Share

6. Siapa Kau?

Malam itu di ruang bacanya, Julien mendesah kesal setelah ia selesai melihat lagi rekaman kamera pengawas yang terpasang di rumahnya yang menyorot dengan jelas kejadian siang tadi ketika Lucia menganiaya Serena sementara dirinya tak ada di tempat.

Ia yang begitu geram, rasanya ingin menghubungi pihak berwajib saat itu juga agar wanita penyihir itu ditangkap ketika ia mendapatkan laporan mengejutkan tersebut. Tapi, ia lagi-lagi harus menahan dirinya sendiri karena ia masih memikirkan Lidya, putri Lucia satu-satunya.

Bagi Lidya, Lucia adalah orang tua terbaik karena selama ini wanita itu telah berjuang seorang diri sebagai ibu tunggal yang menjaganya setelah ayah mereka meninggalkan mereka sejak kecil. Bahkan perceraian yang terjadi setahun yang lalu itu pun, Lidya tak benar-benar tahu alasan yang sebenarnya.

Lagi-lagi, karena mempertimbangkan perasaan gadis itu, Julien memutuskan untuk tak memberitahu alasan yang sebenarnya padanya. Ia bahkan rela memberikan harta sesuai kemauan Lucia agar setidaknya dapat wanita itu gunakan untuk kelangsungan dan biaya hidup putri wanita itu setelah mereka bercerai.

"Beruntung kau memiliki seorang putri yang baik, Lucia. Jika tidak, aku sudah pasti akan membuat perhitungan denganmu," geram Julien dengan mata berkilat penuh amarah.

Ia lalu menutup laptop miliknya sebelum keluar dari ruang baca. Dan sama seperti hari-hari sebelumnya, ia baru kembali ke ranjangnya setelah memastikan Serena terlelap.

Julien naik ke atas ranjang dengan perlahan dan sebisa mungkin tak membuat banyak suara saat ia berbaring di samping Serena. Entah mengapa, ia menjadi terbiasa melakukan hal itu setelah mereka memutuskan untuk menikah kontrak dan Serena setuju untuk berpindah kamar tidur dengannya.

Ia melakukan itu karena ia tak ingin Serena merasa tak nyaman dengan keberadaan dirinya. Jadi, setelah pernikahan kontrak itu mereka buat dan ia menghadap pada kedua orang tua Serena ketika meminta restu, saat itu juga Julien merasa ia memiliki tanggung jawab untuk menjaga gadis itu.

"Kau sudah terlelap rupanya," gumam Julien sambil tersenyum kecil ketika ia melihat Serena yang telah tertidur pulas itu menghadap ke arah sisi ranjangnya.

Wajah Serena yang terlihat tenang dan polos saat tertidur itu, sudah menjadi pemandangan yang menarik bagi Julien yang tanpa sadar akhirnya ia tunggu-tunggu setiap malam. Tentu, ia baru bisa menikmati wajah pulas Serena yang damai saat gadis itu menghadap ke arahnya. Karenanya, saat itu terjadi, maka Julien akan merasa malamnya begitu baik.

"Semoga mimpimu indah, Serena," lirih Julien lagi.

Tangannya terulur lalu menyibak rambut tebal bergelombang Serena yang sedikit menutupi wajahnya. Ia kembali tersenyum kecil sebelum kemudian tanpa sadar tahu-tahu Julien sudah mencium kening gadis itu dengan hati-hati.

Sedetik setelah ia melakukan itu, ia membeku. Ia terbelalak dengan aksinya sendiri. Ia bahkan mengutuk dirinya sendiri dalam hati karena lagi-lagi telah bertindak impulsif!

Lalu, dengan sangat perlahan, Julien bergerak sehalus mungkin untuk kemudian menjauhkan tubuhnya yang condong ke arah gadis itu. Ia memutuskan untuk segera tidur dengan perasaan malu. Ia kemudian berbalik dan memunggungi Serena sambil menarik selimutnya perlahan-lahan.

Yang tak Julien ketahui, Serena yang dikiranya telah terlelap itu nyatanya masih sadar dan belum tertidur pulas.

Dalam diamnya, Serena sendiri sedang mengatur debaran jantungnya yang seakan hendak melompat ketika Julien tadi tiba-tiba mencium keningnya. Pasalnya, selama pernikahan kontrak mereka berjalan, baru kali ini Julien melakukan hal seperti itu padanya. Hal manis yang hanya dilakukan oleh seorang suami pada istrinya jika mereka benar-benar menikah.

Karena tindakan Julien tadi, ia kemudian mengingat lagi bagaimana pria itu memintanya menikah dengannya saat menghadap orang tuanya tempo lalu.

"Aku berjanji akan menjadi pria terbaik yang akan membahagiakan putri kalian dan tak akan pernah menyakitinya," janji Julien yang diucapkan sungguh-sungguh dan membuat Serena berdebar saat itu.

