Erna memutuskan untuk tak masuk ke sekolah keesokan harinya, karena kondisinya yang masih penuh luka dan tak tahan jika harus mendengarkan gosip serta cemoohan dari para siswi, karena berita perkelahiannya dengan Stefani telah tersebar luas ke seluruh penjuru sekolah Sofia.Setelah disembuhkan oleh Hendery, meskipun lukanya telah menutup dan tak mengalami pendarahan, namun bekasnya tetap saja belum mengering seratus persen, sehingga dia harus membalut kedua lengannya dengan perban. Erna tak ingin memberi bahan bagi para siswi tukang gosip di sekolah, dengan kemunculannya. Maka dia memilih untuk istirahat di dalam kamar, untuk sehari saja.“Er, boleh aku masuk?” Erna sampai hampir melompat, karena tak percaya telah mendengar suara Karin, begitu jelas dari balik pintu kamarnya. Dia lalu balik berteriak, meminta Karin untuk masuk karena tidak dikunci. Maka Karin pun segera membuka pintu, muncul dengan raut khawatir bersama Aldo di belakangnya.“Kukira kamu sendirian, Rin,” ujar Erna, se
“Er, Erna!” panggil Aldo, hendak berlari menghampiri Erna, sebelum gadis itu berlari sekencang kilat.Kini Aldo telah sampai di dekat Tanya. Tatapan matanya mendelik, penuh murka.“Apa yang sudah kamu katakan padanya?” hardik Aldo.Tanya gelagapan. “Aku hanya bicara jujur,”“Bukan hakmu untuk mengatakan padanya,” cela Aldo. “Kalau sampai terjadi apa-apa pada Karin, kamu yang akan kukejar lebih dulu,” Ancaman Aldo yang tak pernah peduli pada gosip apapun di sekolah, membuat Tanya sedikit gentar. Bahkan setelah menjadi pelindung Karin, Aldo tak pernah marah pada siapapun.***Brakk!!Erna menendang, membanting dan merusak apapun di depannya. Dia meraung, berteriak, tak peduli menjadi bahan tontonan teman-teman sekelas Edo. Sementara Edo, lelaki itu duduk diam dan pasrah di bangkunya sendiri, tak berkutik meski bangku-bangku di sekitarnya telah roboh oleh amukan Erna.“Kenapa? Hah! Kenapa harus Karin?” teriak Erna. “Dia istri petinggi di sini, dan dia SAHABATKU,” Erna menjerit, meronta m
“Berhenti menghasutku!! Aku tidak akan luluh kali ini,” sergah Erna, kesal luar biasa setelah mendengar pengakuan Hendery.“Kapan aku pernah menghasutmu? Kamu sendiri yang bersedia menolong Karin di hutan terlarang,” Hendery balik bertanya. “Aku memberitahumu, karena jika sampai Katon tahu ini semua ulahmu, dia tak akan membiarkanmu hidup,”“Memang aku sebentar lagi mati,” dalih Erna, sama sekali tak terpengaruh. Klik! Dia memutus sambungan, tak peduli jika Hendery masih punya seribu topik yang ingin dia pakai untuk membujuk Erna agar berhenti. Tapi satu hal yang pasti, ketika Erna mengarahkan matanya ke tempat Karin, temannya itu sudah tak ada di tempat. Justru Tanya tiba-tiba muncul dengan raut puas di depan Erna.“Harus kuakui, ternyata kamu ada gunanya juga,” komentar Tanya, tersenyum licik sekaligus meremehkan.“Dimana Karin?”“Justru itu aku ke sini karena ingin mengajakmu menemuinya,” sahut Tanya, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan telinga Erna. “Stefani sudah memasang segel
“Siapapun yang menyakiti Erna, akan mati malam ini … “ Ancaman Hendery tak perlu digaungkan dua kali, karena dalam satu helaan nafasnya yang menderu dan murka itu saja, sudah membuat ciut nyali siapapun yang mendengar.Salah seorang siswi telah menjadi korban, kini terkulai mati kaku dengan luka tusukan belati di jantung. Semua mulai mundur. Kemudian Hendery melempar kembali belatinya ke siswi lain, yang dari pikirannya bisa Hendery baca, jika dia menjadi salah satu yang merundung Erna.Dua orang mati begitu saja, tanpa mengucapkan kalimat terakhir, atau setidaknya mohon pengampunan. Sementara tubuh Erna sudah babak belur dipukuli, tapi Hendery justru melirik Erna sekilas, dan mulai sibuk dengan aksinya sendiri.Di sisi lain, Karin yang lemas dan kedinginan mulai meringkuk menghangatkan tubuhnya ke dalam dekapan Katon, yang seakan enggan untuk melepas pelukan.“Maafkan aku, karena tak bisa melindungimu,” Katon tampak amat menyesal, sekali lagi mengelus rambut Karin dan makin memelukny
