"Maaf, Nav. Maafkan aku," lirih William syarat akan rasa sesal. "Lepaskan!" Navisha mendorong kuat dada tegap William. "Jangan menyentuhku seenaknya. Aku bukan barang milik umum yang bisa bebas kau sentuh!" murka Navisha dengan sorot nyalang."Maaf, Nav. Bukan itu maksudku." William buru-buru membujuk. "Ck, itu saja terus yang kau ucapkan. Bosan aku mendengarnya," sahut Navisha sinis. "Sudahlah, aku tidak ingin membahas apa pun lagi denganmu. Sekarang biarkan aku pergi." Navisha menambahkan seraya bangkit dan bersiap pergi dari ruangan William. Capek dia lama-lama menghadapi sifat pria keras kepala itu. "Nav?" William tak begitu saja mengijinkan. Kembali mencekal lengan Navisha seenaknya. Cekalan itu pun lekas Navisha hela kasar. "Kubilang jangan menyentuhku seenaknya!" murka Navisha. "Okeh! Okeh! Aku minta maaf." William mencoba mengalah. "Tapi, Nav. Kita belum mencapai kesepakatan apa pun," imbuh pria itu semakin kurang ajar. "Sudah kubilang, sampai kapan pun aku tak mau kemba
"Are u crazy!" Sentak William lantang, setelah mendengar syarat pernikahan dari Navisha"Kenapa? Kau takut?" tantang Navisha dengan berani. Tak gentar sama sekali, dengan delikan tajam dan intonasi nada tinggi William. Pria yang pernah memiliki hatinya di masa lalu."Bukan takut, Nav. Hanya saja ...." William terlihat bingung menjelaskan isi pikirannya. Karena dia benar-benar tak menyangka, Jika Navisha-nya sudah sangat berubah sekali saat ini. "Hanya saja apa, Will?" ulang Navisha dengan santai."Hanya saja Aku tidak menyangka, kalau kamu sekarang sangat memuja kekayaan," beritahu William dengan gamang. Takut menyinggung perasaan Navisha.Kiranya, Navisha akan tersinggung, atau mencoba membela diri seperti dulu. Tapi ternyata, Navisha malah melipat tangan di bawah dadanya. Seraya tersenyum miring dengan menyebalkan."Ini bukan perkara memuja kekayaan atau tidak, Will. Tapi aku hanya membalas kau yang seenaknya memanfaatkan putriku untuk egomu. Tidak salah kan kalau aku juga mencari
Navisha meregangkan tubuh setelah berhasil menyelesaikan sebuah pesanan kue custom milik seorang pelanggan. Menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan hingga terdengar bunyi 'krek' dari tulang lehernya. Sumpah, dia lumayan lelah hari ini. "Aida, ini tinggal finishing aja. Tolong kamu handle, ya. Saya mau istirahat sebentar," ucap Navisha pada salah satu chef lainnya di cafe. Aida yang dimintai tolong tidak menjawab. Hanya menaikan dua jempol saja sebagai tanda setuju. Setelah itu, meneruskan pekerjaannya sendiri yang sedikit lagi selesai. Sementara Navisha langsung melepaskan apron dan beranjak keluar dapur menuju pintu belakang. Niat Navisha ingin mencari angin seraya melepaskan penat sejenak. Namun, siapa sangka, di sana ia malah menemukan Naira yang tengah melamun sepertinya."Heh! Ngelamun aja. Kesambet baru tau rasa, lo!" sentak Navisha. Membuat lamunan Naira langsung buyar begitu saja."Sial, lo! Ngagetin aja!" dengkus Naira kesal. Navisha hanya terkekeh pelan melihatnya, "
Beberapa menit setelah Naira pergi, Navisha masih dilema di tempatnya. Antara meminta bantuan William atau tidak usah. Beruntung Raid tiba-tiba menelepon Nissa. Membuat Navisha lega dan tidak harus menelepon William untuk meminta bantuan. "Ya, udah! Pokoknya awas aja kalau sampai Naira kenapa-napa. Tidur di luar kamu satu bulan!" ancam Nissa pada Raid, sebelum menutup panggilannya dengan raut yang masih syarat akan kekesalan. Navisha sedari tadi meringis diam-diam mendengar omelan panjang kali lebar Nissa pada suaminya. Apalagi ketika mendengar ancamannya barusan, Navisha bingung harus kasian atau tertawa untuk nasib Raid."Gimana?" tanya Navisha memberanikan diri."It's okey, Nav. Laki gue udah turun tangan." Meski tadi menggebu mengomeli suaminya dari balik telepon. Namun, kelegaan pun dapat Navisha lihat dari sorot mata Nissa kini. "Alhamdulilah ... semoga Raid bisa cepet nyusul Naira, ya?" Navisha berdoa dengan tulus. "Uhm ... kalau itu kayaknya gak bisa deh, Nav. Soalnya laki
