"Selamat tidur."
Suara parau yang menggoda itu terngiang di pikiran Dara ketika dia bangun. Suara itu terdengar familier, tapi juga asing di waktu yang bersamaan. Namun, gadis itu tidak sempat mencerna siapa yang mengucakan kalimat tersebut lantaran dirinya berada di sebuah rumah yang terlihat asing!
"Di mana ... ini?" gumam Dara sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Saat Dara baru ingin bangkit dari ranjangnya, terlihat keberadaan sebotol air putih dan satu strip obat di atas nakas. Di samping dua benda itu, ada sepucuk surat.
Dara mengambil surat tersebut dan membacanya.
[Maaf karena aku meninggalkanmu sendiri di sini. Aku yakin kamu bingung bagaimana kamu bisa sampai di sini, jadi aku tinggalkan pesan ini]
Dara membaca saksama semua yang pria itu tuliskan tadi malam, dan wajahnya pun memerah. Dengan tangan menutup setengah wajah, dia membatin, 'Astaga! Aku hampir tertabrak mobil?!'
Walau rasa malu sempat menyelimuti dirinya, tapi ekspresi Dara berubah saat membaca bagian terakhir pesan pria asing itu.
[Jangan lupa minum obatnya, setelah itu sarapan. Aku juga dengar kamu bergumam menginginkan pekerjaan. Kalau kamu benar-benar menginginkannya, datanglah ke alamat yang ada di kartu nama yang kutinggalkan. Bima.]
"Bima ...." Dara mengulang nama yang tertulis di bagian akhir surat. Pandangan gadis itu melembut seiring dirinya berbisik, "Jadi, namanya Bima." Dia menaikkan alisnya sedikit. "Mungkinkah ... dia Bima yang itu?"
**
"Bima Sakti Multimedia." Dara menyebutkan nama perusahaan yang sekarang berada di hadapannya. Dia melirik kembali kartu nama di tangan. "Memang di sini, aku tidak salah," gumamnya, meyakinkan diri sendiri bahwa gedung besar yang akan segera dia masuki merupakan tujuannya.
Saat masuk ke dalam kantor tersebut, Dara bercelingak-celinguk, memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Pakaian mereka begitu rapi dan profesional, membuat gadis itu yakin bahwa bukan sembarang orang yang bisa bekerja di tempat ini.
Baru saja Dara hendak melangkah menuju meja resepsionis, langkahnya terhenti karena sebuah suara melengking yang menyebalkan. "Wah ... coba lihat, kenapa ada orang miskin ke sini?"
Dara menoleh dan melihat penampakan sosok yang tadi malam sempat hinggap di mimpi buruknya. 'Irma,' batinnya dengan kening berkerut. Maniknya berpindah pada sosok di sebelah Irma. 'Dan Rizal ....'
Melihat dua orang tersebut menatapnya dengan pandangan merendahkan, Dara tidak menjawab. Gadis itu melengos, melanjutkan langkah ke meja resepsionis.
"Heh! Kamu tuli ya? Atau nggak diajarin sopan santun?! Jelas-jelas diajak ngomong, tapi nggak balas." Irma kembali mengonfrontasi Dara dengan nada tinggi.
Dara menghentikan langkahnya, lalu berbalik dan menatap tajam sosok Irma.
“Kenapa menatapku seperti itu, hah?!" tantang Irma, tidak takut.
“Aku tidak punya waktu untuk dihabiskan dengan seorang pelakor dan pengkhianat,” balas Dara dengan sinis sembari melanjutkan langkahnya.
Mendengar ucapan tersebut, Irma mengepalkan tangannya kesal. Di samping Irma, Rizal mengerutkan kening. Dia dari awal tidak ikut terlibat perdebatan dua wanita itu, tapi kenapa Dara juga malah menghinanya?!
"Cih, miskin saja sombong!" decih Irma terdengar oleh Dara. "Mau apa kamu ke sini? Memangnya, mereka mau terima orang miskin di sini?" sinisnya lagi ketika mendapati Dara membawa berkas di tangan.
Dara mengabaikan Irma dan lanjut berjalan ke resepsionis untuk menanyakan kepentingannya.
Melihat Dara mengabaikannya, Irma menunjukkan raut wajah kesalnya ke arah Rizal. "Rizal, dia berani mengabaikanku!"
Pria itu dengan segera menenangkan wanita itu sembari merangkulnya lembut. "Sudah, orang miskin seperti dia memang tidak pantas mendapat perhatianmu. Nanti juga akan diusir satpam," ujar Rizal, sukses membuat Irma tersenyum puas.
