“Satu gelas lagi!” pinta Dara kepada seorang bartender untuk menuangkan bir sekali lagi ke dalam gelasnya.
Hari ini sungguh hari yang paling sial untuk Dara. Dalam satu hari, hidupnya yang bergelimang harta, dicintai, dan diharapkan kehadirannya tiba-tiba berubah drastis. Kebangkrutan perusahaan sang ayah, rumahnya yang disita, juga putusnya pertunangan dengan sang kekasih karena statusnya yang tak lagi setara. Semua hal itu membuat Dara merasa frustrasi, hingga membawanya ke sini, club malam langganannya.
"Si*lan!" maki Dara kala mengingat betapa kejamnya pemutusan hubungan secara sepihak yang diucapkan oleh mantan calon mertuanya. Dengan kilatan amarah dari pancaran matanya, Dara bersumpah, "Rizal, akan aku pastikan kamu menyesal!"
Entah sudah berapa gelas bir yang dia teguk sambil menunggu munculnya Rizal, mantan tunangannya, di kelab malam langganan mereka. Banyak spekulasi yang ada di pikiran Dara tentang kandasnya hubungan pertunangan mereka, tapi dia ingin mendapatkan penjelasan malam ini juga sebelum benar-benar mengambil keputusan mengenai apa yang harus dilakukan!
Ketika akhirnya penantiannya tiba, Dara membelalak saat menemukan Rizal keluar dari salah satu ruang VIP kelab dengan menggandeng seorang wanita. Mata Dara menyipit untuk melihat sosok yang Rizal gandeng, tapi karena dirinya mulai terpengaruh alkohol, dia tidak mampu melihat jelas.
Tak mau kehilangan kesempatan, Dara langsung menghampiri sang tunangan serta wanita yang digandengnya. Semakin dekat dengan sosok yang dituju, kemarahan Dara semakin memuncak. Wanita yang begitu mesra bergelayut di lengan tunangannya itu sangat dia kenal!
“Kalian berdua ....” Dara menggeram dan mengepalkan tangannya kala berbicara, dengan sengaja menghadang jalan dua orang tidak tahu malu itu. "Apa yang kalian lakukan di sini?!" bentaknya dengan marah.
Alis wanita yang lebih layak dipanggil pelakor itu meninggi. Menyadari bahwa yang menghadangnya adalah Dara, wanita itu menyunggingkan senyum. "Dara?" Pandangannya mengejek. "Masa kamu masih bertanya? Memangnya kamu belum tahu?" Dia terkekeh.
Wajah Dara menegang, amarah jelas menumpuk di dada. Air mata yang ingin keluar terbendung di sudut matanya. Kemunculan dua orang di hadapan membuat Dara sadar hubungannya dengan Rizal sudah benar-benar di ujung jurang.
“Kamu gila, Irma?!" maki Dara. "Rizal adalah tunanganku!” seru Dara sambil mencoba memisahkan tautan tangan mereka.
Namun, saat merasakan sentuhan Dara di tangannya, Rizal menepiskan tangan gadis itu. "Lepas!" Dia menatap Dara dengan pandangan mencemooh. “Tunangan?" tanyanya. "Itu dulu sebelum kamu miskin!" Pria itu tidak lupa menambahkan, "Sekarang kamu miskin, memangnya kamu kira kamu layak jadi calon istrku?"
Ucapan yang keluar dari mulut Rizal membuat hati Dara sakit. Akan tetapi, dibandingkan sakit, wanita itu merasa marah karena pengkhianatan dua orang di hadapan.
Dengan senyuman pahit di bibir dan pandangan mengejek, Dara memaki, "Tapi, kalian ini memang cocok." Ucapannya membuat Rizal dan Irma memandangnya seperti orang gila. Tidak pernah mereka sangka bahwa Dara akan melontarkan kalimat mengejutkan. "Yang satu pria mokondo, yang satu lagi wanita murahan,” hinanya sebelum berakhir tertawa keras.
Rahang Rizal mengetat saat mendengar sebutan dirinya dari Dara. “Jaga ucapanmu itu!" bentaknya sembari mendorong Dara kuat, menyebabkan gadis itu terhuyung beberapa langkah ke belakang. "Kamu pikir, kamu lebih baik dari Irma?”
Dara mendecih jijik pada mereka berdua. “Tidak ada wanita baik yang merebut tunangan orang!” Dia melirik Rizal. "Dan, tidak ada pria setia yang hanya mementingkan harta."
