Barrant sudah tak sabar untuk memberitahu Fjola tentang keberhasilannya. Mereka akan tetap menikah. Ia segera menulis surat dan meminta salah satu prajuritnya untuk menyiapkan kuda. Namun, setelah pemuda itu memakai mantel dan berniat keluar istana, seseorang mencegatnya. “Yang Mulia, Anda sudah ditunggu Raja.”
Pemuda itu mengernyit. “Aku rasa, aku tidak memiliki janji untk bertemu Raja. Bukankah beliau sedang ada urusan?”“Saya tidak tahu, Yang Mulia. Saya hanya diminta Raja untuk menyampaikan bahwa beliau sedang menunggu Anda.”Barrant mengangkat bahunya sekilas. “Kalau begitu, bolehkah aku minta tolong padamu?”Prajurit itu menerima tanpa ekspresi. “Silakan, Yang Mulia.”Barrant mengulurkan suratnya dan berkata, “Tolong sampaikan surat ini ke pemilik bar yang ada di daerah barat. Di surat itu sudah kutulis nama bar yang kumaksud. Kuyakin kau tidak akaSeseorang tengah mengendap-endap ke tangga atas kamar Pangeran saat Barrant didatangi sang prajurit. “Tolong berikan surat ini kepada pemilik bar di wilayah utara.” Perintah itu juga terdengar dari telinganya. Kening wanita yang ikut mendengar itu pun mengernyit. Untuk apa Pangeran menulis surat kepada pemilik bar? Batinnya heran. Ia lantas bersembunyi ketika prajurit itu lewat. Diam-diam, ia akan melaporkan ini kepada Margaret. Sementara itu, ia menyuruh pelayannya untuk membuntuti sang prajurit. *** Hujan salju menutupi jalan. Orang-orang mulai menabur garam di depan rumah mereka supaya tidak licin. Barrant baru bisa meninggalkan istana setelah sore menjelang. Padahal, ia sudah tak sabar ingin menemui kekasihnya yang kini terbebas dari ancaman hukuman. Senyum tersipul di bibirnya yang merah. Ia tidak peduli dengan udara dingin yang menyentuh kulitnya. Orang-orang tidak memerhatikannya ketika lewat. Sebab, ia pergi dengan mengendarai kuda sendiri. Tak ada Aguste di sampingnya. Ka
Sebelumnya ....Fjola sedang melamun ketika pintu kamarnya diketuk. Ia egera bangkit. Mengira Aguste telah menemukan kereta, ia pun bangkit dan membuka pintu. Rupanya, ia keliru. Bukan Aguste yang mngetuk tadi, melainkan Tom. Lelaki itu mengulurkan sebuah perkamen kepadanya.“Surat untuk Anda lagi, Nona. Sepertinya dari kerajaan.”Fjola mengernyit. “Oh, ya?” Dia menerima surat itu dengan benak bertanya-tanya.“Terima kasih,” tambahnya kepada Tom yang masih menunggu. “Oh!” Ia lantas mengambil kantong uang yang diberikan oleh Aguste sebelum pergi tadi dan mengambil beberapa keping untuk tip. Ia lantas memberikannya kepada Tom dan lelaki itu pun pergi.Setelah menutup pintu, Fjola membuka amplop surat itu dan membaca isinya.Dear Fjola,Terjadi sesuatu yang tak terduga di sini. Kau dalam bahaya. Sebentar lagi akan ada seseorang yang menjemputmu. Ikutlah d
Kesempatan itu datangnya satu kali. Yaitu ketika melewati sebuah pasar. Kereta terpaksa mengurangi kecepatan. Banyak orang yang tengah lalu lalang. Mereka membeli bahan makanan untuk persediaan musim dingin yang telah tiba. Meski hari sudah sore, ditambah salju yang turun lumayan deras tak menghentikan keinginan mereka untuk menimbun makanan banyak-banyak, membeli mantel baru yang hangat dan sapatu bot.Fjola yang melihat kesempatan itu diam-diam membuka kunci pintu kereta. Ketika jentera kereta melambat dan hampir berhenti, gadis itu pun menghambur keluar. Ia menjinjing gaunnya sampai ke lutut. Ujung mantelnya berkibar. Tanpa menoleh ke belakang, ia menyibak keramaian. Ia berlari dan terus berlari. Ia tak memedulikan teriakan dan umpatan dari orang-orang yang tak sengaja tersenggol olehnya.Setelah merasa cukup jauh, ia berhenti. Ia mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Ia melihat ke sekeliling. Rupanya, ia berlari cukup jauh. Fjola tak ingat ke mana ka
“Aku harus memeriksa penginapanmu. Ini perintah kerajaan!” seru seorang prajurit dengna baju zirah, tanpa helm. Dia diapit dua orang temannya.“Tidak bisa! Kalian menganggu tamu-tamuku. Lagi pula, apakah kerajaan dapat mengganti kerugian juka mereka pergi karena tidak nyaman?” tolak sang pemilik penginapan. “Aku pastikan, Tuan-tuan, tidak ada gadis yang menginap di sini.”“Kau bisa dianggap menentang perintah kalau menghalangi kami!”“Aku tidak peduli! Sekarang, kalian cepat minggir!” seru sang pemilik penginapan dengan berapi-api.Prajurit yang paling depan menoleh ke arah dua temannya. Ia mengangguk singkat, memberi tanda kepada mereka. Kedua prajurit tersebut pun berjalan mendekati sang pemilik penginapan, mengapit kedua sisinya.“Apa-apaan ini! Berengsek kalian!” caci sang pemilik penginapan. “Kalian tirani kotor! Menjijikkan. Aku tidak s
