“Kau mau lamar kerja?” tanya seorang petugas keamanan saat melihat pria 28 tahun itu melangkah penuh semangat.
“Iya, saya mau lamar kerja! Apa perlu bikin surat lamaran?”
“Eh! Tidak usah!” petugas itu lalu menyodorkan selembar kertas formulir untuk diisi. “Ini bolpoinnya. Isi aja, nanti aku yang antar ke HRD!”
“Segampang itu?” Jaka tak menyangka akan mendapatkan kemudahan di awal. Biasanya untuk melamar kerja dia harus membawa selembar surat dengan tulisan tangan yang rapi dan beberapa kelengkapan lain, tapi disini semua terbalik.
Ini!
Jaka menyodorkan formulir itu dan diterima dengan senyuman oleh petugas keamanan.“Baik! Sambil nunggu hasil kamu boleh ambil rokok sepuasmu!” tunjuk pria paruh baya itu ke arah meja yang terdapat rokok berbagai merek.
“Enak amat!” celetuk Jaka lalu tersenyum.
“Kerja di sini itu enak, cuma sayang jarang banget orang yang mau ngisi posisi di sini!”
“Oh, ya!”
“Sudah, sambil nunggu silahkan ngerokok dulu. Ada kopi juga di meja itu!”
Jaka hanya mengangguk lalu mengambil sebatang rokok yang segera dia nyalakan sedang petugas keamanan berjalan tegak menuju ruang HRD yang akan menentukan nasib Jaka selanjutnya.
Setelah menghabiskan sebatang rokok petugas keamanan kembali dengan senyuman. Dia lalu mengulurkan tangan membuat Jaka mengernyitkan keningnya.
“Selamat!” ucapnya singkat.
Hah!
Doa Jaka terkabul dia diterima kerja di posisi yang dia lamar.
Gampang!
Hanya itu yang ada di kepala pria tampan ini. Tentu ini tak sebanding dengan keraguannya selama ini yang membuatnya tak pernah mau bergerak untuk melamar pekerjaan.
Pekerjaan ini sangat menyenangkan, Jaka tidak bermodalkan apa-apa. Kendaraan, bahan bakar, dan segala macamnya sudah disiapkan. Dia juga dapat uang makan dan pastinya bonus jika pekerjaannya selesai tepat waktu. Jadi dia tinggal berangkat dan menerima upah. Sungguh pekerjaan impian semua orang.
Setelah yakin diterima, Jaka kemudian bertemu dengan Danu, kepala gudang yang akan mengatur keberangkatan Jaka setiap hari. Danu pria 40 tahun yang ramah dan selalu memotivasi Jaka untuk menerima pekerjaan ini meski sesekali Jaka masih saja terlihat ragu.
Hari pertama Jaka sebagai supir peti mati akan dimulai pagi ini. Roro yang kini tengah hamil besar tidak berhenti tersenyum sejak subuh. Dia sangat puas karena suaminya mendapatkan pekerjaan. Sesekali bayi dalam perutnya diusap dan ditepuk pelan. Wanita itu menjanjikan bubur dan pakaian bagus pada anak pertamanya tersebut.
"Jaka, tolong antarkan peti mati ini ke rumah duka. Alamatnya di Malang. Untuk alamat lengkapnya akan saya tuliskan." kata Danu dengan ramah.
Danu yang rampung menuliskan alamat lengkap pada selembar kertas itu kembali menghadap Jaka. Jaka yang langsung menerima kertas tersebut manggut-manggut. Rupanya Jaka familiar dengan Kepanjen, tempat tujuan Jaka hari ini. Barangkali hanya memakan waktu satu jam dari Lawang, tempat pabrik ini berdiri.
"Baik, Pak. Setelah ini akan langsung saya antarkan."
Danu mengangguk sembari menyerahkan kunci mobil pengantar peti mati. Lantas Jaka diminta untuk memanaskan mesin sembari menaikkan peti tersebut ke atas mobil.
“Ini bayaranmu!” tegas Danu lalu menyodorkan amplop putih tebal ke arah Jaka.
“Saya langsung dibayar?” Jaka berlaga sungkan padahal sebenarnya dia girang bukan kepalang.
“HRD dengar istrimu sedang hamil. Jadi aku bayar kamu sebelum berangkat, jadi kamu bisa langsung pulang setelah antar peti!”
“Alhamdulillah! Terima kasih, Pak!” Jaka mencium punggung tangan Danu berkali-kali.
Betapa tidak, meski belum menghitung jumlah uang dalam amplop Jaka sangat yakin jumlah uang ini lebih dari yang dibayangkan.