Dua tangan Rizal mengepal erat di sisinya, tidak terima dengan perkataan Dara. Namun, kemudian pria itu menyunggingan senyum. “Apa pun omong kosongmu, aku tidak peduli. Aku akan tetap menikah dengan Irma karena dia sedang hamil anakku.”
Detik itu juga, Dara mematung. "Hamil?" ulangnya.
Tidak masuk akal! Pria itu baru memutuskan hubungan dengannya tadi siang, lalu ... bagaimana bisa wanita selingkuhannya sudah hamil sekarang?
Setelah berpikir sekian lama, Dara pun menyadari satu hal. Dia mengangkat jari telunjuknya dan menuding Irma serta Rizal. "Selama ini, bahkan sebelum kebangkrutan keluargaku, kalian ... kalian sudah berselingkuh di belakangku!?"
Rizal tersenyum pongah. "Wajahmu memang cantik, Dara ... tapi, kamu tidak pandai menarik hati pria." Pria itu melirik Irma dan melingkarkan tanganya di pinggang wanita itu. "Lihat Irma. Dia cantik, seksi, dan pandai memuaskanku." Rizal kemudian melemparkan pandangan tidak suka kepada Dara sembari mendengus, "Tidak seperti kamu yang kaku dan membosankan. Menolak untuk melakukannya sebelum menikah? Astaga, kamu hidup di zaman apa?"
Dara terdiam di tempatnya. Tangannya mengepal kuat, tak habis pikir dengan kalimat Rizal yang begitu hina. Dia tidak menyangka bahwa dirinya sempat berpikir untuk berbalikan dengan baj*ngan seperti Rizal!
Di samping Rizal, Irma sudah menunjukkan raut penuh kemenangan saat melihat reaksi Dara. Dengan sengaja mempertontonkan kemesraannya dengan Rizal, Irma menarik tangan pria itu dan merengek, “Sayang, kita pulang, ya." Dia berbalik bersama Rizal dan mulai berjalan pergi. "Ngapain sih kamu ladeni wanita miskin itu la—Argh!"
Belum sempat Irma menyelesaikan kalimatnya, kepalanya tertarik ke belakang dengan keras sampai-sampai dia berteriak kencang.
"Argh! Apa yang kamu lakukan!?" teriak Irma kesakitan ketika menyadari Dara menarik rambutnya.
"Sakit, 'kan?" tanya Dara pada Irma dengan senyum menghiasi wajahnya, tidak sedikit pun terlihat bersalah. Kentara, alkohol telah sepenuhnya menguasai pikirannya. "Sakit yang kamu rasa belum seberapa dibandingkan sakit yang aku rasakan!" lanjut Dara seraya menarik lebih kencang.
Rizal yang melihat hal itu kaget dan langsung berusaha melindungi Irma. "Dara! Lepasin Irma!" Karena Dara tidak kian melepaskan Irma, Rizal pun mendorong mantan tunangannya itu dengan kuat.
"Ah!"
Dorongan Rizal membuat Dara terkejut dan mulai terjatuh ke belakang. Saat dia kira bahwa tubuhnya akan membentur lantai dengan keras, sepasang sentuhan hangat melingkari tubuhnya.
