Ucapan Raid hari itu di rumah sakit membuat Navisha tak bisa tidur beberapa hari akhirnya. Ia resah, sekaligus bingung menanggapinya. Menikah? Iya, benar. Navisha memang harus segera menikah demi membuat Gerald tak bisa mengusik hak asuh Angel lagi. Faktanya, setelah laporan tuntutannya di tolak tentang pengambil alihan hak asuh Angel darinya. Kini pria itu melaporkan Navisha atas penculikan anaknya, sekaligus banding akan laporan sebelumnya. Konyol, memang. Pria itu sungguh tak menghargai sama sekali pengorbanan Navisha yang mengurus Angel dari bayi merah, sampai saat ini. Navisha bahkan harus kehilangan banyak hal demi Angel. Termasuk masa remajanya. Kini, Gerald malah seenaknya melaporkannya dan hendak mengambil Angel. Oh, tentu tak akan Navisha biarkan. Sebenarnya, Navisha tidak pernah takut akan semua hal yang Gerald lakukan. Ia sangat yakin, pria itu tak bisa mengambil Angel dengan mudah darinya. Meski sendirian, Navisha punya pekerjaan yang gajinya sangat cukup membiayai mer
"Oh, ya? Buktikan kalau begitu. Tapi perlu lo tahu, kalau sekarang gue sudah punya bukti valid. Tentang lo yang sebenarnya bukan siapa-siapa Angel." Senyum Gerald semakin culas. "Gue ... punya bukti kalau lo sebenarnya bukan ibu kandung Angel."Degh!Navisha seketika menegang dengan otak yang turut blank. Jantungnya seakan ingin meloncat saking terkejutnya dengan pernyataan Gerald barusan. Itu ... bagaimana Gerald mendapatkan bukti tersebut?Ttiiiinnnn!Di sela kebingungan dan ketakutan yang Navisha rasakan. Ia merasa beruntung sekali melihat sebuah mobil berhenti tak jauh dari sana, setelah sebelumnya menginterupsi keduanya dengan bunyi kelakson nyaring dan panjang seolah memang sengaja meminta atensi.Apalagi, tak lama setelahnya Navisha juga menemukan William turun dari mobil tersebut, dan berderap cepat menghampirinya. Syukurlah ...."Jauhkan tangan lo darinya, Gerald!" geram William dingin. Menyentak kuat tangan Gerald dari Navisha dan mendorong pria itu. Setelahnya, memasang bad
"Ck!" William berdecak pelan melihat Navisha menyemburkan minumannya sampai tumpah ke mana-mana. Memutar badan sedikit, lalu meraih tissue kering dan menyodorkannya pada gadis itu. "Ceroboh," gumamnya kemudian. Navisha mendelik kesal ke arah William. Tak terima sama sekali dengan keluhan pria itu. Seakan Navisha salah saja. Padahal, dia kan sampai begini karena ulahnya yang memberikan melamar dadakan seperti tadi.Eh, tadi William ngajakin Navisha nikah, kan? Itu berarti William memang baru saja melamarnya, kan?"Kamu juga, sih. Ngapain sih ngagetin aku kayak tadi." Navisha menggerutu seraya membersihkan mulutnya, kaos yang tengah ia pakai dan celana bagian pahanya. Tak lupa dashboard mobil yang juga kena semburannya. "Aku gak ngagetin, kok," elak William, sama tak terima di salahkan. "Kamu ini, kenapa suka sekali menuduh sembarangan."Delikan mata Navisha semakin melebar mendengar sahutan William yang seringan awan. Menuduh sembarangan katanya? Jelas-jelas dia ya .... saking geramn
"Untuk ancaman Gerald, aku bisa menyuruh anak buahku mencari bukti yang dia maksud dan menghancurkannya. Tapi aku yakin itu tetap tidak akan membuat dia jera. Seperti yang sering aku katakan, jalan satu-satunya kamu memang harus segera menikah dengan William."Navisha mendengkus kasar kala lagi-lagi Raid membujuknya untuk menikah dengan sang mantan terindah rasa mimpi buruk. Dia jadi penasaran kalau Raid sudah di sogok sesuatu oleh pria itu, hingga getol sekali menjodohkannya. "Gue setuju, Nav. Gue lihat-lihat dia juga gak seburuk yang pernah lo ceritain. Kenapa sih, lo gak mau kasih dia kesempatan?" Setali tiga uang, istri Raid pun menimpali. Mendukung sangat ide sang suami. Kan, Navisha jadi makin curiga ini. "Ini gak semudah yang kalian kira," desah Navisha berat. "Apa susahnya? Bukankah tinggal buka hati saja, Nav? Gue lihat lo juga masih ada rasa kan sama dia?" Nissa kembali membujuk. Navisha hanya memijat keningnya yang mendadak pening. Sungguh, ulah Gerald kali ini benar-b
