“Apa kamu lupa siapa aku?”
Dara mengerutkan dahi. Dia mencoba memperhatikan baik-baik wajah pria di hadapannya dengan merengkuh wajah si pria menggunakan kedua tangannya.
Pria itu tampan. Manik sehitam jelaganya setajam elang, terlihat mengintimidasi dan menenangkan di waktu bersamaan. Tidak hanya itu, lesung pipi yang terbentuk kala pria itu tersenyum membuat penampilannya terlihat manis.
Dara terus memutar otak, mencari memori di mana dia pernah bertemu atau mengenal pria di hadapannya itu. Namun, berkali-kali mencoba, dia tetap tidak menemukan sebersit memori tentangnya.
“Jangan asal bicara!" Dara melepaskan rengkuhan tangannya dari pria tersebut, "Aku tidak pernah mengenalmu dan kita tidak pernah bertemu!”
Sejenak, pria tampan bertubuh atletis itu mendatarkan ekspresinya. Namun, detik berikutnya dia kembali tersenyum tipis sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Dara.
“Baiklah. Kalau begitu, ayo berteman,” ajak pria itu.
“Tidak mau!” tegas Dara menolak jabatan tangan pria itu, lalu pergi meninggalkannya begitu saja.
Dara berjalan sempoyongan melalui pintu kelab karena terlalu banyak minum. Merasa pria tersebut mengikutinya, Dara pun menoleh sejenak.
“Dasar pria sinting, kenapa kamu mengikutiku?” tanya Dara. "Pergi!"
“Memangnya, kamu akan pergi ke mana?” tanya pria itu sembari menatap Dara tajam. "Setahuku, kamu tidak memiliki tempat untuk pulang hari ini."
Dara berhenti berjalan, menyadari satu hal dari ucapan pria tersebut. 'Benar juga, aku ... mau ke mana?' batinnya dengan kening berkerut.
Seperti yang telah disebutkan tadi, rumah Dara disita oleh bank setelah kebangkrutan perusahaan orang tuanya. Dara yang awalnya mengira akan diterima oleh keluarga calon suaminya memutuskan untuk menolak ajakan sang ayah untuk kembali ke kampung. Alhasil, sekarang dia di sini, di luar kelab malam tanpa tahu harus pulang ke mana.
'Andai ... aku ikut dengan Ayah,' batin Dara dengan air mata yang berkumpul di pelupuknya. 'Andai aku juga percaya omongan Ayah ... bahwa Rizal bukan pria yang baik.' Gadis itu mengepalkan tangannya.
“Jangan menangis, Dara," ujar sebuah suara yang membuat Dara mengangkat pandangannya, menatap pria bermata hitam menghipnotis itu. Pria tersebut mengulurkan tangannya ke arah Dara. "Aku bisa memberikanmu tempat untuk tinggal malam ini.”
Mendengar ucapan pria itu, Dara mengerutkan keningnya. Pandangan wanita itu sangat buyar dan kepalanya terlewat pusing. "Aku tidak mengenalmu." Dia pun berjalan menjauh, tidak menyadari bahwa dirinya telah melewati batas pejalan kaki.
TIIIN!
Suara klakson yang keras membuat Dara menoleh, pandangannya yang buyar menjadi sangat terang karena cahaya dari lampu mobil. Gadis itu terkejut, tapi dia tidak bisa menghindar lantaran tubuhnya tidak sepenuhnya berada di bawah kendali.
Sebelum mobil tersebut menghantam Dara, seseorang menggenggam tangannya dan menarik tubuh gadis itu ke pinggir jalanan.
"Hei! Lihat-lihat kalau jalan! Dasar gila!" maki sopir mobil tersebut sebelum kembali melaju pergi.
"Ugh ...." Dara melenguh, merasa tidak hanya kepalanya, tapi sekarang kakinya sakit. Sepertinya, dia terkilir.
Namun, menyadari kehangatan yang menyelimuti tubuhnya, Dara menaikkan pandangannya.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya pria bermata hitam itu, kali ini tidak setenang sebelumnya. Dari alisnya yang bertaut dan jantungnya yang berdetak kencang, kentara kalau dia sangat khawatir dengan apa yang hampir saja menimpa Dara. "Apa kamu kira bunuh diri bisa menyelesaikan masalahmu?!" bentaknya, menampakkan amarah.