Dara yang tadi menutup mata karena siap jatuh berujung membuka matanya dan menengadah ke atas. Sepasang mata hitam yang tenang terarah kepadanya, menatap Dara dengan lembut.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Kamu tidak apa-apa?" tanya pria bermata hitam itu. Suara dalamnya terdengar menggelitik, menggoda dan menenangkan di saat yang bersamaan.Sebelum Dara sempat membalas dan berdiri dari pelukan pria asing itu, teriakan Rizal mengalihkan fokusnya. "Sekali lagi kamu berbuat kasar pada calon istriku, aku tidak akan segan-segan menyakitimu!" ancam Rizal selagi melotot ke arah Dara.Awalnya, Rizal berniat untuk memaki wanita itu lagi, tapi pandangan tajam pria bermata hitam yang menolong Dara itu membuatnya sedikit terintimidasi. Akhirnya, dia pun mendengus dan membawa Irma pergi.Saat Rizal dan Irma menghilang dari balik pintu kelab, Dara yang masih berada di rengkuhan pria penolongnya perlahan mulai berdiri. Dia menepuk-nepuk serta merapikan rambutnya yang berantakan karena perkelahian dengan Irma."Kamu tidak apa-apa?" Pria bernetra hitam itu mengulang pertanyaannya.Dara melirik pria penolongnya sesaat, lalu berkata dengan sedikit ketus, "Terima kasih." Tanpa membuang waktu, Dara memutu
“Apa kamu lupa siapa aku?” Dara mengerutkan dahi. Dia mencoba memperhatikan baik-baik wajah pria di hadapannya dengan merengkuh wajah si pria menggunakan kedua tangannya. Pria itu tampan. Manik sehitam jelaganya setajam elang, terlihat mengintimidasi dan menenangkan di waktu bersamaan. Tidak hanya itu, lesung pipi yang terbentuk kala pria itu tersenyum membuat penampilannya terlihat manis. Dara terus memutar otak, mencari memori di mana dia pernah bertemu atau mengenal pria di hadapannya itu. Namun, berkali-kali mencoba, dia tetap tidak menemukan sebersit memori tentangnya. “Jangan asal bicara!" Dara melepaskan rengkuhan tangannya dari pria tersebut, "Aku tidak pernah mengenalmu dan kita tidak pernah bertemu!” Sejenak, pria tampan bertubuh atletis itu mendatarkan ekspresinya. Namun, detik berikutnya dia kembali tersenyum tipis sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Dara. “Baiklah. Kalau begitu, ayo berteman,” ajak pria itu. “Tidak mau!” tegas Dara menolak jabatan tangan pria i
"Selamat tidur."Suara parau yang menggoda itu terngiang di pikiran Dara ketika dia bangun. Suara itu terdengar familier, tapi juga asing di waktu yang bersamaan. Namun, gadis itu tidak sempat mencerna siapa yang mengucakan kalimat tersebut lantaran dirinya berada di sebuah rumah yang terlihat asing!"Di mana ... ini?" gumam Dara sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling.Saat Dara baru ingin bangkit dari ranjangnya, terlihat keberadaan sebotol air putih dan satu strip obat di atas nakas. Di samping dua benda itu, ada sepucuk surat.Dara mengambil surat tersebut dan membacanya.[Maaf karena aku meninggalkanmu sendiri di sini. Aku yakin kamu bingung bagaimana kamu bisa sampai di sini, jadi aku tinggalkan pesan ini]Dara membaca saksama semua yang pria itu tuliskan tadi malam, dan wajahnya pun memerah. Dengan tangan menutup setengah wajah, dia membatin, 'Astaga! Aku hampir tertabrak mobil?!'Walau rasa malu sempat menyelimuti dirinya, tapi ekspresi Dara berubah saat membaca bagian
“Bisa-bisanya seorang tamu yang tak diundang mengacau di perusahaan saya!” Suara itu begitu kuat dan dingin, di tengah suasana yang tiba-tiba tegang dan memanas. Empat orang yang berada di sana otomatis memosisikan tubuh mereka ke arah datangnya suara. Romi menganggukkan kepalanya, sementara Dara membelalakkan mata saat melihat Bima-lah yang muncul di hadapannya. Pria itu berjalan dengan kedua tangan di saku. Pria berjas abu-abu itu lantas mendekat dengan tatapan mata yang tidak lepas dari netra coklat gelap milik Dara. Jantung Dara berdegup tak beraturan ditatap pria tampan itu. “Pak Rizal, benar?” Bima menyalami Rizal lebih dulu. “Maaf kalau saya membuat Bapak tidak nyaman, tapi saya harus menyelesaikan urusan dengan Ibu Dara lebih dulu. Apa Anda keberatan?” tanya Bima lagi. Meski nada suara pria itu lembut, tapi siapa pun jelas tahu setiap kata yang keluar dari mulut Bima jelas bukan pertanyaan, melainkan perintah. “T-tentu saja tidak masalah, Pak Bima. Saya bisa menunggu.”