Dara sama sekali tak termakan umpan yang diberikan Irma untuk menampakkan rasa cemburunya. Alih-alih cemburu, Dara justru begitu muak melihat pasangan di hadapannya kali ini. Baginya kini, mendapatkan pekerjaan untuk bertahan hidup jauh lebih penting daripada menggubris pasangan pengkhianat itu.
Tidak lama, seseorang berpakaian rapi memakai jas formal berjalan ke arah ruang tunggu. Dara masih duduk dengan tenang, berbanding terbalik dengan Irma yang dengan sigap berdiri juga tersenyum menyambut pria tersebut.
“Selamat siang,” sapa pria itu penuh wibawa.
"Selamat siang, Pak Romi," sahut Irma begitu ceria dan lembut yang dibuat-buat.
Di sisi lain, Dara yang sadar dengan nama yang diucapkan Irma pun ikut berdiri. Pria ini, Romi, adalah pria yang harus ditemuinya sesuai perintah Bima.
Dara menganggukkan kepalanya hormat dan menyapa, "Selamat siang, Pak."
Irma melirik tajam ke arah Dara. Dia menganggap Dara hanya ikut-ikutan menyapa Romi, seperti dirinya.
"Heh, nggak usah ikut-ikutan! Apa kamu tahu, siapa yang kamu ajak bicara?"
Di sisinya, Rizal mencoba memperingatkan Irma dengan menyenggol lengan sang kekasih.
Sayang, wanita itu tidak peka. Irma malah menghampiri Romi dengan penuh percaya diri.
"Ayo, Pak Romi. Kita langsung ke dalam, kan?"
Raut wajah Romi yang semula tersenyum begitu ramah seketika berubah. Pria itu kini hanya tersenyum tipis, dengan pandangan yang terkesan terpaksa dilembutkan.
“Mohon maaf, Bu, tapi saya harus mengantar Bu Dara lebih dulu,” jelasnya sopan dengan segala penekanan. “Setelah saya mengantar Bu Dara, saya akan kembali lagi ke sini.”
Irma jelas tidak terima karena dinomorduakan. Wanita itu lantas memelotot, tangannya mengepal kuat sebelum akhirnya menunjuk wajah Dara, diikuti tatapan jijik. “Pak Romi nggak salah? Kami ke sini mau bahas kerja sama, loh!” Nada bicara wanita itu sudah tinggi, tidak selembut awal tadi. “Mana bosnya? Biar saya langsung temui langsung saja dia!” Irma bahkan mengentak kasar tas mungil yang dibawanya.
Dara yang berada di sisi Romi hanya mampu berdiam diri.
“Mohon maaf, Bu, tapi Bos ingin bertemu dengan Bu Dara lebih dulu.” Romi kembali menjelaskan, berharap Irma mau memudahkan tugasnya. Sayang, rupanya kemarahan wanita itu semakin menjadi.
Dengan angkuhnya, wanita itu menghadap Dara. Sedangkan, yang ditatapnya justru tersenyum tipis.
Irma maju satu langkah. Jari telunjuknya kembali diacungkan ke arah Dara. Dengan jarinya itu pula, Irma mendorong bahu Dara hingga membuat posisi berdiri Dara sedikit bergeser. "Apa kamu, hah?! Dasar wanita—"
Belum sempat Irma menyelesaikan makiannya, suara bariton seorang pria yang datang dari arah berlawanan terdengar berseru, “Bisa-bisanya seorang tamu yang tak diundang mengacau di perusahaan saya!”
“Bisa-bisanya seorang tamu yang tak diundang mengacau di perusahaan saya!” Suara itu begitu kuat dan dingin, di tengah suasana yang tiba-tiba tegang dan memanas. Empat orang yang berada di sana otomatis memosisikan tubuh mereka ke arah datangnya suara. Romi menganggukkan kepalanya, sementara Dara membelalakkan mata saat melihat Bima-lah yang muncul di hadapannya. Pria itu berjalan dengan kedua tangan di saku. Pria berjas abu-abu itu lantas mendekat dengan tatapan mata yang tidak lepas dari netra coklat gelap milik Dara. Jantung Dara berdegup tak beraturan ditatap pria tampan itu. “Pak Rizal, benar?” Bima menyalami Rizal lebih dulu. “Maaf kalau saya membuat Bapak tidak nyaman, tapi saya harus menyelesaikan urusan dengan Ibu Dara lebih dulu. Apa Anda keberatan?” tanya Bima lagi. Meski nada suara pria itu lembut, tapi siapa pun jelas tahu setiap kata yang keluar dari mulut Bima jelas bukan pertanyaan, melainkan perintah. “T-tentu saja tidak masalah, Pak Bima. Saya bisa menunggu.”