Segalanya telah berubah. Dan harus berubah. Karin tak perlu diingatkan akan hal itu, karena dia cukup tahu diri. Segala kengerian yang terjadi dua hari yang lalu, membuatnya sadar jika hidupnya tak akan pernah tenang di sini. Menjadi pengantin bangsawan iblis tertinggi memang bukan pilihannya, namun Karin tahu, dia tak bisa menghindari takdirnya sendiri.Dan hari ini adalah hari terakhir baginya. Bukan hari terakhir untuk hidup, tapi hari terakhirnya untuk belajar di sekolah Sofia, karena Katon tak ingin hal mengerikan itu terjadi lagi, meski Stefani kini sudah menghilang selamanya.“Aku janji, aku tidak lama,” Karin mengacungkan jari kelingkingnya.Katon tampak menolak. “Aku tetap harus ikut,”“Aku harus menyerahkan surat ini pada kepala sekolah,”“Ya. Dan aku ikut,”“Tak perlu, Katon,”“Kenapa?” tanya Katon curiga. “Apa kamu mau menemui seseorang lagi?”Karin buru-buru menggeleng. Namun dia juga tak hendak menjawab. Ekspresinya kikuk, nampak bingung menyusun kata-kata.Katon pun men
"Aku sudah memutuskan, namanya Karin Nevada." Laksita mengelus kening bayi mungil yang tertidur pulas dalam dekapannya, sambil sesekali memandangi wajah pria yang sedang duduk di sampingnya. Pria itu tersenyum kemudian bergantian mencium kening Laksita dan bayi kecil itu."Nama yang indah," ucapnya. Laksita tersenyum simpul. Setelah melewati persalinan melelahkan selama hampir 20 jam, bayi yang diberi nama Karin Nevada itu lahir melalui jalan lahirnya. Semua terbayar tuntas setelah melihat wajah Karin dengan mata hitam berbinar, tampak sangat ingin menjelajah dunia."Albert," tegur seorang pria berjas hitam yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu kamar pasien yang sedang ditempati Laksita. Albert, suami Laksita seketika berdiri saat melihat pria itu. Dia menunduk patuh, bahkan seperti ketakutan.Pria berjas hitam itu sedikit maju dan muncullah sesosok laki-laki bertubuh tegap dan tinggi. Laki-laki itu tampak sangat muda, sekitar umur 20-an namun auranya mampu mendominasi siapapun
Hujan deras mengguyur tubuh Albert dan Karin yang duduk bersimpuh tak berdaya di aspal yang hitam. Lima orang preman dengan tubuh tegap berjalan maju, satu orang di antaranya memakai payung berwarna merah marun. Pria berpayung itu tersenyum licik dan puas melihat tubuh ayah Karin tumbang."Tidak ada yang bisa melawanku, Karin. Harusnya ayahmu tahu itu," ucapnya setengah berteriak untuk melawan suara derasnya hujan. "Jika sejak awal ayahmu setuju menyerahkanmu padaku, dia tidak akan mati sia-sia."Karin tetap menangis keras, pasrah melihat tubuh ayahnya semakin lama semakin kehabisan darah."Sekarang kau milikku," Pria berpayung itu menyuruh empat orang lainnya untuk maju membawa Karin.Ketika Karin berteriak melawan, tiba-tiba seekor anjing hitam besar menghampiri mereka. Anjing itu menggeram, menunjukkan deretan gigi tajamnya yang berselimut air liur yang banyak. Matanya yang hitam legam, perlahan-lahan mendekati kawanan preman itu. Para preman itu mengambil sikap siaga, beberapa meno
Elsa berkali-kali menganga saat dia teringat ucapan Bondan tadi. Dia dan Karin tidak berhasil bertemu si anjing, namun pertemuan tak terduga dengan Bondan membuat Elsa mempunyai fakta baru bahwa Karin akan segera menikah. Entah menikah dengan siapa, namun mendengarnya saja sudah membuat Elsa menduga yang tidak-tidak."Rin, jangan bilang lo calon pengantin bangsawan iblis?!" Elsa segera menutup mulutnya saat dia tersadar jika suaranya kelewat keras.Karin yang semula diam saja dengan segala kehebohan yang ditimbulkan Elsa, akhirnya jengkel juga. Dia melirik Elsa dengan tatapan kesal. Tidak seharusnya Elsa mempercayai ucapan pria brengsek seperti Bondan. Bisa saja dia hanya berniat menakut-nakuti Karin. Namun Elsa sepertinya lebih senang dengan dugaannya tentang Karin adalah calon pengantin bangsawan iblis."Kalo dipikir-pikir lagi, kenapa dia harus ngomong gitu? Lo kenapa nggak nanya siapa yang dia maksud dengan Tuan?" kelakar Elsa masih berusaha merangkai segala kemungkinan."Nggak pen