Sial! Fjola menyadari dua orang prajurit mengikutinya. Sebenarnya, bagaimana mereka tahu? Dia sudah memakai baju laki-laki, ditambah mantel dan bekerudung, tentunya dapat menyembunyikan siapa dirinya, bukan? Ia berkelit di jalan, menyibak korang-orang yang tengah menuju alun-alun untuk menyaksikan hukum pancung.Hati Fjola tak tenang. Tidak mungkin Jon. Mereka seharusnya tidak tahu hubungannya dengan keluarga Addalward. Kecuali Raja Erik berkhianat. Sialan! Raja itu memang egois. Padahal dia sudah berjanji akan menjamin kehidupan ayah dan adiknya. Jika terjadi apa-apa terhadap Jon atau Fannar, Fjola berjanji akan membut raja itu menerima ganjaran yang setimpal.Ia juga mengira-ngira, bagaimana Margaret tahu tentang jati dirinya? Selama ini, ia tak pernah membuka mulut dengan siapa pun? Mungkinkah dia memiliki mata-mata lain? Atau jangan-jangan .... Dalam benak Fjola, tergambar satu sosok mungil yang pucat, yang memandangnya dengan takut-takut, y
Dengan menarik gaunnya hingga ke lutut, Lilija berlari. Di belakangnya ada Fjola yang mengikuti. “Cepat, cepat!” serunya berbelok dari gang. Ia menuntun Fjola ke jalan. Orang-orang masih ramai memadati alun-alun. Ia menyibak kerumunan. Ia menoleh ke belakang sebentar, memastikan bahwa Fjola masih mengikutinya.“Ke kereta yang itu!” serunya sembari menunjuk kereta di ujung jalan. “Masuklah ke sana dan tunggu aku. Aku akan menghalangi para prajurit itu.”Fjola bergegas ke arah kereta yang ditunjuk oleh Lilija sementara gadis itu memungut kayu dan bersembunyi di tikungan Dia menunggu kedua prajurit yang mengejar mereka lewat. Pada saat yang tepat, ia berhasil mengayunkan kayu itu tepat di kepala mereka hingga terjengkang. Bergegas, ia berlari menyusul Fjola.Prajurit lain yang melihat tahu arah yang dituju buronannya adalah kereta. Mereka bergegas melaju ke sana. Sementara itu sang kusir bersiap melecutkan kekang untu
Rupanya, itu adalah tabib yang merawat Fjola. Tabib itu sudah tua. Matanya cemerlang di antara keriput yang mengelilingi kelopak, menandakan pengetahuannya yang tidak main-main dalam bidangnya. Rambutnya yang putih disanggul kecil ke belakang. Bibirnya berkerut ketika menumbuk ramuan berwarna kuning di lesung kecil di atas meja. Dengan tangan keriput dia meracik sebuah ramuan. Gerakannya begitu luwes ketika mengganti kain pembebat lengan pasiennya yang terluka. Darah Fjola sudah berhenti keluar. Lukanya pun sudah membaik. Tidak ada peradangan, maupun bengkak. Bahkan kulitnya pun sudah menutup.“Apa ada orang lain yang mengikutimu ke sini?” tanya Lilija khawatir.“Tenang saja, Nona. Saya tahu harus berbuat apa,” jawab tabib itu tanpa menoleh ke arah Lilija.“Apa kau dari istana?” Melihat cara tabib itu mengobatinya membuat Fjola penasaran.“Dulu, sayalah yang merawat Ratu,” jawabnya si
Mata Fjola mengerjap. Badannya kaku dan sakit. Perutnya mual. Ia tak tahu berapa lama dia pingsan, atau tertidur. Yang ia tahu hanyalah bahwa Lilija mengkhianatinya.Lantai kayu tempatnya tertidur kini berguncang. Guncangannya cukup keras sehingga membuat kepalanya terantuk beberapa kali. Fjola berusaha bangkit. Ia berada di ruangan yang sempit. Tak ada apa-apa di sana selain dirrinya. Samar-samar ia mendengar bunyi derak roda yang menggilas jalan tak rata. Fjola menduga bahwa dia bukan berada di ruangan sempit, melainkan di sebuah kereta yang tengah melaju.Meski begitu, kereta itu tak ubahnya seperti peti. Kosong, tanpa jendela. Ada pintu yang tertutup. Di depan, ada sekat untuk mengintip tempat duduk sang kusir. Sesuatu menabrak sisi kereta hingga tubuh Fjola miring sesaat, tetapi kemudian kembali tegak lagi. Dari guncangan yang dirasakannya, ia tahu kecepatan kereta itu cukup tinggi.Dengan sendi yang ngilu, Fjola berusaha bangkit, duduk de