukis di bibirnya, terlihat jauh berbeda dengan apa yang ditunjukkan di hadapan Rizal tadi.

Entah berapa lama waktu berlalu sejak interview dimulai, tapi Dara merasa cukup lelah karena jantungnya terus berdetak kencang. Bukan hanya karena takut menjawab salah, tapi juga karena cara Bima menatapnya membuat gadis itu merasa gugup.

Netra hitam gelap milik Bima menatap tajam dirinya, hampir tidak berkedip. Bibir pria itu menyunggingkan senyum penuh arti setiap mengajukan pertanyaan dan juga ketika mendengar jawaban Dara, seakan apa pun yang gadis itu katakan menghibur dirinya.

“Kamu bisa mulai bekerja besok, Dara," ucap Bima pada akhirnya seraya mengangsurkan tangannya pada Dara.

Selama sesaat, Dara terdiam. "Aku ... diterima?"

"Kamu tidak terlihat senang, apa kamu berubah pikiran?" tanya Bima.

Pertanyaan pria itu langsung membuat Dara tersentak dan menggenggam tangan Bima. “T-tentu saja aku senang! Terima kasih, Pak Bima!”

Melihat Dara begitu bahagia, Bima juga secara otomatis mengukir senyum di bibirnya. "Jangan begitu kaku, panggil aku Bima," balas pria itu. Kemudian, dia memperkuat genggaman tangannya dan mendekatkan wajahnya sedikit. "Dilihat dari bagaimana kamu bersikap lebih santai di hadapanku, sepertinya kamu sudah ingat padaku?"

Pipi Dara kembali bersemu. Dengan ragu-ragu, dia menganggukkan kepalanya.

“Aku ingat.”

Suara Dara seperti cicit ayam, tetapi begitu jelas terdengar oleh Bima. Pria itu tersenyum semakin lebar. “Coba katakan, aku siapa?"

Dara mengangkat pandangannya, terlihat sedikit bingung. "Kamu Bima anak Paman Handoko, 'kan?" Dia lanjut berucap, "Kita dulu sempat bermain bersama sewaktu kecil."

Jawaban Dara membuat pancaran mata Bima sedikit meredup. Namun, pria itu kemudian menegakkan bahunya dan menaruh kedua tangannya di meja guna mendekatkan diri kepada Dara. “Tidak mungkin hanya itu." Sebuah senyuman penuh arti terpampang di wajah Bima. "Kamu juga ingat dengan janji kita, bukan?”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
kakak dev dimari
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
oh ternyata calon jodoh nya dara toh wkwwkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status