Seusai mobil dipanaskan, Jaka langsung pamit pada Danu dan bergegas untuk berangkat. Mobil dikemudikan dengan kecepatan konstan menuju kota. Sepanjang perjalanan itu Jaka tidak berhenti bersenandung. Mengapa tidak dari dulu saja dia bekerja sebagai pengantar peti mati? Pekerjaan ini mendatangkan untuk yang begitu besar.
Jaka menginjak rem perlahan mengikuti rambu lalu lintas. Cahaya lampu lalu lintas yang berwarna merah itu kemudian berganti warna kuning. Sekian detik usai itu kendaraan dari belakang berlomba-lomba menyerukan klakson. Rambu berganti hijau.
Jaka yang hendak meningkatkan kecepatan mobil seketika merasakan sesuatu yang aneh dari arah belakang. Bukan! Bukan dari pengendara lain di belakangnya. Akan tetapi, dari arah peti mati yang dia bawa.
"Anakku sayang, malang sekali nasibmu!"
Suara seorang wanita dengan nada bergetar membuat tengkuk Jaka merinding. Suara itu seolah-olah menggema, menubruk pendengarannya. Usai itu suara tangis mengalun panjang dan semakin lama volumenya meninggi.
“EH!” Jaka yang penakut nyaris tidak fokus. Sembari meningkatkan kecepatan mobil, lelaki itu menggigit bibir takut. Seumur-umur dia hampir tidak pernah merasa horor seperti ini.
Tangisnya mengalun merdu. Berbaur dengan suara khas wanita yang ditahan. Sesekali suara itu sesenggukan. Hingga kemudian tangisnya pecah sudah.
"Tolong kami! Tolonglah anakku yang malang ini!"
Lagi! Suara itu semakin jelas terdengar. Tangan Jaka yang sibuk memutar kemudi bergetar hebat. Berulang kali dia menyakinkan dirinya sendiri bahwa suara itu hanya halusinasi. Meski hati Jaka tidak mampu menyangkal. Ya, suara itu ada!
Jaka tidak mampu menoleh ke belakang. Sendi-sendi lehernya seketika kaku. Kakinya lemas, nyaris mati rasa. Kalau saja keterampilan berkendaranya tak sempurna, mobil itu mungkin sudah oleng.
Jaka terpejam sedikit lebih lama sebelum memberanikan diri melihat kaca mobil. Di belakang tidak ada siapa-siapa! Tangis itu tidak lagi terdengar. Ucapan seorang wanita yang berulang kali menyebut sang anak seketika berhenti. Gemuruh dada Jaka semakin tak karuan.
Jantungnya berdetak lebih kencang dan dia semakin sesak. Keringat dingin bercucuran. Selintas dia berpikir, 'Apakah aku akhiri saja pekerjaan ini?'
Ini adalah tugas pertamanya sebagai seorang pengantar peti mati. Akan tetapi, kejadian semacam ini sudah langsung membuatnya menciut.
Namun, mengingat upahnya yang cukup besar membuat Jaka berpikir berulang kali. Apakah dia harus melanjutkan perjalanan ke Malang atau balik putar pulang ke rumah?
Jelas! Jika dia pulang sekarang, Roro akan marah habis-habisan seperti sebelumnya. Jaka sudah malu bukan kepalang kalau Roro meributkan perkara uang. Sembari mengumpulkan keberanian, Jaka membanting setir belok kiri menuju jalan satu arah.
Jaka berusaha mengalihkan perhatian dari suara-suara yang mengganggunya itu. Uang lima ratus ribu yang diiming-imingi Danu berharap bisa mengalihkan hawa-hawa negatif yang menghampirinya. Dia mencoba mengumpulkan keberanian, berharap waktu tiga puluh menit itu bisa dipangkas jauh dan dia langsung melesat sampai ke tempat tujuan. Jaka tidak menyangka peti mati ini rasanya sangat horor.
"Siapapun kau, tolong selamatkan Laras-ku!"
Deg!
Jaka mengerem mobilnya secara mendadak. Injakan rem itu terlewat kuat hingga mobil di belakangnya memencet klakson terlewat kencang. Jaka terlonjak kaget.
Suara wanita yang beberapa waktu lalu menyingkap pendengarannya kembali singgah. Kali ini suara itu terdengar semakin jelas dan menyeramkan. Hawa mencekam kembali mengurung Jaka. Seisi mobil mendadak horor.
“Astaga!” bisik Jaka ketakutan.