"Taarraaa ...."Alis William naik satu sisi, kala menemukan kehadiran Navisha di depan pintu rumahnya dengan senyum lebar dan tangan terangkat satu. Memperlihatkan sebuah paper bag yang dibawanya. "Mau apa?" tanya pria itu datar. "Tadi aku bikin egg tart fruty sama puding coklat. Bikinnya sengaja banyakan. Soalnya aku inget kamu suka banget kan sama kue itu," jawab Navisha riang, seraya masuk membawa tentengannya ke dalam rumah tanpa menunggu ijin sang pemilik.Gadis itu bahkan langsung menuju dapur dan membuka kulkas, memindai isinya dan mencari spot untuk menaruh puding yang ia bawa. Bener-benar berlagak seperti pemilik rumah itu. William sendiri hanya mengekori di belakang, dan memperhatikan apa pun yang di lakukan gadis itu dalam diam. Namun, wajahnya tak menampilkan ekspresi apa pun. Hanya datar. "Mau cobain, gak?" Navisha mengambil satu kue yang ia bawa. Lalu menyodorkannya pada William. Sebagian sudah ia tata di dalam kulkas, sebagian lagi ia taruh ke sebuah piring."Nanti
Hari ini Navisha libur. Itu berarti waktunya ia menemani Angel seharian. Biasanya, Navisha akan mengajak Angel main di arena permainan, atau sekedar mengajak anak itu jalan ke taman. Akan tetapi karena hari ini juga adalah awal bulan, Navisha pun memutuskan untuk mengajak Angel belanja ke supermarket terdekat. Kebetulan stok kulkas mereka sudah kosong. "Mama, mau ini, boleh?" Navisha tersenyum dan mengangguk riang saat putrinya mengangkat sekotak wafer coklat. Bagaimana Navisha bisa menolak jika Angel memintanya dengan raut imut dan mata berbinar begitu. Lagi pula hanya coklat ini. "Boleh. Tapi nanti makannya bertahap, ya? Jangan sekaligus. Tahukan kalau kebanyakan makan-makanan manis akan apa?" Navisha menjawil hidung putrinya gemas."Sakit gigi!""Nah, Angel pinter," puji Navisha bangga. "Kalau begitu, sehari bolehnya berapa coklatnya, Mah?" tanya sang putri lagi. "Uhm ...." Navisha pura-pura berpikir. "2, gimana? Siang sama sore? Okeh, kan?""Okeh!" seru Angel setuju. "Sip!"
"Lo lagi ngelawak ya, Rit?" tukas Navisha sambil menggeser belanjaan milik Rita dari miliknya. "Ya, kali, ah. Gue bayarin punya lo," imbuhnya kemudian."Kenapa emang? Cuma dikit ini. Gak usah pelit gitu, dong.""Dikit mata lo siwer?" tukas Navisha sengit akhirnya karena terlalu gemas dengan Rita. "Satu keranjang itu. Dikit di mananya, coba?!" imbuhnya lagi dengan sinis.Bodo amat orang-orang akan mengatainya judes atau galak. Siapa suruh si Rita ngelunjak. Gak di kasih hati aja minta jantung, coba. Apa lagi di kasih hati, minta apa dia? Minta rumahnya sultan andara kali. "Elah, dikit ini kalau buat gue. Biasanya gue belanja lebih banyak dari ini.""Sakarep lo dah Rit. Mau banyak, kek. Dikit, kek. Pokoknya gue gak mau bayarin!" final Navisha.Mata Rita makin membola. Kaget mungkin karena Navisha melawan sinis. Biar saja, biar dia tahu kalau Navisha yang ada dihadapannya sekarang ini bukan Navisha yang dulu. Yang meski melawan, tapi ujung-ujungnya mengalah dan menangis. Oh tentu sekara
Navisha memperhatikan interaksi Angel dan William di arena permainan dalam diam. Hatinya dilema luar biasa saat ini. Satu sisi ikut senang dan terharu melihat kebahagiaan Angel yang tak pernah ia liat selama ini. Namun di satu sisi hatinya lagi, ia tak ingin terjerat sang mantan yang sudah sangat menyakitinya. Navisha galau. Harus bagaimana sekarang? Mengalah demi Angel, yang itu berarti kembali mengulang kisah lama yang mungkin saja akan berakhir sama. Atau mempertahankan egonya, yang berarti akan mengecewakan dan menyakiti hati sang putri yang baru saja menemukan sosok ayah. Apa? Apa yang harus ia pilih? Sungguh pilihan sulit. "Haahhh ... ternyata main sama anak kecil lumayan melelahkan, ya?" keluh William, saat akhirnya bisa meninggalkan Angel bermain sendiri di arena mandi bola, dan menghampiri Navisha. Wajah pria itu syarat akan rasa lelah. Navisha meringis tak enak hati di tempatnya. Bagaimana pun ia tahu putrinya memang luar biasa aktif. Navisha saja sering kewalahan kalau s