"He he." Dara terkekeh. "Kamu panik," balas gadis itu, sedikit meracau. "Aku ... tidak akan ... bunuh diri ... karena hal ... konyol ...." Semakin lama, pandangan Dara pun menggelap.
Melihat Dara menutup matanya, pria itu memanggil-manggil, "Dara, Dara ...."
Namun, gadis itu tidak menjawab. Dara sudah benar-benar mabuk.
Pria bernetra itu pun menghela napas. Lalu, dia menggendong tubuh mungil Dara dan berjalan menghampiri mobil.
Setelah bersusah payah membawa Dara ke mobil, pria itu meletakkan tubuhnya dengan lembut di kursi penumpang. Pria tersebut menghela napas.
"Bisa-bisanya dia tidak sedikit pun waspada ...," gumam pria bernetra hitam itu sebelum akhirnya duduk di kursi pengemudi dan menginjak gas untuk pergi meninggalkan tempat tersebut.
Sekitar satu jam perjalanan, mobil sudah berhenti sempurna di depan sebuah rumah. Pria itu keluar dari mobil dan menghampiri pintu di sisi Dara. Saat membukanya, pria tersebut melihat wajah Dara begitu lelah, dengan bagian kantung mata yang sedikit bengkak karena terlalu banyak menangis.
"Dara," panggil pria itu lembut. "Bangun, kita sudah sampai ...."
Namun, Dara sama sekali tidak menjawab. Akhirnya, pria itu pun memutuskan untuk membiarkan gadis itu tidur dan menggendongnya.
"Ugh ...."
Dara melenguh saat tubuhnya diangkat. Secara refleks, tangannya melingkar di leher pria tampan yang sedang berusaha membawanya ke kamar utama rumah itu.
Sampai di kamar, pria tersebut meletakkan tubuh Dara ke atas ranjang empuk. Otomatis, Dara langsung melepaskan pegangannya pada leher pria itu dan berguling ke samping ranjang, meringkuk karena dingin yang menerpa.
Selama sesaat, pria itu hanya terdiam memperhatikan Dara. Tatapan matanya memancarkan rindu mendalam, juga kesedihan yang tidak mampu dimengerti.
“Dara," panggil pria itu lagi, kali ini selagi jari-jarinya mendorong helaian rambut Dara ke belakang telinga gadis itu. Senyuman tipis terbentuk di bibir pria tersebut ketika melihat sosok Dara mengernyit dan menepiskan tangannya secara refleks. Akhirnya, pria itu mendekatkan wajahnya ke telinga Dara dan berbisik, "Selamat tidur."
"Selamat tidur."Suara parau yang menggoda itu terngiang di pikiran Dara ketika dia bangun. Suara itu terdengar familier, tapi juga asing di waktu yang bersamaan. Namun, gadis itu tidak sempat mencerna siapa yang mengucakan kalimat tersebut lantaran dirinya berada di sebuah rumah yang terlihat asing!"Di mana ... ini?" gumam Dara sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling.Saat Dara baru ingin bangkit dari ranjangnya, terlihat keberadaan sebotol air putih dan satu strip obat di atas nakas. Di samping dua benda itu, ada sepucuk surat.Dara mengambil surat tersebut dan membacanya.[Maaf karena aku meninggalkanmu sendiri di sini. Aku yakin kamu bingung bagaimana kamu bisa sampai di sini, jadi aku tinggalkan pesan ini]Dara membaca saksama semua yang pria itu tuliskan tadi malam, dan wajahnya pun memerah. Dengan tangan menutup setengah wajah, dia membatin, 'Astaga! Aku hampir tertabrak mobil?!'Walau rasa malu sempat menyelimuti dirinya, tapi ekspresi Dara berubah saat membaca bagian
“Bisa-bisanya seorang tamu yang tak diundang mengacau di perusahaan saya!” Suara itu begitu kuat dan dingin, di tengah suasana yang tiba-tiba tegang dan memanas. Empat orang yang berada di sana otomatis memosisikan tubuh mereka ke arah datangnya suara. Romi menganggukkan kepalanya, sementara Dara membelalakkan mata saat melihat Bima-lah yang muncul di hadapannya. Pria itu berjalan dengan kedua tangan di saku. Pria berjas abu-abu itu lantas mendekat dengan tatapan mata yang tidak lepas dari netra coklat gelap milik Dara. Jantung Dara berdegup tak beraturan ditatap pria tampan itu. “Pak Rizal, benar?” Bima menyalami Rizal lebih dulu. “Maaf kalau saya membuat Bapak tidak nyaman, tapi saya harus menyelesaikan urusan dengan Ibu Dara lebih dulu. Apa Anda keberatan?” tanya Bima lagi. Meski nada suara pria itu lembut, tapi siapa pun jelas tahu setiap kata yang keluar dari mulut Bima jelas bukan pertanyaan, melainkan perintah. “T-tentu saja tidak masalah, Pak Bima. Saya bisa menunggu.”