Tangis sesegukan terdengar semakin kencang. Telinga Jaka seperti bergetar, ingin menolak suara itu merasuki otaknya. Dia kembali memejamkan mata, sedangkan suara klakson semakin ramai menegurnya.Jaka menarik napas dalam-dalam. Bayangan tentang Roro yang akan marah besar bila ayam potong dan beras itu tidak dapat dibelikan menggerayangi otaknya. Di samping itu, dia memikirkan tentang keadaan anaknya. Kalau sampai pada titik Roro harus bersalin dan dia belum mendapat uang sama sekali, Jaka tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Dia akan menjadi pria paling gagal dalam memperjuangkan keluarganya.Jaka memungut kembali serpihan-serpihan keberanian yang tercecer dan kembali menyalakan mesin mobil. Dia melanjutkan perjalanannya menuju tempat tujuan. Terlepas dari rasa takut yang menyerangnya dan keinginan mendapatkan uang lebih cepat, ada amanah dari Danu yang harus dirampungkan.“Sedikit lagi Jaka! Sedikit lagi!” bisiknya menyemangati diri.Jaka mempercepat laju mobil begitu sampai di
“Kenapa, Mas?” tanya Bowo sambil terkekeh. “Ah! Nggak!” jawab Jaka sok berani. Dia sebenarnya takut bukan main tapi bukan Jaka anaknya Pak Gunawan kalau dia harus terlihat penakut di depan teman kerjanya.“Kalau gak ada apa-apa kita sarapan dulu aja!” lanjut Bowo.Roti basah yang dibekalkan Roro dari rumah ludes sudah. Jaka langsung membuang bungkusnya dan segera menandaskan secangkir kopi yang disiapkan Danu. Bowo juga ikut menghabiskan kopi jatahnya lantas memeriksa mobil."Saya Jaka. Pekerja baru yang katanya bakal nganter peti mati bareng Bowo."Bowo mengangguk. "Wah, kamu masih keliatan muda banget. Salam kenal, saya Bowo yang bakalan jadi kernet kamu hari ini," jawabnya sembari tersenyum.Keduanya sudah siap untuk berangkat. Usai memasuki mobil, mereka langsung mengenakan sabuk pengaman. Gas ditarik pelan dan mobil berhasil memotong jalan, menyusul kendaraan lain yang lewat.Perjalanan pagi ini masih cukup lancar. Belum banyak kendaraan yang berlalu lalang. Matahari pun belum m
Seketika Jaka menelan salivanya. Pikiran buruk kembali hadir. Nama-nama saudara Ayah dan pada karyawan itu berbaur dengan sekian banyaknya keluarga Ibu. Kembali Jaka ingin kenangan tentang satu per satu keluarga Ibu. Termasuk Rani.Kalau bukan keluarga Ayah yang berbuat jahat, tidak ada opsi selain keluarga Ibu. Kini pertanyaan Jaka menjadi sangat kompleks.'Apakah keluarga Ibu yang membunuh Ayah dan merampas semua harta Ayah?'Jaka bergegas mengantarkan peti mati tersebut dengan kecamuk pikiran buruknya. Dia terus mencari korelasi yang tepat tentang peran penting keluarga Ibu di tengah kebangkrutan perusahaan Ayah.'Apakah kematian Ibu dua tahun yang lalu membuat mereka merasa bebas dan semakin semena-mena dengan keluargaku?'Jaka berceloteh dalam hati, menafsirkan apa pun yang sekiranya bisa memecah kebisingan dalam benak.Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk sampai ke alamat tujuan. Jaka langsung tahu di mana persisnya rumah yang dimaksud Danu.Jaka langsung memberhentikan mobil
"Ngomong apa kamu, Ka? Aneh! Kamu pikir aku nggak bisa marah sama kamu karena tuduhan ini?" kesal Irwan pada Jaka yang begitu berani di hadapannya. "Apa karena kamu jatuh miskin kamu jadi minim ahlak?" Jaka menatap nanar ke arah Irwan yang begitu marah di depannya. Dia sadar saat ini dia tidak punya dasar untuk melanjutkan perdebatan yang pasti akan jadi panjang kalau dia lanjutkan."Sudah, kalau kamu tidak mau ribut sama aku, pergi aja sana. Kita hidup masing-masing, jangan saling ganggu toh perkataanmu itu nggak mungkin ada buktinya," Irwan berbisik penuh penekanan sambil menatap tajam ke mata Jaka yang memang dia yakini berbicara tanpa dasar.Irwan lalu menunjuk ke arah pintu keluar dengan senyuman licik seakan mengusir putra yang kini sudah tidak berharta. "Aku akan kembali," bisik Jaka dengan tatapan perlahan meredup. "Aku akan cari bukti untuk seret kamu dari sini,""Ok, cari saja. Kalau kamu bisa dapat, aku akan pergi dari sini dan mengembalikan semua harta yang kamu tuduhkan