"Ya ampun, Tante turut prihatin dengan kejadian yang menimpa kalian." Dara, yang sekarang terduduk di sofa ruang tamu kediaman Keluarga Handoko, hanya tersenyum canggung di tempatnya. Ya, sekarang Dara sudah berada di rumah Bima dan tengah berbincang dengan ibu pria tersebut, Winda. Wanita tersebut baru saja mendengar mengenai musibah yang menimpa Dara, dan keluarganya.Di dalam hati, Dara merasa sangat malu. Awalnya, ketika Bima mengungkit perihal janji masa kecil mereka, Dara mengacu pada janji 'pernikahan'. Ternyata, janji yang sekarang tengah diwujudkan oleh Bima adalah pertemuan mereka kembali, termasuk pertemuannya dengan keluarga Handoko.Tante Winda kemudian mengambil kedua tangan Dara dan digenggamnya dengan hangat. "Andai saja Bima menemuimu lebih cepat ...."Dara tersenyum menyambut ketulusan yang diberikan Tante Winda padanya. "Nggak apa-apa, Tan. Saat ini pun, Dara berterima kasih sekali pada Bima."Senyum kemudian terukir dari bibir mamanya Bima. "Jangan sungkan minta tolong
“Ya ampun, Tante minta maaf ya, Dara, karena nggak nemenin kamu sampai ke kamar yang Tante maksud.” Dara baru saja bercerita kejadian dia dan Bima di kamar tadi pada Tante Winda saat mereka tengah berada di meja makan. Dara benar-benar merasa bersalah, karena kesoktahuannya, dia malah memasuki kamar Bima tanpa izin. Namun, wanita paruh baya itu juga menunjukkan rasa bersalah yang sama pada Dara.“Dara yang salah, Tan, karena nggak tanya lagi.” Cengiran muncul di wajah Dara usai berkata demikian.Dia canggung setengah mati, karena ketahuan salah masuk kamar, dipergoki oleh yang punya kamar, dan kejadian itu terjadi ketika orang tua Bima ada di sini. Sementara Dara setengah mati menahan rasa malu, pria di hadapannya justru terlihat santai sekali, seolah tidak ada hal yang baru saja terjadi.“Kamu juga, Bima! Lain kali kalau mau masuk kamar itu ketuk pintu dulu!” Alih-alih menyalahkan Dara, Tante Winda justru menyalahkan putranya sendiri.Pria yang jadi korban kesalahan mamanya itu berd
“Kalau kamu, Dara … kamu mau kan, jadi istrinya Bima?”Dara menjadi kikuk dengan pertanyaan tentang pernikahan. Dia bingung ingin menjawab apa, terlebih lagi dia belum pernah mengasuh anak sebelumnya. Kepalanya menjadi pusing memikirkan ini semua.“Aku belum siap untuk menikah saat ini,” jawab Dara.“Tante tahu perasaanmu saat ini bagaimana. Tapi kamu harus memikirkan masa depanmu,” ucap Ibu Winda.Memang itu yang Dara rencanakan saat ini, dia akan giat bekerja mengumpulkan uang demi membantu perekonomian keluarganya yang telah bangkrut. Dia sama sekali belum memikirkan masalah pernikahan.“Iya Tante,” jawab Dara singkat padahal dia sama sekali tidak menolak kalau Bima sendiri yang melamarnya. Kenapa harus Tante Winda.***Bima mengantar Dara Pulang menggunakan mobilnya karena hari sudah sore dan besok dia sudah mulai bekerja.“Dara, jangan terlalu memikirkan permintaan mama,” ucap Bima sambil menyetir mobilnya.“Eh, iya,” jawabnya singkat.“Aku dan mantan istri bercerai karena dia s
Dara menatap Bima dengan gugup, dia juga masih ada rasa sebenarnya dengan Bima tapi kondisinya saat ini bebeda. Dia belum siap membuka lembaran baru untuk memulai kisah asmara lagi dengan seorang pria. Ditambah lagi Bima seorang duda beranak satu, gadis itu berpikir kalau anak Bima pasti akan membenci seorang ibu tiri sepertinya.“Aku akan memikirkannya,” jawab Dara lirih.“Aku harap tidak kecewa dengan pilihanmu nanti,” balas Bima.“Selamat malam, sampai jumpa besok di kantor,” ucap Dara lalu dia melambaikan tangan kepada Bima.Bima melajukan kembali kendaraannya pulang ke rumah. Dia berpikir masih ada banyak waktu untuk memulai kembali hubungan asmaranya dengan Dara. Bima menjadi tak sabar menunggu hari esok saat bertemu dengan Dara di perusahaan.***“Aku sedikit gugup, ini adalah pertama kalinya aku berkerja,” gumam Dara.Gadis cantik itu melangkahkan kakinya ke ruang personalia untuk melapor bahwa hari ini adalah kesepakatan dia mulai bekerja. Kepala Personalia yang sudah menungg