Barra melangkah turun dari mobil, dengan senyum sumringah yang terpatri di wajah tampannya.Siang ini, pria itu begitu bersemangat. Auranya entah kenapa semakin bersinar, terlebih ditambah dengan terpaan cahaya matahari siang yang sedikit menyinari wajahnya."Sepertinya mereka sudah datang!" Barra bergumam pelan, setelah tak sengaja melihat sebuah mobil yang memiliki plat nomor tak asing dalam ingatannya.Dengan melanjutkan langkah, pria itu kembali masuk ke dalam sebuah restoran besar yang telah dirinya sewa lebih dulu. Barra langsung disambut dengan sangat ramah, sebelum akhirnya diantarkan pada sebuah ruangan khusus yang tentunya terpisah dari para pelanggan lain yang sedang menikmati makan siangnya di tempat ini."Siang!" Pria itu menyapa, membuat dua orang yang sudah lebih dulu sampai menoleh ke arahnya secara berbarengan.Barra berusaha mengabaikan tatapannya yang sempat tak sengaja melihat tangan Kara dan Jack yang sedang bertautan dengan begitu erat. Ia lebih memilih memandang
Jack menawarkan bantuan yang langsung dijawab sebuah anggukan kecil dari Kara.Pasrah, sepertinya hanya itu yang bisa dilakukan wanita itu saat ini. Kara tak bisa memaksakan kehendaknya sendiri, apalagi kini sudah terdapat bukti nyata di hadapannya."Siapkan dirimu, Barra. Karena nampaknya, saat ini kau terlalu berekspektasi tinggi!" Jack menyeringai sedikit sebelum benar-benar membuka surat yang sudah berhasil digenggamnya.Sementara Barra, pria itu hanya membalasnya dengan santai. "Sepertinya yang harus mempersiapkan diri itu adalah kau sendiri, Jack. Karena nyatanya, di sini kau yang tidak tahu apa-apa!"Jack mendengkus seraya kembali melihat ke arah logo rumah sakit yang tertera di depan amplop hasil tes DNA tersebut. Meski sedikit goyah berkat ucapan Barra, akan tetapi ia tetap yakin bahwa dirinya tak salah mengambil langkah.Perlahan, Jack mulai membuka penutup surat yang ada di sana. Ia membukanya dengan sesekali menatap Barra dan Kara secara bergantian, yang mana hal tersebut
"Bunda! Bunda! Arka udah rapi belum?"Anak kecil itu bertanya seraya menatap seluruh pakaiannya. Meski sedikit miring di ujung bajunya, akan tetapi Arka nampak begitu percaya diri. Rambut ikalnya masih nampak sedikit kusut, hingga membuat Kara tak kuat menahan senyumnya saat ini."Sini, bunda rapikan lagi ya? Supaya anak bunda ini terlihat semakin tampan!" tutur Kara pelan seraya menyuruh anaknya untuk semakin mendekat.Arka menurut, dan membiarkan sang bunda merapikan apa yang telah dipakainya. Selain itu, anak kecil tersebut juga terlihat begitu anteng ketika Kara menyisir rambut ikalnya. Sampai akhirnya semuanya terlihat sangat rapi dan sempurna.Cupp!"Nah, kalau begini 'kan anak bunda jadi terlihat sangat tampan!" Kara memuji sang anak dengan kembali melayangkan beberapa kecupan singkat."Terima kasih, Bunda! Arka jadi benar-benar tidak sabar menunggu Om Baik! Nanti Bunda ikut 'kan?" Arka tiba-tiba bertanya dan membuat Kara sedikit lemas mendengarnya.Dengan memaksakan senyumnya,
Detik semakin berlalu, membuat Arka merasa penasaran dengan penuturan Om Baik yang ada di hadapannya. Ia tentu ingin mengulang momen yang amat bahagia saat ini di kemudian hari, sehingga dirinya merasa sangat bingung ketika tiba-tiba dihadapkan dengan sebuah syarat."Om Baik! Apa syaratnya? Arka mau segera penuhi!" ujar anak kecil itu bersemangat."Benarkah?" Barra langsung terkejut mendengar tanggapan Arka."Iya, Om Baik! Arka tadi sudah bilang ke Bunda, kalau nanti Arka mau kumpul bersama dengan Om Baik dan Bunda! Biar nanti kita bisa main bareng!"Barra tersenyum mendengar alasannya, dan segera memeluk anak kecil tersebut setelahnya. Tak lupa ia membubuhkan beberapa kecupan singkat di wajahnya, serta kembali menatapnya dengan netra yang begitu dalam."Baiklah kalau begitu, syaratnya ... Bagaimana kalau setelah ini Arka merubah panggilan Om Baik jadi—""Hey, Barra!"Ucapan Barra tiba-tiba terpaksa terputus, berkat kehadiran sosok lain yang tak disangka. Pria itu mendengkus kesal, ba