Tak hanya itu, pria itu juga berjanji memberikan biaya perawatan dan pengobatan untuk saudari kembarnya yang masih terbaring koma hingga seketika membuat kedua orang tuanya berbinar. Tentu, bagian di mana Julien juga berjanji akan membayar semua kebutuhan kuliah dirinya, saat itu membuat Serena terharu.

Seolah belum cukup puas, pria itu bahkan membelikan sebuah rumah untuk keluarganya tinggali setelah Julien tahu bahwa kedua orang tuanya dan dirinya hanya tinggal di dalam apartemen sewaan yang kecil dan murah.

Diantara semua itu, yang paling mengejutkan Serena, Julien juga menyebutkan padanya secara pribadi akan memberi rutin sejumlah uang setiap bulan padanya selama kontrak mereka berlaku layaknya karyawan yang ia gaji.

Dengan penawaran yang begitu menguntungkan, bagaimana kedua orang tua Serena bisa menolak? Maka tak heran, ketika Julien kemudian menemui kedua orang tuanya, sambutan mereka tak pernah sebaik sambutan yang diberikan padanya saat ia memenangkan lomba, atau saat ia mendapat beasiswa sekali pun.

"Oh! Beruntungnya kau mendapat Julien, Seren," ucap ibunya masih berbinar cerah setelah ia menjamu Julien yang saat itu datang untuk melamarnya.

"Tak ada lagi pria yang baik yang begitu mapan yang bisa kau dapatkan selain Julien. Maka bersyukurlah banyak-banyak karena seorang pria hebat sepertinya mau memilih gadis seperti dirimu. Jangan sia-siakan kesempatan emas yang telah kau dapatkan ini."

"Apa kalian tak mempermasalahkan usianya?" tanya Serena saat itu.

"Usia? Apa itu penting? Bagi gadis suram sepertimu, kau tak seharusnya bersikap memilih-milih. Sudah beruntung ia masih mau melirikmu yang bahkan tak bisa bersikap ceria dan menyenangkan seperti Helen. Tak usah banyak bicara dan berpikir yang macam-macam. Bersyukur saja, karena pernikahanmu itu, kita jadi terbebas dengan beban biaya rumah sakit setiap bulan. Bukankah itu hal yang baik?" balas ayahnya tak kalah berbinar dari ibunya.

Ya, lagi dan lagi, setiap kali kedua orang tuanya berkomentar tentang dirinya, mereka selalu menyakitinya dengan perkataan yang semena-mena dan membandingkannya dengan Helena.

Hanya karena ia tak bisa seceria Helena, mereka selalu memperlakukannya berbeda semenjak kecil. Ayah dan ibunya yang begitu menyayangi Helena, sering kali mengabaikannya karena menurut mereka putri yang menyenangkan, pandai mengambil hati, dan begitu ceria sudah menjadi kebanggan mereka. Terlebih, saat Helena pernah mengalami sakit pada bagian paru-paru ketika mereka kecil, perlakuan kedua orang tuanya sepenuhnya jadi tercurah pada kembarannya itu.

Maka, secara tak sadar ia menjadi tersisih. Bagi mereka jika dirinya pintar, itu adalah kewajaran. Jika dirinya memenangkan lomba-lomba dengan prestasinya, itu juga hal yang wajar. Dan wajar pula baginya jika ia akhirnya menurut pada kedua orang tuanya untuk selalu mengalah pada Helena.

Karena tak mungkin kedua orang tuanya membayar biaya kuliah mereka berdua, maka ia yang harus berusaha keras mendapatkan beasiswa sendiri agar dapat berkuliah seperti Helena yang dibiayai oleh kedua orang tuanya. Dan saat Helena terbaring koma, siapa lagi yang membantu kedua orang tuanya jika bukan dirinya?

"Andai aku memiliki sifat yang menyenangkan seperti Helena," sesalnya setiap kali ia merasa diperlakukan tak adil.

Lalu, untuk pertama kalinya sejak ia dilahirkan, ia akhirnya melakukan tindakan impulsif. Dengan menyetujui menikah dengan Julien, ia berpikir setidaknya ia bisa terbebas dari belenggu bayang-bayang Helena dan kedua orang tuanya melalui pernikahan itu.

Ia tak heran jika kedua orang tuanya tak mempermasalahkan saat Julien mengatakan bahwa pernikahan mereka untuk sementara tak akan dirayakan karena kondisi yang tidak memungkinkan. Yaitu, karena dirinya masih berada di atas kursi roda.

"Tentu tak masalah, Tuan. Akan sangat menyedihkan juga bagi putri kami satunya jika kembarannya menikah tanpa kehadirannya. Itu tak akan adil buatnya," ucap sang ibu kala itu.

Ya, adil. Sesuatu yang tak adil bagi dirinya, merupakan hal yang adil bagi Helena. Seperti itulah orang tua mereka menekankan hal yang mendasar itu. Jadi, setelah Helena kembali siuman, Serena telah memutuskan akan pergi dari keluarganya dengan menggunakan uang bulanan dari Julien, yang rencananya akan ia simpan untuk dirinya sendiri kelak.