"Ya ampun, Tante turut prihatin dengan kejadian yang menimpa kalian." Dara, yang sekarang terduduk di sofa ruang tamu kediaman Keluarga Handoko, hanya tersenyum canggung di tempatnya. Ya, sekarang Dara sudah berada di rumah Bima dan tengah berbincang dengan ibu pria tersebut, Winda. Wanita tersebut baru saja mendengar mengenai musibah yang menimpa Dara, dan keluarganya.Di dalam hati, Dara merasa sangat malu. Awalnya, ketika Bima mengungkit perihal janji masa kecil mereka, Dara mengacu pada janji 'pernikahan'. Ternyata, janji yang sekarang tengah diwujudkan oleh Bima adalah pertemuan mereka kembali, termasuk pertemuannya dengan keluarga Handoko.Tante Winda kemudian mengambil kedua tangan Dara dan digenggamnya dengan hangat. "Andai saja Bima menemuimu lebih cepat ...."Dara tersenyum menyambut ketulusan yang diberikan Tante Winda padanya. "Nggak apa-apa, Tan. Saat ini pun, Dara berterima kasih sekali pada Bima."Senyum kemudian terukir dari bibir mamanya Bima. "Jangan sungkan minta tolong
“Ya ampun, Tante minta maaf ya, Dara, karena nggak nemenin kamu sampai ke kamar yang Tante maksud.” Dara baru saja bercerita kejadian dia dan Bima di kamar tadi pada Tante Winda saat mereka tengah berada di meja makan. Dara benar-benar merasa bersalah, karena kesoktahuannya, dia malah memasuki kamar Bima tanpa izin. Namun, wanita paruh baya itu juga menunjukkan rasa bersalah yang sama pada Dara.“Dara yang salah, Tan, karena nggak tanya lagi.” Cengiran muncul di wajah Dara usai berkata demikian.Dia canggung setengah mati, karena ketahuan salah masuk kamar, dipergoki oleh yang punya kamar, dan kejadian itu terjadi ketika orang tua Bima ada di sini. Sementara Dara setengah mati menahan rasa malu, pria di hadapannya justru terlihat santai sekali, seolah tidak ada hal yang baru saja terjadi.“Kamu juga, Bima! Lain kali kalau mau masuk kamar itu ketuk pintu dulu!” Alih-alih menyalahkan Dara, Tante Winda justru menyalahkan putranya sendiri.Pria yang jadi korban kesalahan mamanya itu berd
“Kalau kamu, Dara … kamu mau kan, jadi istrinya Bima?”Dara menjadi kikuk dengan pertanyaan tentang pernikahan. Dia bingung ingin menjawab apa, terlebih lagi dia belum pernah mengasuh anak sebelumnya. Kepalanya menjadi pusing memikirkan ini semua.“Aku belum siap untuk menikah saat ini,” jawab Dara.“Tante tahu perasaanmu saat ini bagaimana. Tapi kamu harus memikirkan masa depanmu,” ucap Ibu Winda.Memang itu yang Dara rencanakan saat ini, dia akan giat bekerja mengumpulkan uang demi membantu perekonomian keluarganya yang telah bangkrut. Dia sama sekali belum memikirkan masalah pernikahan.“Iya Tante,” jawab Dara singkat padahal dia sama sekali tidak menolak kalau Bima sendiri yang melamarnya. Kenapa harus Tante Winda.***Bima mengantar Dara Pulang menggunakan mobilnya karena hari sudah sore dan besok dia sudah mulai bekerja.“Dara, jangan terlalu memikirkan permintaan mama,” ucap Bima sambil menyetir mobilnya.“Eh, iya,” jawabnya singkat.“Aku dan mantan istri bercerai karena dia s