Degghh!Jantung Kara seketika berdebar kencang mendengar semua kata-kata Jack. Ia ingin segera berontak, tetapi sayang setelahnya pria itu dengan begitu mudah mengangkat dirinya dan berjalan menuju ke arah kamarnya."Jack! Aku bisa sendiri! Aku tidak butuh ditemani olehmu!" ucap Kara setelah sebisa mungkin berusaha mengumpulkan semua keberanian yang ada.Namun sayang, semua pemberontakannya tersebut nampaknya sama sekali tak berarti apa-apa untuk Jack. Pria itu malah seakan sengaja menulikan telinga, hingga Kara terlihat semakin panik tak karuan ketika dirinya benar-benar sudah memasuki kamarnya sendiri."Jack! Aku mohon jangan seperti ini! Aku bisa melakukan semuanya sendiri! Aku tidak apa-apa ke kamar sendirian!" Kara mencoba melawan kembali, agar Jack tak lagi mengangkat tubuhnya dan terus berada di dalam kamarnya. Jujur, berbagai pikiran buruk kini sudah mulai memenuhi pikiran wanita beranak satu tersebut. Kara khawatir dengan situasi yang sedang sendiri di rumah seperti ini aka
["Maaf! Nomor yang ada tuju, sedang tidak aktif!"]Brukkk!Kara langsung melempar ponselnya ke arah bantal, setelah letih sekian kalinya mencoba untuk menghubungi Barra. Dirinya benar-benar tak tahu harus seperti apa lagi sekarang, terlebih sampai tengah malam seperti ini belum ada sedikit pun kabar tentang sang anak yang didapatkannya."Apa dia ternyata benar-benar tidak ingin mengembalikan Arka? Apa dia ingin mengambil anakku untuk selamanya?" Kara kembali bergumam dengan tetes air mata yang kembali mengalir di kedua sudut matanya. Di malam yang sunyi ini, wanita itu memeluk erat lututnya sendiri. Ia sungguh sangat panik, terlebih sedari tadi selalu saja ada kejadian yang membuat dirinya terguncang. Mulai dari Jack yang tiba-tiba berubah sangat memaksa untuk dekat dengannya, sampai ke Avaline yang terlihat sangat berang dengan kebersamaan Arka dan Barra. Semua kejadian tersebut seolah benar-benar tak ingin membiarkan dirinya bernapas dengan tenang. Haruskah Kara selalu merasa sen
Tak ada yang salah dari perkataan Arka. Semua yang dikatakan oleh anak kecil itu benar adanya, bahkan keluar dengan sangat tulus dari hati yang terdalamnya.Kara yang mendengarnya pun merasa sangat terharu. Dirinya justru jadi merasa sangat bersalah, karena telah berpikiran lain. Sehingga setelah selesai membuat beberapa pesanan roti, ia berinisiatif untuk menghibur sang anak dengan makan siang di luar.Sebelumnya, Kara memang cukup jarang mengajak anaknya pergi makan di tempat lain. Selain karena untuk mengirit biaya, Kara juga tak bisa menjamin semua yang disajikan di luar sana bersih dan higienis. Namun khusus siang ini, dirinya akan merubah hal tersebut. Terlebih kini, dirinya juga tak ingin kalah menciptakan kenangan indah untuk sang anak dari Barra."Nah, sudah rapi! Kalau begitu sekarang, ayo kita berangk—"Tokkk! Tokk! Tokkk!"Kara!"Arka langsung mendesah, ketika mendengarnya. Anak kecil itu seketika tak jadi bersemangat
"Om Baik!"Belum sempat Kara memberikan izin, Arka tiba-tiba telah memanggil nama seorang pria yang sedang tak ingin ditemuinya lebih dulu.Tak bisa berbuat apa-apa, dirinya langsung menunduk ketika melihat pria tersebut menoleh dengan cepat. Hingga setelahnya dengan takut-takut ia menatap ke arah Jack, dan segera memberikan sebuah isyarat meminta maaf pada sang calon suami."Maaf!" tuturnya pelan sekali lagi."Tidak apa-apa, Sayang. Namanya juga anak kecil, terkadang kita pasti sulit mengontrolnya," sahut Jack berupaya menenangkan.Meski kini sebenarnya hari pria itu sedang panas karena keberadaan Barra yang amat tiba-tiba di tempat ini, akan tetapi sebisa mungkin Jack menutupi rasa tersebut di hadapan Kara dan Arka. Ia jelas tak mau membuat masalah lagi, terlebih baru saja Kara kembali bersikap normal padanya.Sementara Barra, dirinya tentu dengan senang hati langsung mendekat ke arah suara nyaring nan menggemaskan tersebut. Dan tak hanya itu saja, dua sudut bibirnya yang sedari tad