Itu juga merupakan salah satu pemikiran impulsifnya yang lain, tentu saja. Tapi ... setelah Julien mencium keningnya tadi, ia menjadi sedikit bimbang dengan rencananya sendiri.

"Mengapa kau membuatnya menjadi begitu rumit?" lirih Serena sambil menyentuh keningnya yang seolah masih terasa menghangat. Ia menatap penuh arti pada punggung Julien yang bergerak naik turun menandakan pria itu sudah terlelap.

****

Paginya ....

"Apa ini sudah semua? Bukankah ini terlalu berat untuk kau bawa seorang diri? Harusnya kau meminta Alan saja untuk mengantar kebutuhanku," ucap Aiden sambil menerima sebuah tas jinjing yang berisi keperluannya saat ia menemui Serena di area lobi rumah sakit.

"Tak apa. Aku juga memiliki keperluan lain di kampus. Karena ada buku yang harus kucari di perpustakaan, jadi sekalian saja aku mampir," balas Serena.

"Persiapan untuk mengerjakan tugas akhirmu, ya?" 

Serena mengangguk. "Ya. Aku harus segera menyelesaikannya agar dapat lulus dengan cepat tahun ini."

"Itu bagus untukmu, Serena. Kau gadis yang rajin. Tapi apakah kau sudah merasa baik? Aku dengar kau diserang oleh Lucia kemarin." Sambil berucap, Aiden refleks memeriksa wajah Serena agar dapat melihat lebih dekat.

"Biar kuperiksa. Dad mengatakan bahwa ia menjambak dan mencakarmu. Dasar wanita gila," umpatnya. 

"Bagaimana jika lukamu berbekas?" Ia meraih dagu Serena dan memeriksa wajahnya sambil mengamati lekat-lekat bekas luka cakaran yang dimaksud.

"A ... Aiden, hentikanlah. Kita sedang berada di tempat umum," bisik Serena kikuk.

"Memang kenapa? Aku sekarang adalah dokter yang sedang memeriksa seorang pasien. Mereka juga bisa melihat jasku, bukan?" balas Aiden santai.

"Ta ... tapi,"

"Serena!" panggilan tiba-tiba dari seseorang membuat Serena dan Aiden tersentak dan refleks menoleh bersamaan.

Dari kejauhan seorang pria berlari kecil menghampirinya dengan napas yang tak beraturan.

"Calvin?" Serena terbelalak saat menatap seorang pria yang familier yang kini sudah berada di hadapannya.

"Oh, benar itu kau!" ucap pria itu sambil masih mengatur napasnya. Ia segera menatap tak suka pada Aiden yang tengah menyentuh dagu Serena.

Karena menyadari tatapan itu, Serena mengerjap dan melepaskan diri dari Aiden dengan kikuk.

"A ... apa yang kau lakukan di sini, Calvin?" tanya Serena.

"Aku ke kota ini untuk menemuimu. Aku berhasil pindah di sini dan bekerja di kantor baruku sejak seminggu yang lalu. Mengapa kau tak pernah menghubungiku lagi sejak kalian pindah? Apakah kau tahu aku begitu mencemaskanmu? Oh, aku sungguh merindukanmu, Serena!"

Tanpa rasa canggung, Calvin menarik Serena ke dalam pelukannya dan memeluknya dengan erat hingga membuat Aiden membelalakkan kedua bola matanya karena perlakuan intim terang-terangan pria itu di hadapannya.

"Ca ... Calvin." Serena sendiri menelan ludahnya dengan aksi Calvin yang begitu kasual dan tiba-tiba itu padanya. Ia yang masih belum pulih dari keterkejutannya, berusaha melepaskan diri dari pelukan pria itu dengan kikuk.

"Hei, Man, lepaskan." Tepukan pada bahu Calvin yang dilakukan Aiden seketika membuat pria itu menegang.

Ia refleks menoleh pada sumber suara. Perlahan tapi pasti, ia kemudian melepaskan pelukannya pada Serena dan menatap pria yang membuatnya terganggu itu.

"Ia terlihat tak nyaman. Dan ingat, ini adalah tempat umum," ucap Aiden kemudian dengan nada memperingatkan seolah ia tak melakukan hal yang serupa saja tadi.

"Siapa kau?" tanya Calvin spontan. "Apa hubunganmu dengan Serena?" lanjutnya dengan tatapan menantang yang penuh dengan keingintahuan.

Aiden sejenak terkejut namun kemudian ia dapat mengontrol ekspresinya. "Wah, kau sungguh tak memiliki sopan santun, ya? Kau datang dengan melotot padaku lalu tiba-tiba memeluk Serena seolah ia adalah kekasihmu. Seharusnya aku yang bertanya padamu. Siapa kau?" balas Aiden tak suka.

Calvin mengepalkan kedua tangannya dan mengerutkan alisnya. Serena sendiri sedang menahan napasnya karena begitu tegang.

____****____

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Titiek Nur Hidayati
bikin g sabar aja nunggu kelanjutany....ayo Thor semangat ,sll aq tunggu lho kelanjutany .
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status