"Ya ampun, Tante turut prihatin dengan kejadian yang menimpa kalian." Dara, yang sekarang terduduk di sofa ruang tamu kediaman Keluarga Handoko, hanya tersenyum canggung di tempatnya. Ya, sekarang Dara sudah berada di rumah Bima dan tengah berbincang dengan ibu pria tersebut, Winda. Wanita tersebut baru saja mendengar mengenai musibah yang menimpa Dara, dan keluarganya.Di dalam hati, Dara merasa sangat malu. Awalnya, ketika Bima mengungkit perihal janji masa kecil mereka, Dara mengacu pada janji 'pernikahan'. Ternyata, janji yang sekarang tengah diwujudkan oleh Bima adalah pertemuan mereka kembali, termasuk pertemuannya dengan keluarga Handoko.Tante Winda kemudian mengambil kedua tangan Dara dan digenggamnya dengan hangat. "Andai saja Bima menemuimu lebih cepat ...."Dara tersenyum menyambut ketulusan yang diberikan Tante Winda padanya. "Nggak apa-apa, Tan. Saat ini pun, Dara berterima kasih sekali pada Bima."Senyum kemudian terukir dari bibir mamanya Bima. "Jangan sungkan minta tolong
“Ya ampun, Tante minta maaf ya, Dara, karena nggak nemenin kamu sampai ke kamar yang Tante maksud.” Dara baru saja bercerita kejadian dia dan Bima di kamar tadi pada Tante Winda saat mereka tengah berada di meja makan. Dara benar-benar merasa bersalah, karena kesoktahuannya, dia malah memasuki kamar Bima tanpa izin. Namun, wanita paruh baya itu juga menunjukkan rasa bersalah yang sama pada Dara.“Dara yang salah, Tan, karena nggak tanya lagi.” Cengiran muncul di wajah Dara usai berkata demikian.Dia canggung setengah mati, karena ketahuan salah masuk kamar, dipergoki oleh yang punya kamar, dan kejadian itu terjadi ketika orang tua Bima ada di sini. Sementara Dara setengah mati menahan rasa malu, pria di hadapannya justru terlihat santai sekali, seolah tidak ada hal yang baru saja terjadi.“Kamu juga, Bima! Lain kali kalau mau masuk kamar itu ketuk pintu dulu!” Alih-alih menyalahkan Dara, Tante Winda justru menyalahkan putranya sendiri.Pria yang jadi korban kesalahan mamanya itu berd
“Kalau kamu, Dara … kamu mau kan, jadi istrinya Bima?”Dara menjadi kikuk dengan pertanyaan tentang pernikahan. Dia bingung ingin menjawab apa, terlebih lagi dia belum pernah mengasuh anak sebelumnya. Kepalanya menjadi pusing memikirkan ini semua.“Aku belum siap untuk menikah saat ini,” jawab Dara.“Tante tahu perasaanmu saat ini bagaimana. Tapi kamu harus memikirkan masa depanmu,” ucap Ibu Winda.Memang itu yang Dara rencanakan saat ini, dia akan giat bekerja mengumpulkan uang demi membantu perekonomian keluarganya yang telah bangkrut. Dia sama sekali belum memikirkan masalah pernikahan.“Iya Tante,” jawab Dara singkat padahal dia sama sekali tidak menolak kalau Bima sendiri yang melamarnya. Kenapa harus Tante Winda.***Bima mengantar Dara Pulang menggunakan mobilnya karena hari sudah sore dan besok dia sudah mulai bekerja.“Dara, jangan terlalu memikirkan permintaan mama,” ucap Bima sambil menyetir mobilnya.“Eh, iya,” jawabnya singkat.“Aku dan mantan istri bercerai karena dia s
