"Kamu tidak apa-apa?" tanya pria bermata hitam itu. Suara dalamnya terdengar menggelitik, menggoda dan menenangkan di saat yang bersamaan.
Sebelum Dara sempat membalas dan berdiri dari pelukan pria asing itu, teriakan Rizal mengalihkan fokusnya. "Sekali lagi kamu berbuat kasar pada calon istriku, aku tidak akan segan-segan menyakitimu!" ancam Rizal selagi melotot ke arah Dara.
Awalnya, Rizal berniat untuk memaki wanita itu lagi, tapi pandangan tajam pria bermata hitam yang menolong Dara itu membuatnya sedikit terintimidasi. Akhirnya, dia pun mendengus dan membawa Irma pergi.
Saat Rizal dan Irma menghilang dari balik pintu kelab, Dara yang masih berada di rengkuhan pria penolongnya perlahan mulai berdiri. Dia menepuk-nepuk serta merapikan rambutnya yang berantakan karena perkelahian dengan Irma.
"Kamu tidak apa-apa?" Pria bernetra hitam itu mengulang pertanyaannya.
Dara melirik pria penolongnya sesaat, lalu berkata dengan sedikit ketus, "Terima kasih." Tanpa membuang waktu, Dara memutuskan untuk kembali ke mejanya.
Tanpa wanita itu sadari, pria asing tersebut mengikuti. Diamatinya dengan saksama bagaimana Dara kembali memesan minuman dan meneguk minuman tersebut secara brutal. Satu botol bir yang semula penuh habis dalam sekejap, kentara bahwa Dara ingin kembali menenggelamkan kesedihan dan amarahnya dengan mabuk.
"Mas, satu botol la—"
"Berhentilah minum," potong seseorang sembari menghentikan gerakan tangan Dara yang terangkat. Hal tersebut membuat Dara menoleh dan menatap pria bernetra hitam yang sempat menolongnya tadi. "Kamu sudah mabuk,” ucap pria itu.
“Jangan ikut campur!” bentak Dara sembari mencoba mengulurkan tangan kembali untuk memanggil bartender.
Untuk kedua kalinya, pria itu kembali mencegah Dara. Kali ini, pria itu justru duduk di sisi wanita tersebut dan mengaitkan jari-jarinya dengan jari-jari lentik Dara, menahan wanita itu dari menggerakkan tangannya.
Dengan cepat, Dara mengempas tangan pria itu. “Lepas! Apa yang kamu kira kamu lakukan, hah?!” ucap Dara ketus. "Kalau kamu mencoba merayuku, jangan harap kamu bisa berhasil!"
Menggunakan satu tangannya yang terbebas, pria itu menopang kepalanya dan berkata, “Seharusnya kamu berterima kasih padaku." Netra hitamnya memandang Dara dengan saksama. "Kalau aku lelaki lain, mungkin mereka sudah memangsamu," godanya.
Mendengar hal itu, Dara memasang wajah buruk. Dia pun menarik kuat tangannya. "Lepas! Lepas!" serunya.
Di sela-sela usahanya untuk melepaskan diri, benak Dara yang mulai kacau kembali mengulang ingatan akan sosok Rizal yang berdampingan dengan Irma. Sungguh hari ini begitu luar biasa untuknya. Bukan hanya kehilangan statusnya, tapi Dara juga kehilangan pertunangannya. Amarah yang dari tadi tertahan pun mulai tak terbendung dan berakhir terlampiaskan melalui sebuah tangisan.
"Baj*ngan! Kamu baj*ngan! Hidupku sudah begitu sulit, tapi kenapa kamu tidak mengizinkanku untuk bersenang-senang!?" maki Dara sembari memukul-mukul pria di hadapan.
Kerutan, makian, juga air mata yang Dara keluarkan menjadi perhatian serius pria bermanik hitam tersebut. Entah berapa lama dirinya menjadi tempat pelampiasan Dara, tapi pria itu hanya terdiam dan menepuk-nepuk pundak wanita itu.