Jaka kembali melanjutkan harinya sembari terus mengingat apa yang dikatakan Roro padanya, dia harus mulai melupakan keinginannya membalas dendam ayahnya demi keselamatan keluarga kecilnya. Bukan tanpa alasan Roro meminta itu pada suaminya, bagi wanita sederhana itu memang Jaka berhak untuk memenuhi permintaan ayahnya yang sudah tiada, tapi melawan keluarga kaya suaminya yang memiliki uang dan kekuasaan adalah hal konyol yang bisa saja membuat mereka justru terjerumus dalam jurang kesulitan yang lebih besar. "Memang Bang Irawan itu polisi, Ro," lanjut Jaka malam harinya. "Duh, kalau ingat kemarahanku tadi, aku jadi takut kalau dia... " Roro yang biasanya pemarah malam itu malah terlihat tenang, dia tau kemarahannya tidak akan merubah apapun saat ini. Dia hanya memandangi wajah Jaka yag terus tergiang wajah ayahnya yang memintanya menuntut balas. "Kalau dia apa?" tanya Roro setelah anak kata Jaka tidak berlanjut. "Ya, seperti yang kamu bilang tadi," "Sudah, Mas. Yang penting sekaran
Jaka melangkah cepat mengikuti Danu yang terlihat tidak mau sampai terlambat menemui tamu tidak diundangnya."Bapak siapa, ya?" tanya Danu datar saat tiba di depan Irawan yang berseragam lengkap dengan bintang tanda jasa di bahunya. Saudara Jaka itu langsung tersenyum sinis melihat Jaka yang berdiri di belakang Danu dengan wajah menunduk malu.Jaka sungguh tidak menyangka jika identitasnya akan segera terbongkar oleh Irawan yang akan semakin merendahkannya."Oh, jadi kamu sekarang kerja di sini? Kasihah," ledek Irawan lalu meninggikan dagunya begitu sombong. "Jadi anak orang kaya sekarang kerja di sini? Hehehehehe,"Jaka masih menunduk, dia tidak tau harus marah atau senang mendengar perkataan Irawan yang begitu merendahkannya."Pantas saja kamu begitu marah sampai nuduh-nuduh aku yang bukan-bukan. Ternyata kamu...""Ada apa, ya, Pak?" tanya Danu dengan sopan. "Bapak tidak datang untuk menghina pekerjaan kami, kan?""Hey, aku tidak ada urusan sama kamu!" bentak Irawan membuat Danu be
"Jaka, cepatlah! Dia butuh kamu ke sana sekarang," teriak sosok Rani, salah seorang kerabat Jaka yang sempat ditemui Jaka saat mengantarkan peti jenazah."M..." Belum sempat Jaka memanggil sosok itu, tanggannya sudah lebih dulu meraih surat jalan di meja Danu lalu memutar badannya menuju mobil pick up yang sudah berisi muatan sebuah peti mati cantik berwarna putih."Mas! Mas!" panggil Bowo yang harusnya menemani Jaka hari ini."Eh," Jaka yang sudah menyalakan menis mobil untuk siap meluncur mengeluarkan kepalanya lewat kaca jendela untuk memihat Bowo di bagian belakang mobil."Mau kemana? Aku kok ditinggal," keluh Bowo sambil menggaruk tengkuknya."Maaf, aku lupa," Jaka membuka pintu samping mobil pick up itu mempersilahkan kernetnya duduk di samping sebelum Jaka kembali menyalakan mobil."Kenapa buru-buru?" tanya Bowo merasa aneh. "Memangnya kita mau ke mana?" "Itu," tunjuk Jaka pada surat jalan yang ada di atas dastboard. Kernet muda itu meraih surat jalan yang ditunjuk Jaka kemud
"Aku tidak percaya dia sejahat itu," lirih Jaka sambil menghela nafas berat. Kabar yang disampaikan Rani sungguh menyesakkan dadanya, terlebih karena dia dan keluarganya tidak pernah mau mempercayai hal mistis, gaib atau apapun namanya apa lagi yang membutuhkan tumbal.Bowo bukan tidak mendengar perkataan temannya, tapi dia tidak mau mengganggu Jaka yang kini sedang berbincang dengan mahluk gaib di sebelahnya.Mata Bowo menangkap kehadiran Rani, namun karena dia merasa ini urusan Jaka, dia pun memilih untuk diam."Itu rumahnya," tunjuk Bowo setelah tiba di belokan terakhir menuju Jalan Ijen, Kota Malang."Iya, aku tau. Aku pernah kesana,"Bowo hanya mengangguk pelan sambil memarkirkan mobil setelah dia melambai ke penjaga gerbang rumah besar itu.Jaka membuka pintu untuk turun, Tapi belum sampai kakinya menatap tiba-tiba Bowo menarik tangan suami Roro itu lalu menggeleng."Apa?" tanya Jaka tidak mengerti."Mas di mobil aja, kalau Mas turun aku takut mereka curiga," bisik Bowo lalu m