Navisha membuka, lalu menutup mulutnya dengan ragu. Begitu saja terus sampai beberapa saat. Saking syoknya, ia sampai bingung harus berucap apa pada kegilaan William. Pria ini gila. Sungguh! Bagaimana bisa dia melakukan ini? Padahal Navisha kan hanya ...."Will, kamu--""Sshhtt ..."Huft ... Navisha membuang nafas panjang akhirnya, saat melihat William meringis kesakitan sambil memegang perutnya. Pria pemilik rahang tegas itu memang terlihat kesakitan sekali saat ini."Sudahlah, kita bicarakan nanti. Ayo masuk dulu." Navisha pun memutuskan mengabaikan kegilaan William. Karena memang kondisi pria itu lebih penting saat ini. "Tapi ... kamu sekarang sudah mau kan, menikah denganku."Tuhan ... pria ini benar-benar, ya?"Kita bahas itu nanti, Will. Sekarang ayo masuk. Aku bantu kamu obati lukamu.""Tapi, Nav--""Will?" sergah Navisha gemas. "Kondisi kamu sekarang sedang begini, loh. Jangan bandel, bisa gak sih? Pernikahan kan bisa kita bicarakan nanti. Besok atau lusa gitu, loh. Pokoknya
Pagi itu William terbangun oleh aroma masakan yang membuai indra penciumannya. Bau masakan yang sepertinya enak itu juga menggoda perutnya yang dari semalam memang tak sempat ia isi. Alhasil, perut itu pun kini mulai berdemo minta di beri haknya. Mata yang sebenarnya masih teramat mengantuk pun sudah tak bisa tenang lagi untuk terpejam. Perlahan, mata itu mengerjap dan mencoba membiasakan dengan cahaya yang mulai masuk ke netranya. Di mana ini? batinnya bertanya saat menemukan langit-langit ruangan yang terasa asing untuknya. Ia lalu mengerjap lagi, sambil mencoba mengingat di mana kiranya ia saat ini. Ah, iya. Ini pasti rumah kontrakannya Navisha. Semalam bukannya dia memilih pulang ke sini dari pada apartemennya, sepulangnya ia dari rumah sang kakek di luar kota. Ya, dia ingat belum pulang lagi dan malah minta ijin tidur di sini. Setelah ingatannya kembali. William pun bangun dan meregangkan tubuh yang terasa kaku. Rasa nyeri masih terasa di beberapa bagian tubuhnya. Terutama per
"Uhm ... Papa belum bisa janji untuk saat ini, Nak. Doain aja urusan papa cepet selesai dan kita cepet bisa tinggal bareng, ya?" William mencoba menjawab dengan bijak. Sambil sesekali melirik Navisha yang masih terlihat acuh. Meski begitu, dari gerak tangannya yang melambat, ia tahu Navisha sebenarnya tak sepenuhnya abai pada ucapan sang anak. William berharap, Navisha tidak keras kepala lagi."Iya, Pa. Angle doang semoga urusan Papa cepet selesai. Biar Papa bisa sama Angel dan mama terus. Angel gak mau jauh dari Papa lagi. Mama juga pastinya, iya kan, Mah? Nanti gak usah diem-diem nangis karena kangen Papa lagi."Uhuk!Sejurus kemudian, Navisha pun tersedak makannya sendiri. Ucapan Angel barusan berhasil membuatnya luar biasa malu. Dia tercyduk, Gaes!Sementara itu, William yang juga sempat terkejut barusan dengan informasi yang di berikan Angel, kini sudah menaikan sebelah alisnya sambil mengulum senyum menatap Navisha. Meski begitu, tangannya sudah cekatan menyodorkan segelas air
Akhirnya, drama pagi ini ditutup dengan William yang bersikukuh ingin ikut acara sekolah Angel hari ini. Meski Navisha sudah menjelaskan akan sulit untuk tambah orang karena acaranya memang sudah di jadwalkan dua bulan lalu. William tetap ngotot. Mau tak mau, Navisha pun menelepon guru Angel untuk menanyakan kemungkinan seat yang masih kosong. Dan jawabannya adalah .... tetap tidak ada!William sih ngeyel. Dibilang susah juga masih aja keukeuh. Navisha jadi pusing kan ini jadinya. Menghadapi kerewelan Angel yang tetap ingin sang Papa ikut dan keras kepala William yang keinginannya sama. Dikata sekolah milik sendiri apa."Ya udah, kamu nyusul aja pake mobil sendiri," final Navisha akhirnya. "Nggak boleh!" Angel yang menolak. "Nanti kalau di mobil Angel dinakalin Novan sama Rafif, gimana?""Kan ada mama. Nanti Mama yang belain kamu.""Nanti mamanya Novan sama Rafif ikutan nakalin Mama, gimana?"Tuhaann ...."Ya udah, kalian ikut mobil Papa aja!" Itu keputusan William. "Jangan!" Angel