Saat Dara berakhir tenang, pria itu pun melepaskan tangannya. Dia melihat Dara tertunduk, memandang lantai yang dihiasi kunang-kunang berdasarkan pandangannya.
Suara benda yang diletakkan di atas meja bar membuat Dara mengangkat pandangannya, melihat segelas bir yang telah terisi penuh. Dia terkejut, lalu menoleh hanya untuk melihat pria itu menatapnya tenang. Kepala pria itu mengangguk, mengisyaratkan bahwa bir itu dipesan untuk Dara.
“Apa kamu menangisi pria tadi?” tanya pria tersebut saat melihat Dara langsung menyambar bir di hadapan.
Mata Dara memicing menghadap si pria asing. “Untuk apa kamu tahu?” sewotnya.
"Aku bisa membantumu," tegas pria bermata hitam itu dengan yakin.
Dara mengibaskan tangannya ke arah si pria asing. “Pergilah! Masalahku bukan urusanmu!”
Namun, rupanya pria asing itu bukan orang yang gampang menyerah. Pria yang diam-diam sudah memperhatikan Dara sedari gadis ini memasuki club pun jelas sudah tahu apa yang terjadi padanya. Untuk itu, dia kembali menawarkan bantuan, “Jadilah wanitaku, maka akan kubalas semua yang mereka lakukan padamu.”
UHUK!
Dara menyemburkan bir yang baru saja dia teguk karena kaget dengan ucapan pria yang baru sekali ditemuinya. "Apa kamu gila?" tanya Dara. Lelaki memang gampang sekali mengambil kesempatan, itulah yang ada di benak gadis itu saat ini. Dengan mengalihkan pandangannya, Dara membalas, “Aku tidak mau."
"Kenapa?"
"Siapa yang tahu kamu punya niat jahat?”
"Aku tidak mungkin jahat padamu," sahut pria tersebut dengan seulas senyum tipis. “Apa kamu lupa siapa aku?”
“Apa kamu lupa siapa aku?” Dara mengerutkan dahi. Dia mencoba memperhatikan baik-baik wajah pria di hadapannya dengan merengkuh wajah si pria menggunakan kedua tangannya. Pria itu tampan. Manik sehitam jelaganya setajam elang, terlihat mengintimidasi dan menenangkan di waktu bersamaan. Tidak hanya itu, lesung pipi yang terbentuk kala pria itu tersenyum membuat penampilannya terlihat manis. Dara terus memutar otak, mencari memori di mana dia pernah bertemu atau mengenal pria di hadapannya itu. Namun, berkali-kali mencoba, dia tetap tidak menemukan sebersit memori tentangnya. “Jangan asal bicara!" Dara melepaskan rengkuhan tangannya dari pria tersebut, "Aku tidak pernah mengenalmu dan kita tidak pernah bertemu!” Sejenak, pria tampan bertubuh atletis itu mendatarkan ekspresinya. Namun, detik berikutnya dia kembali tersenyum tipis sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Dara. “Baiklah. Kalau begitu, ayo berteman,” ajak pria itu. “Tidak mau!” tegas Dara menolak jabatan tangan pria i
"Selamat tidur."Suara parau yang menggoda itu terngiang di pikiran Dara ketika dia bangun. Suara itu terdengar familier, tapi juga asing di waktu yang bersamaan. Namun, gadis itu tidak sempat mencerna siapa yang mengucakan kalimat tersebut lantaran dirinya berada di sebuah rumah yang terlihat asing!"Di mana ... ini?" gumam Dara sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling.Saat Dara baru ingin bangkit dari ranjangnya, terlihat keberadaan sebotol air putih dan satu strip obat di atas nakas. Di samping dua benda itu, ada sepucuk surat.Dara mengambil surat tersebut dan membacanya.[Maaf karena aku meninggalkanmu sendiri di sini. Aku yakin kamu bingung bagaimana kamu bisa sampai di sini, jadi aku tinggalkan pesan ini]Dara membaca saksama semua yang pria itu tuliskan tadi malam, dan wajahnya pun memerah. Dengan tangan menutup setengah wajah, dia membatin, 'Astaga! Aku hampir tertabrak mobil?!'Walau rasa malu sempat menyelimuti dirinya, tapi ekspresi Dara berubah saat membaca bagian