Dara menatap Bima dengan gugup, dia juga masih ada rasa sebenarnya dengan Bima tapi kondisinya saat ini bebeda. Dia belum siap membuka lembaran baru untuk memulai kisah asmara lagi dengan seorang pria. Ditambah lagi Bima seorang duda beranak satu, gadis itu berpikir kalau anak Bima pasti akan membenci seorang ibu tiri sepertinya.“Aku akan memikirkannya,” jawab Dara lirih.“Aku harap tidak kecewa dengan pilihanmu nanti,” balas Bima.“Selamat malam, sampai jumpa besok di kantor,” ucap Dara lalu dia melambaikan tangan kepada Bima.Bima melajukan kembali kendaraannya pulang ke rumah. Dia berpikir masih ada banyak waktu untuk memulai kembali hubungan asmaranya dengan Dara. Bima menjadi tak sabar menunggu hari esok saat bertemu dengan Dara di perusahaan.***“Aku sedikit gugup, ini adalah pertama kalinya aku berkerja,” gumam Dara.Gadis cantik itu melangkahkan kakinya ke ruang personalia untuk melapor bahwa hari ini adalah kesepakatan dia mulai bekerja. Kepala Personalia yang sudah menungg
Rizal menatap wajah Dara yang semakin cantik kala panik itu, lalu dia tersenyum dan menggenggam tangan Dara.“Aku mohon padamu, Dara. Kamu dekat ‘kan sama Bima, tolonglah aku,” pinta Rizal.Dara segera menarik tangannya dari genggaman Rizal, dia tidak mau ada yang melihatnya lalu salah paham. Apalagi sekrang Rizal berpacaran dengan Irma, masalah akan meluas kalau Irma melihat hal ini.“A-ku tidak dekat dengan Bima,” ucap Dara lalu berjalan pergi meninggalkan Rizal namun pria munafik itu mengejarnya. Dia meraih pergelangan tangan Dara sehingga Dara menghentikan langkah kakinya.“Dara, kenapa kamu tidak mau menolongku?” tanya Rizal tanpa rasa malu.Dara membalikkan pandangannya ke Rizal, dia menatap lekat-lekat wajah pria licik itu. Sorot mata Dara menunjukkan kebencian yang amat dalam. Rizal ini sebenarnya pura-pura tidak tahu atau memang beginilah sikap aslinya mendekati orang jika memang menguntungkan baginya.“Aku tidak mau menolongmu. Jadi sia-sia saja kamu datang kepadaku,” jawab
Raut wajah Rizal langsung berubah ketika melihat siapa yang datang. Dara langsung berlari berlindung ke belakang tubuh tinggi tegap itu.“Tentu saja aku tahu hukum itu, tapi aku tidak mengancam orang,” ucap Rizal.“Apa kamu pikir aku ini tuli? Jelas sekali kamu menganca karyawanku!” seru Bima dengan tatapan yang tajam.Rizal menyeringai tipis, sepertinya memang ada hubungan di antara mereka berdua. Dengan begini Rizal mempunyai kesempatan untuk menekan Dara dan mendapatkan apa yang dia inginkan.“Dia hanya karyawan biasa, aku rasa Pak Bima mempunyai pekerjaan yang lebih penting daripada mengurusi karyawan rendahan seperti Dara,” ucap Rizal.Bugh!” Bima langsung memberikan bogem mentah kepada Rizal yang kurang ajar itu, mulutnya sungguh menyakiti hatinya, mengatakan Dara karyawan rendahan seolah Dara itu adalah sampah yang tidak berguna. Bukankah tujuh tahun lamanya dia berpacaran dengan Dara dan banyak keuntungan yang ia dapatkan.“Dara, ayo kembali ke kantor,” ajak Bima sembari mengg