"Kenapa memperhatikanku seperti itu? Kau sedang mencurigaiku?"Barra akhirnya bertanya, karena sedari tadi ia merasakan sorot mata yang terus mengawasinya. Meski sedang berusaha menghibur Arka yang sedang sakit, akan tetapi bukan berarti ia tak peka dengan sekelilingnya. Pria itu tahu betul kalau sedari tadi Kara memperhatikannya, walau mulut wanita tersebut terus bungkam tak berbicara."Jangan terlalu percaya diri, Barra! Aku sedang melihat anakku sendiri, bukan dirimu!"Pria bermata coklat tersebut terkekeh menanggapinya. "Aku rasa, Arka juga tahu siapa yang sedari tadi kau lihat. Om benar tidak, Arka?"Barra sengaja melempar pertanyaan Arka, hingga membuat anak kecil itu tersenyum malu dan mengangkat dua bahunya tinggi-tinggi. Nampaknya, Arka tak mau membuat dua orang dewasa yang ada di sekitarnya kembali berdebat. Hingga akhirnya ia memilih jalan aman, dengan berpura-pura tidak tahu."Ah, gemas sekali kalau senyum seperti ini!" Barra
"Jangan coba macam-macam, Barra! Kau memang sudah berhasil jauh dari Kara, akan tetapi sampai saat ini kau belum meresmikan hubunganmu dengan Clarissa!"Avaline mencoba kembali memperingati sang anak, dengan netra yang sedikit memicing curiga. Entah apa yang sudah menjadi tujuan Barra saat ini, ia tak bisa menerkanya. Namun ada satu hal yang pasti, sepertinya hal tersebut tak akan terlalu baik untuk keberlangsungan semua rencana yang telah disusunnya sedari dulu."Kalau masalah itu, jawabanku sudah sangat tegas, Mom! Aku tidak akan menikah dengan siapa pun, tanpa adanya perasaan cinta yang aku rasakan sendiri! Jadi aku harap setelah ini, Mommy tidak perlu membuang-buang waktu dan tenaga lagi untuk membahas permasalahan tersebut!"Barra mengatakannya dengan sangat tegas, hingga membuat sang ibu kembali terdiam. Sesaat ia mencoba melirik waktu, dirinya ingin segera pergi. Namun sayang nampaknya wanita yang telah melahirkannya ini sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda ingin keluar."Ja
Barra melangkah turun dari mobil, dengan senyum sumringah yang terpatri di wajah tampannya.Siang ini, pria itu begitu bersemangat. Auranya entah kenapa semakin bersinar, terlebih ditambah dengan terpaan cahaya matahari siang yang sedikit menyinari wajahnya."Sepertinya mereka sudah datang!" Barra bergumam pelan, setelah tak sengaja melihat sebuah mobil yang memiliki plat nomor tak asing dalam ingatannya.Dengan melanjutkan langkah, pria itu kembali masuk ke dalam sebuah restoran besar yang telah dirinya sewa lebih dulu. Barra langsung disambut dengan sangat ramah, sebelum akhirnya diantarkan pada sebuah ruangan khusus yang tentunya terpisah dari para pelanggan lain yang sedang menikmati makan siangnya di tempat ini."Siang!" Pria itu menyapa, membuat dua orang yang sudah lebih dulu sampai menoleh ke arahnya secara berbarengan.Barra berusaha mengabaikan tatapannya yang sempat tak sengaja melihat tangan Kara dan Jack yang sedang bertautan dengan begitu erat. Ia lebih memilih memandang
Jack menawarkan bantuan yang langsung dijawab sebuah anggukan kecil dari Kara.Pasrah, sepertinya hanya itu yang bisa dilakukan wanita itu saat ini. Kara tak bisa memaksakan kehendaknya sendiri, apalagi kini sudah terdapat bukti nyata di hadapannya."Siapkan dirimu, Barra. Karena nampaknya, saat ini kau terlalu berekspektasi tinggi!" Jack menyeringai sedikit sebelum benar-benar membuka surat yang sudah berhasil digenggamnya.Sementara Barra, pria itu hanya membalasnya dengan santai. "Sepertinya yang harus mempersiapkan diri itu adalah kau sendiri, Jack. Karena nyatanya, di sini kau yang tidak tahu apa-apa!"Jack mendengkus seraya kembali melihat ke arah logo rumah sakit yang tertera di depan amplop hasil tes DNA tersebut. Meski sedikit goyah berkat ucapan Barra, akan tetapi ia tetap yakin bahwa dirinya tak salah mengambil langkah.Perlahan, Jack mulai membuka penutup surat yang ada di sana. Ia membukanya dengan sesekali menatap Barra dan Kara secara bergantian, yang mana hal tersebut