“Bisa-bisanya seorang tamu yang tak diundang mengacau di perusahaan saya!” Suara itu begitu kuat dan dingin, di tengah suasana yang tiba-tiba tegang dan memanas. Empat orang yang berada di sana otomatis memosisikan tubuh mereka ke arah datangnya suara. Romi menganggukkan kepalanya, sementara Dara membelalakkan mata saat melihat Bima-lah yang muncul di hadapannya. Pria itu berjalan dengan kedua tangan di saku. Pria berjas abu-abu itu lantas mendekat dengan tatapan mata yang tidak lepas dari netra coklat gelap milik Dara. Jantung Dara berdegup tak beraturan ditatap pria tampan itu. “Pak Rizal, benar?” Bima menyalami Rizal lebih dulu. “Maaf kalau saya membuat Bapak tidak nyaman, tapi saya harus menyelesaikan urusan dengan Ibu Dara lebih dulu. Apa Anda keberatan?” tanya Bima lagi. Meski nada suara pria itu lembut, tapi siapa pun jelas tahu setiap kata yang keluar dari mulut Bima jelas bukan pertanyaan, melainkan perintah. “T-tentu saja tidak masalah, Pak Bima. Saya bisa menunggu.”
"Ya ampun, Tante turut prihatin dengan kejadian yang menimpa kalian." Dara, yang sekarang terduduk di sofa ruang tamu kediaman Keluarga Handoko, hanya tersenyum canggung di tempatnya. Ya, sekarang Dara sudah berada di rumah Bima dan tengah berbincang dengan ibu pria tersebut, Winda. Wanita tersebut baru saja mendengar mengenai musibah yang menimpa Dara, dan keluarganya.Di dalam hati, Dara merasa sangat malu. Awalnya, ketika Bima mengungkit perihal janji masa kecil mereka, Dara mengacu pada janji 'pernikahan'. Ternyata, janji yang sekarang tengah diwujudkan oleh Bima adalah pertemuan mereka kembali, termasuk pertemuannya dengan keluarga Handoko.Tante Winda kemudian mengambil kedua tangan Dara dan digenggamnya dengan hangat. "Andai saja Bima menemuimu lebih cepat ...."Dara tersenyum menyambut ketulusan yang diberikan Tante Winda padanya. "Nggak apa-apa, Tan. Saat ini pun, Dara berterima kasih sekali pada Bima."Senyum kemudian terukir dari bibir mamanya Bima. "Jangan sungkan minta tolong
“Ya ampun, Tante minta maaf ya, Dara, karena nggak nemenin kamu sampai ke kamar yang Tante maksud.” Dara baru saja bercerita kejadian dia dan Bima di kamar tadi pada Tante Winda saat mereka tengah berada di meja makan. Dara benar-benar merasa bersalah, karena kesoktahuannya, dia malah memasuki kamar Bima tanpa izin. Namun, wanita paruh baya itu juga menunjukkan rasa bersalah yang sama pada Dara.“Dara yang salah, Tan, karena nggak tanya lagi.” Cengiran muncul di wajah Dara usai berkata demikian.Dia canggung setengah mati, karena ketahuan salah masuk kamar, dipergoki oleh yang punya kamar, dan kejadian itu terjadi ketika orang tua Bima ada di sini. Sementara Dara setengah mati menahan rasa malu, pria di hadapannya justru terlihat santai sekali, seolah tidak ada hal yang baru saja terjadi.“Kamu juga, Bima! Lain kali kalau mau masuk kamar itu ketuk pintu dulu!” Alih-alih menyalahkan Dara, Tante Winda justru menyalahkan putranya sendiri.Pria yang jadi korban kesalahan mamanya itu berd
