"Aku nggak bakal sudi liat muka si Tyo lagi," geram Erna, merebahkan kepalanya ke bangku milik Karin.
Setelah kejadian semalam, dia enggan berada terlalu lama di kelasnya sendiri dan memilih pergi ke kelas Karin jika sedang tak ada guru. Melihat wajah Tyo yang apesnya satu kelas dengannya membuat Erna muak, mengingat kejadian semalam yang mempermalukannya. Erna merasa menjadi orang bodoh yang sempat senang ketika Tyo mengajaknya kencan semalam.
"Kenapa dia nggak nyari calon penganti di Alfansa?"
"Rin, bisa nggak kita nggak usah bahas Tyo lagi?" pinta Erna dengan muka kesal.
Karin mengangguk dan meminta maaf.
"Karin Nevada?" panggil seseorang dari arah pintu kelas Karin. Spontan dia dan Erna menoleh, begitu pula teman-teman sekelasnya yang lain.
Tampak seorang lelaki dengan muka bengal berjalan masuk menghampiri Karin, diikuti seorang perempuan berambut sebahu yang sangat cantik. Wajahnya dingin sedingin porselen, bahkan matanya yang sendu tampak ingin menghunus siapapun yang tanpa ijin menatapnya.
"Ketemu lagi," celetuk lelaki itu saat melihat Erna.
Erna menegakkan duduknya, "Kamu kan yang semalam? Namamu ... Hendery?"
Hendery tertawa, "Tepat sekali. Ingatanmu bener-bener tajam ya,"
"Siapa?" tanya Karin pada Erna. Meskipun dia mengenali wajah Hendery, tapi Erna tidak benar-benar tahu siapa Hendery dan perempuan di sampingnya.
"Aku ke sini cuman nganter Stef," ucap Hendery. "Stef, ini dia calon pengantin Katon,"
Ternyata hari itu datang juga. Hari dimana Stefani pergi menemui Karin karena ingin melihat sendiri calon pengantin Katon. Saat melihat wajah Stefani yang begitu dingin membuat Karin sedikit menciut. Wajahnya sama saja dengan warga Alfansa, tapi aura Stefani berbeda. Aura Stefani begitu kuat sama seperti aura Katon.
"Kamu Karin Nevada?" sapa Stefani. Di luar dugaan meskipun wajahnya dingin namun suara Stefani lembut dan nyaman didengar.
Karin mengangguk, "Ada perlu apa?"
"Dimana Katon?" tanya Stefani tanpa basa-basi.
"Aku nggak tahu,"
Stefani menautkan kedua alisnya dan kembali mencondongkan tubuhnya pada Hendery, "Dia nggak tahu," ucapnya pelan.
"Nggak mungkin," ucap Hendery tidak percaya. "Pasti Katon meninggalkan pesan padamu,"
Karin diam beberapa saat, "Dia hanya bilang akan pergi sebentar karena suatu urusan,"
"Urusan?"
"Stef, dia nggak tahu," ucap Hendery. "Katon nggak ngasih tahu apapun. Dia nggak bohong," jelas Hendery pada Stefani.
Kemudian setelah mereka berdua puas menginterogasi Karin, Stefani mengajak Hendery pergi meninggalkan kelas Karin.
"Tyo dari dulu emang brengsek. Tapi kau tetap yang paling bodoh, kenapa mau sama cowok kayak dia," seloroh Hendery santai pada Erna, kemudian seperti biasa melambaikan tangan dan pergi.
Erna lagi-lagi geram bukan main dengan sikap Hendery. Dia tak lupa mengumpat keras lelaki itu namun Hendery hanya tertawa dan tetap melambaikan tangan. Karin yang di sampingnya hanya bisa mengusap bahu Erna, memintanya untuk bersabar.
"Siapa Hendery?" tanya Karin.
"Dia cuman cowok brengsek yang suka banget liat orang malu," umpat Erna.
"Mereka berdua kenapa mencari Katon?" Pertanyaan Karin lebih seperti dia ucapkan ke dirinya sendiri.