"Bunda! Bunda! Arka udah rapi belum?"Anak kecil itu bertanya seraya menatap seluruh pakaiannya. Meski sedikit miring di ujung bajunya, akan tetapi Arka nampak begitu percaya diri. Rambut ikalnya masih nampak sedikit kusut, hingga membuat Kara tak kuat menahan senyumnya saat ini."Sini, bunda rapikan lagi ya? Supaya anak bunda ini terlihat semakin tampan!" tutur Kara pelan seraya menyuruh anaknya untuk semakin mendekat.Arka menurut, dan membiarkan sang bunda merapikan apa yang telah dipakainya. Selain itu, anak kecil tersebut juga terlihat begitu anteng ketika Kara menyisir rambut ikalnya. Sampai akhirnya semuanya terlihat sangat rapi dan sempurna.Cupp!"Nah, kalau begini 'kan anak bunda jadi terlihat sangat tampan!" Kara memuji sang anak dengan kembali melayangkan beberapa kecupan singkat."Terima kasih, Bunda! Arka jadi benar-benar tidak sabar menunggu Om Baik! Nanti Bunda ikut 'kan?" Arka tiba-tiba bertanya dan membuat Kara sedikit lemas mendengarnya.Dengan memaksakan senyumnya,
Detik semakin berlalu, membuat Arka merasa penasaran dengan penuturan Om Baik yang ada di hadapannya. Ia tentu ingin mengulang momen yang amat bahagia saat ini di kemudian hari, sehingga dirinya merasa sangat bingung ketika tiba-tiba dihadapkan dengan sebuah syarat."Om Baik! Apa syaratnya? Arka mau segera penuhi!" ujar anak kecil itu bersemangat."Benarkah?" Barra langsung terkejut mendengar tanggapan Arka."Iya, Om Baik! Arka tadi sudah bilang ke Bunda, kalau nanti Arka mau kumpul bersama dengan Om Baik dan Bunda! Biar nanti kita bisa main bareng!"Barra tersenyum mendengar alasannya, dan segera memeluk anak kecil tersebut setelahnya. Tak lupa ia membubuhkan beberapa kecupan singkat di wajahnya, serta kembali menatapnya dengan netra yang begitu dalam."Baiklah kalau begitu, syaratnya ... Bagaimana kalau setelah ini Arka merubah panggilan Om Baik jadi—""Hey, Barra!"Ucapan Barra tiba-tiba terpaksa terputus, berkat kehadiran sosok lain yang tak disangka. Pria itu mendengkus kesal, ba
Degghh!Jantung Kara seketika berdebar kencang mendengar semua kata-kata Jack. Ia ingin segera berontak, tetapi sayang setelahnya pria itu dengan begitu mudah mengangkat dirinya dan berjalan menuju ke arah kamarnya."Jack! Aku bisa sendiri! Aku tidak butuh ditemani olehmu!" ucap Kara setelah sebisa mungkin berusaha mengumpulkan semua keberanian yang ada.Namun sayang, semua pemberontakannya tersebut nampaknya sama sekali tak berarti apa-apa untuk Jack. Pria itu malah seakan sengaja menulikan telinga, hingga Kara terlihat semakin panik tak karuan ketika dirinya benar-benar sudah memasuki kamarnya sendiri."Jack! Aku mohon jangan seperti ini! Aku bisa melakukan semuanya sendiri! Aku tidak apa-apa ke kamar sendirian!" Kara mencoba melawan kembali, agar Jack tak lagi mengangkat tubuhnya dan terus berada di dalam kamarnya. Jujur, berbagai pikiran buruk kini sudah mulai memenuhi pikiran wanita beranak satu tersebut. Kara khawatir dengan situasi yang sedang sendiri di rumah seperti ini aka
["Maaf! Nomor yang ada tuju, sedang tidak aktif!"]Brukkk!Kara langsung melempar ponselnya ke arah bantal, setelah letih sekian kalinya mencoba untuk menghubungi Barra. Dirinya benar-benar tak tahu harus seperti apa lagi sekarang, terlebih sampai tengah malam seperti ini belum ada sedikit pun kabar tentang sang anak yang didapatkannya."Apa dia ternyata benar-benar tidak ingin mengembalikan Arka? Apa dia ingin mengambil anakku untuk selamanya?" Kara kembali bergumam dengan tetes air mata yang kembali mengalir di kedua sudut matanya. Di malam yang sunyi ini, wanita itu memeluk erat lututnya sendiri. Ia sungguh sangat panik, terlebih sedari tadi selalu saja ada kejadian yang membuat dirinya terguncang. Mulai dari Jack yang tiba-tiba berubah sangat memaksa untuk dekat dengannya, sampai ke Avaline yang terlihat sangat berang dengan kebersamaan Arka dan Barra. Semua kejadian tersebut seolah benar-benar tak ingin membiarkan dirinya bernapas dengan tenang. Haruskah Kara selalu merasa sen