Dara menatap Bima dengan gugup, dia juga masih ada rasa sebenarnya dengan Bima tapi kondisinya saat ini bebeda. Dia belum siap membuka lembaran baru untuk memulai kisah asmara lagi dengan seorang pria. Ditambah lagi Bima seorang duda beranak satu, gadis itu berpikir kalau anak Bima pasti akan membenci seorang ibu tiri sepertinya.“Aku akan memikirkannya,” jawab Dara lirih.“Aku harap tidak kecewa dengan pilihanmu nanti,” balas Bima.“Selamat malam, sampai jumpa besok di kantor,” ucap Dara lalu dia melambaikan tangan kepada Bima.Bima melajukan kembali kendaraannya pulang ke rumah. Dia berpikir masih ada banyak waktu untuk memulai kembali hubungan asmaranya dengan Dara. Bima menjadi tak sabar menunggu hari esok saat bertemu dengan Dara di perusahaan.***“Aku sedikit gugup, ini adalah pertama kalinya aku berkerja,” gumam Dara.Gadis cantik itu melangkahkan kakinya ke ruang personalia untuk melapor bahwa hari ini adalah kesepakatan dia mulai bekerja. Kepala Personalia yang sudah menungg
Rizal menatap wajah Dara yang semakin cantik kala panik itu, lalu dia tersenyum dan menggenggam tangan Dara.“Aku mohon padamu, Dara. Kamu dekat ‘kan sama Bima, tolonglah aku,” pinta Rizal.Dara segera menarik tangannya dari genggaman Rizal, dia tidak mau ada yang melihatnya lalu salah paham. Apalagi sekrang Rizal berpacaran dengan Irma, masalah akan meluas kalau Irma melihat hal ini.“A-ku tidak dekat dengan Bima,” ucap Dara lalu berjalan pergi meninggalkan Rizal namun pria munafik itu mengejarnya. Dia meraih pergelangan tangan Dara sehingga Dara menghentikan langkah kakinya.“Dara, kenapa kamu tidak mau menolongku?” tanya Rizal tanpa rasa malu.Dara membalikkan pandangannya ke Rizal, dia menatap lekat-lekat wajah pria licik itu. Sorot mata Dara menunjukkan kebencian yang amat dalam. Rizal ini sebenarnya pura-pura tidak tahu atau memang beginilah sikap aslinya mendekati orang jika memang menguntungkan baginya.“Aku tidak mau menolongmu. Jadi sia-sia saja kamu datang kepadaku,” jawab
Raut wajah Rizal langsung berubah ketika melihat siapa yang datang. Dara langsung berlari berlindung ke belakang tubuh tinggi tegap itu.“Tentu saja aku tahu hukum itu, tapi aku tidak mengancam orang,” ucap Rizal.“Apa kamu pikir aku ini tuli? Jelas sekali kamu menganca karyawanku!” seru Bima dengan tatapan yang tajam.Rizal menyeringai tipis, sepertinya memang ada hubungan di antara mereka berdua. Dengan begini Rizal mempunyai kesempatan untuk menekan Dara dan mendapatkan apa yang dia inginkan.“Dia hanya karyawan biasa, aku rasa Pak Bima mempunyai pekerjaan yang lebih penting daripada mengurusi karyawan rendahan seperti Dara,” ucap Rizal.Bugh!” Bima langsung memberikan bogem mentah kepada Rizal yang kurang ajar itu, mulutnya sungguh menyakiti hatinya, mengatakan Dara karyawan rendahan seolah Dara itu adalah sampah yang tidak berguna. Bukankah tujuh tahun lamanya dia berpacaran dengan Dara dan banyak keuntungan yang ia dapatkan.“Dara, ayo kembali ke kantor,” ajak Bima sembari mengg
Rizal menatap Irma dengan lembut lalu mencumbunya mesra sesaat untuk membuat Irma tetap tenang. “Aku tidak mungkin mencintai orang miskin seperti Dara,” ucap Rizal. “Syukurlah kamu menemui dia pasti hanya untuk mendapatkan kerja sama dengan Bima,” balas Irma. “Kamu kenapa melupakan hal seperti ini, buang rasa cemburumu itu,” ucap Rizal lembut. Mereka kemudian bercumbu mesra lagi karena ingin melupakan masalah sesaat yang tengah dihadapinya. Telepon terus berdering di ruangan Rizal sehingga memecah konsentrasinya bermesraan bersama Irma, membuatnya semakin sakit kepala. “Sial!” seru Rizal, “Mereka sama sekali tidak bisa membuatku tenang sedikit,” ucapnya kemudian. “Angkat telepon itu dahulu, sayang, siapa tahu itu adalah bantuan untukmu,” bujuk Irma sambil mengelus pundak Rizal. Rizal mengangkat telepon yang ada di mejanya. Tentu saja dia mendapatkan kabar yang tidak mengenakkan lagi. Banyak pelanggan yang memutuskan untuk tidak lagi menggunakan produk dari perusahaan karena isu