* * *
Ponsel Katon bergetar ketika dia baru saja membersihkan pakaiannya dari sisa darah yang menempel akibat perkelahian cerberus melawan salah satu anjing penjaga milik gembong mafia yang ada di daerah dekat rumah Karin. Urusan Katon satu persatu sudah beres, dia membalaskan kekesalannya kepada orang-orang yang telah berjanji akan membantunya mencari Deswita. Namun hingga usia Karin 18 tahun dan sudah waktunya dia menemui Katon, Deswita tetap tidak ditemukan.
"Halo ... " sapa Katon dengan suara berat.
"Kau dimana?"
Katon tersenyum, "Kau merindukanku? Kita baru berpisah sekitar dua minggu,"
"Ada dua orang yang datang mencarimu,"
"Hendery dan Stef? Kenapa? Mereka mengganggumu?"
"Kapan kau kembali?"
"Kau merindukanku?" ulang Katon karena Karin tak menjawab pertanyaannya.
"Nggak ... hanya ..."
"Aku akan pulang kalau kau merindukanku,"
Tak ada balasan, karena Karin memang tak menyahut ucapan Katon. Cerberus mengisyaratkan untuk bergegas pergi karena ada warga Alfansa biasa yang curiga dan mengamati mereka berdua. Tanpa mengucapkan pamit Katon menutup sambungan dengan cepat.
"Katon?" Tanpa diduga Laksita berdiri di depan Katon, menatapnya dengan mata hampir menangis.
Wajah Laksita begitu kuyu dan cekungan di matanya menandakan bahwa dia mengalami malam yang panjang karena terus terjaga. Tubuhnya juga semakin kurus, dan dia saat ini sedang memegang dua keranjang buah di tangan kanan kiri.
"Dimana Karin? Kenapa kau disini?"
Katon memerintahkan cerberus untuk pergi dan sekarang tinggal mereka berdua. Laksita masih melekatkan pandangannya pada Katon, takut sewaktu-waktu lelaki itu akan menghilang sebelum sempat menjawab pertanyaannya.
"Aku ada sedikit urusan di sekitar sini," jawab Katon.
"Dimana Karin?"
"Dia di sana,"
"Kalian sudah menikah?" Laksita makin mendekatkan posisinya pada Katon.
Katon menggeleng, "Aku akan menikahinya sebulan lagi,"
Laksita tiba-tiba menangis, "Apakah aku tidak bisa menemuinya sebelum kalian menikah?"
"Kau sepertinya sudah tahu aturan mutlak kami. Waktumu dengan anakmu sudah habis, dan dia milikku sekarang,"
Laksita justru menangis makin kencang, "Aku hanya ingin memeluknya untuk terakhir kali, Katon. Ijinkan aku menemui anakku,"
"Dia bukan anakmu lagi, Laksita. Dia calon pengantinku,"
Laksita meraih lengan kiri Katon, mencengkeramnya erat. Matanya yang merah dan sembab terlihat begitu terluka, "Kenapa kau memilihnya? Kau tidak mungkin memilihnya tanpa alasan ... "
Katon tertawa ironis, "Ini semua karena Deswita,"
"Deswita?"
"Kau tak mengenalnya? Atau ... kau sengaja melupakannya?"
Laksita berhenti menangis dan berpikir keras untuk mengingat nama yang baru saja diucapkan Katon.
"Maksudmu Deswita ... mantan kekasih Albert?" Terbata-bata Laksita menebak siapa orang yang dimaksud Katon.
Katon hanya diam dan tersenyum samar kepada Laksita, yang mulai menangis meraung saat lelaki itu perlahan menghilang dan tak lagi bisa digenggam oleh tangan Laksita.