“Kalau kamu, Dara … kamu mau kan, jadi istrinya Bima?”Dara menjadi kikuk dengan pertanyaan tentang pernikahan. Dia bingung ingin menjawab apa, terlebih lagi dia belum pernah mengasuh anak sebelumnya. Kepalanya menjadi pusing memikirkan ini semua.“Aku belum siap untuk menikah saat ini,” jawab Dara.“Tante tahu perasaanmu saat ini bagaimana. Tapi kamu harus memikirkan masa depanmu,” ucap Ibu Winda.Memang itu yang Dara rencanakan saat ini, dia akan giat bekerja mengumpulkan uang demi membantu perekonomian keluarganya yang telah bangkrut. Dia sama sekali belum memikirkan masalah pernikahan.“Iya Tante,” jawab Dara singkat padahal dia sama sekali tidak menolak kalau Bima sendiri yang melamarnya. Kenapa harus Tante Winda.***Bima mengantar Dara Pulang menggunakan mobilnya karena hari sudah sore dan besok dia sudah mulai bekerja.“Dara, jangan terlalu memikirkan permintaan mama,” ucap Bima sambil menyetir mobilnya.“Eh, iya,” jawabnya singkat.“Aku dan mantan istri bercerai karena dia s
Dara menatap Bima dengan gugup, dia juga masih ada rasa sebenarnya dengan Bima tapi kondisinya saat ini bebeda. Dia belum siap membuka lembaran baru untuk memulai kisah asmara lagi dengan seorang pria. Ditambah lagi Bima seorang duda beranak satu, gadis itu berpikir kalau anak Bima pasti akan membenci seorang ibu tiri sepertinya.“Aku akan memikirkannya,” jawab Dara lirih.“Aku harap tidak kecewa dengan pilihanmu nanti,” balas Bima.“Selamat malam, sampai jumpa besok di kantor,” ucap Dara lalu dia melambaikan tangan kepada Bima.Bima melajukan kembali kendaraannya pulang ke rumah. Dia berpikir masih ada banyak waktu untuk memulai kembali hubungan asmaranya dengan Dara. Bima menjadi tak sabar menunggu hari esok saat bertemu dengan Dara di perusahaan.***“Aku sedikit gugup, ini adalah pertama kalinya aku berkerja,” gumam Dara.Gadis cantik itu melangkahkan kakinya ke ruang personalia untuk melapor bahwa hari ini adalah kesepakatan dia mulai bekerja. Kepala Personalia yang sudah menungg
Rizal menatap wajah Dara yang semakin cantik kala panik itu, lalu dia tersenyum dan menggenggam tangan Dara.“Aku mohon padamu, Dara. Kamu dekat ‘kan sama Bima, tolonglah aku,” pinta Rizal.Dara segera menarik tangannya dari genggaman Rizal, dia tidak mau ada yang melihatnya lalu salah paham. Apalagi sekrang Rizal berpacaran dengan Irma, masalah akan meluas kalau Irma melihat hal ini.“A-ku tidak dekat dengan Bima,” ucap Dara lalu berjalan pergi meninggalkan Rizal namun pria munafik itu mengejarnya. Dia meraih pergelangan tangan Dara sehingga Dara menghentikan langkah kakinya.“Dara, kenapa kamu tidak mau menolongku?” tanya Rizal tanpa rasa malu.Dara membalikkan pandangannya ke Rizal, dia menatap lekat-lekat wajah pria licik itu. Sorot mata Dara menunjukkan kebencian yang amat dalam. Rizal ini sebenarnya pura-pura tidak tahu atau memang beginilah sikap aslinya mendekati orang jika memang menguntungkan baginya.“Aku tidak mau menolongmu. Jadi sia-sia saja kamu datang kepadaku,” jawab