"Kamu tahu nggak, kalo cewek-cewek ngomongin kamu di belakang?" ujar Erna saat dia bersama Karin di kantin sekolah. Karin angkat bahu, "Emang aku peduli?" Erna menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada yang menguping pembicaraan mereka, "Tapi Rin, kamu nggak bisa remehin ini gitu aja," "Dulu waktu kamu belum datang dan Tanya masih mengaku calon pengantin Katon, cewek-cewek bekerja sama untuk melenyapkan Tanya. Tapi belum sempat mereka mengeroyok Tanya, kamu datang," Karin melebarkan matanya, "Maksudmu?" "Mungkin karena sekarang aku temanmu, mereka nggak ngasih tahu aku rencana mereka," bisik Erna masih dengan sikap waspada. "Siapa yang punya ide brutal kayak gitu?" tanya Karin. Dia mendekatkan wajahnya ke telinga Erna, "Stefani?" Erna menggeleng keras, "Aku nggak tahu," "Karin ... " Suara itu tiba-tiba ada di samping Karin dan Erna yang masih serius mengobrol. Betapa kagetnya mereka saat tahu Katon entah dari mana tiba-tiba muncul. Karin bahkan sampai mengelus dadanya kare
Benar saja, James sudah ada di depan pintu kamar Karin ketika gadis itu mendengar bunyi bel pukul setengah 7 malam. Mendapati James dengan sikapnya yang formal, membuat Karin gelagapan. Dia belum siap, karena tidak menyangka James akan menjemputnya tepat di depan kamar. Seperti basa-basi pada umumnya, Karin mempersilahkan James untuk masuk karena bagaimana pun lelaki itu lebih tua darinya. "James, aku sekarang punya ponsel, kenapa nggak nelepon dulu?" protes Karin menyiapkan tempat duduk untuk James. "Aku tidak pernah pakai ponsel," "Terus bagaimana caramu berkomunikasi?" James memandang Karin keheranan, "Apakah aku perlu menjelaskannya?" Karin awalnya mengangguk, namun melihat James mengerutkan kening membuatnya tersadar. Dia sedang berurusan dengan makhluk abadi. "Jadi Katon memiliki ponsel hanya untuk berkomunikasi denganku?" James mengangguk, menyuruh Karin lebih cepat bersiap-siap. Karin segera menata rambutnya dan memasukkan barang yang perlu dia bawa. "Sepertinya kau per
Karin tak pernah tahu jika seorang bangsawan iblis seperti Katon menikmati makanan layaknya manusia biasa sepertinya. Pantas saja saat ini terhidang sepiring besar spageti, lengkap dengan garlic bread dan salad sayur. Tak lupa di sana juga tersedia minuman kesukaan Karin, jus semangka. "Di sini ada semangka?" ujar Karin nyaris tertawa. Katon tersenyum lalu mempersilakannya duduk, "Apapun untukmu pasti ada," Pandangan Karin masih berkeliling pada jamuan makan malam yang luar biasa mewah, karena seumur hidup dia tidak pernah dijamu seperti ini. Selain karena kesulitan ekonomi keluarga, selama di Alfansa hidup Karin juga tak pernah tenang akibat kejaran dari para lelaki yang haus akan dirinya. Ingatan kelam itu tiba-tiba muncul, membuat rasa takjub yang sempat menyelimuti hati Karin berubah menjadi pandangan kosong yang nanar. "Apakah pantas aku menikmati semua ini?" gumamnya pada Katon. "Penderitaanmu di Alfansa sudah berakhir. Aku akan menjagamu di sini," Pandangan Karin masih nan
Karin tak pernah tahu jika seorang bangsawan iblis seperti Katon menikmati makanan layaknya manusia biasa sepertinya. Pantas saja saat ini terhidang sepiring besar spageti, lengkap dengan garlic bread dan salad sayur. Tak lupa di sana juga tersedia minuman kesukaan Karin, jus semangka. "Di sini ada semangka?" ujar Karin nyaris tertawa. Katon tersenyum lalu mempersilakannya duduk, "Apapun untukmu pasti ada," Pandangan Karin masih berkeliling pada jamuan makan malam yang luar biasa mewah, karena seumur hidup dia tidak pernah dijamu seperti ini. Selain karena kesulitan ekonomi keluarga, selama di Alfansa hidup Karin juga tak pernah tenang akibat kejaran dari para lelaki yang haus akan dirinya. Ingatan kelam itu tiba-tiba muncul, membuat rasa takjub yang sempat menyelimuti hati Karin berubah menjadi pandangan kosong yang nanar. "Apakah pantas aku menikmati semua ini?" gumamnya pada Katon. "Penderitaanmu di Alfansa sudah berakhir. Aku akan menjagamu di sini," Pandangan Karin masih nan
"Aku nggak nyangka ada juga yang berani ngintipin kita," sindir Stefani dengan pandangan ditujukan pada Tanya yang mematung ngeri. Tanya menggigit bibirnya, "Maaf, Stef ... " Stefani berjalan mendekati Tanya dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Matanya menelusuri tubuh Tanya dari atas sampai bawah, "Oh jadi kamu yang ngaku sebagai calon pengantin Katon?" Kemudian dia balik menatap Karin, "Dan kamu berteman dengan calon pengantin Katon yang asli?" Stefani tersenyum licik penuh maksud, sambil melambaikan tangan dia kembali menghampiri Katon yang semenjak tadi masih duduk santai di tempatnya. Tak ada kata yang keluar dari mulut maupun penjelasan yang ingin dia lontarkan pada Karin. Sedangkan Karin, tubuhnya panas dingin, menahan kecewa dan marah menjadi satu namun tak bisa dia lampiaskan. Dia hanya ingin respon dari Katon, respon apapun. Mungkin terkejut atau panik. Tapi Katon tidak merespon, dan hanya balik merengkuh tubuh indah Stefani seakan kehadiran tiga onggok manusia bias
Serena mempersilahkan Karin untuk masuk ke dalam rumahnya yang berdesain minimalis itu. Ken masih mengantar kepergian Katon, yang mendadak harus pergi tanpa bilang apapun pada Karin. Serena menuntun lembut tangan Karin, berusaha menghibur keresahan di benak Karin. Walaupun Serena sesama manusia Alfansa sepertinya, tapi Karin dapat merasakan kalau Serena memiliki intuisi yang tajam. Dia seakan mengerti kekhawatiran dan kecemasan yang ada di dalam diri Karin, hanya dengan melihat gerak-geriknya. "Karin siapa nama lengkapmu?" tanya Serena setelah menyuguhkan segelas teh hangat pada Karin. Karin segera menyeruput teh itu, "Karin Nevada," Serena menautkan kedua alisnya kemudian melipat tangan di depan dada, "Aku senang bertemu denganmu," "Serena ... " panggil Karin, memainkan cangkirnya, "sudah berapa lama kamu menikahi Ken?" "Lima belas tahun ... mungkin?" Serena berusaha mengingat untuk dirinya sendiri, "Yang pasti sudah sangat lama sampai aku lupa," Serena tertawa ringan membodohi d
James masih saja menunduk walaupun sudah lima menit lamanya waktu berlalu sejak dia datang menjemput Katon untuk kembali ke dunia mereka. Dia melakukan itu karena saat ini mata Katon berubah hitam legam, penuh amarah dan dendam yang tak bisa dihentikan siapa pun bahkan oleh James. Cerberus sudah pergi, menunaikan tugasnya untuk menjaga Deswita dan ibu Karin, jadi sekarang tinggal James dan Katon berdua saja. "Antar aku ke Stefani," James memberanikan diri mendongakkan kepalanya, "Kenapa kita menemui Stef?" Bola mata Katon bergerak mengawasi James, "Haruskah kujawab?" James kembali menunduk dalam, lalu mempersilakan Katon untuk segera duduk di kursi belakang mobil. Hanya hitungan detik mobil mereka sudah melaju kencang, membelah jalanan, menembus bangunan dan hanya dalam satu kedipan mata James sudah mengantar Katon hingga di depan gerbang negeri bangsawan iblis. Ketika sampai di sana, laju mobil mereka melambat layaknya mobil biasa dan bergerak melewati jalanan yang ada. James men
Hendery tertawa menggelegar, membuat gemuruh langit cerah di sekitar Sekolah Sofia siang ini. Dia berdiri di tepi rooftop yang biasa ia gunakan sebagai tempat persembunyiannya. Tangannya terbuka lebar, menarik nafas dalam-dalam dan kembali tertawa sangat bahagia. Salah satu misinya untuk mendekati Karin sebentar lagi terwujud, karena berita tentang Karin yang dicampakkan Katon beberapa hari lalu masih terus saja diperbincangkan. Tak bisa dipungkiri Hendery, selain menjadi mantan calon pengantin Katon, Karin juga memiliki pesona tersendiri yang mampu menarik perhatian semua laki-laki termasuk para bangsawan iblis. "Kau harus bergerak cepat," ujar Erna yang entah kapan muncul. Hendery dan Erna memang berbagi tempat persembunyian yang sama karena secara tak sengaja mereka memiliki tempat tujuan yang sama. "Sudah banyak yang mengincar Karin," tambahnya. "Tentu," Hendery turun dari tempatnya berdiri, "Dia adalah mantan calon pengantin Bagaskara, salah satu petinggi di sini." timpal Hender