"Aku nggak mau tau, Mas! Pokoknya hari ini kamu harus dapet kerja!"
Petak rumah persegi yang cukup sempit itu tidak pernah sepi. Gema suara Roro terus mengalun hingga sang suami frustasi sendiri. Barangkali para tetangga pun tidak berhenti mendengar pembicaraan mereka.
Pasalnya, Jaka—suami Roro belum mendapatkan pekerjaan semenjak jatuh miskin. Waktu pria itu habis hanya untuk tidur, menonton televisi, dan main catur bersama para tetangga di warung.
Jaka masih mencoba mengusap punggung Roro, meminta wanita itu untuk tenang. Dia malu kalau seisi kompleks perumahan kecilnya itu mendengar bentakan Roro setiap hari.
"Sabar, Neng. Aku juga masih berusaha nyari kerjaan. Kamu doain aku dong. Jangan malah dibentak-bentak kayak gini."
Jaka beralih mengusap perut buncit Roro dan mencoba memeluknya. Akan tetapi, wanita itu malah menepis. Tatapan tajamnya sungguh sadis. Hingga di detik itu Jaka menciut dan memilih mundur sedikit jauh dari wanita itu.
"Sabar-sabar! Dari dulu tetep aja disuruh sabar! Mas, anakmu ini mau kamu kasih makan apa kalo kamu terus-terusan nggak dapet kerja? Mau kamu kasih makan rumput?"
Bunga desa itu sedang mengandung anak pertama mereka. Sekarang kandungannya berusia delapan bulan. Makanya wajar kalau dia marah melihat suaminya yang lebih senang rebahan ketimbang cari kerja. Semenjak digusur ke rumah kecil yang Roro pikir lebih pantas disebut gubuk ini, Jaka tidak pernah mencari nafkah lagi. Seolah-olah pria itu pasrah saja hidup mereka digerus kemiskinan.
Jaka yang mulai panas mendengar omelan istrinya mendengus. Dia melangkahkan kakinya menuju meja makan dan membuka tudungnya sejenak. Rupanya tidak ada makanan sama sekali. Kemudian dia beralih melihat galon di sudut ruangan. Dia mengacak rambut frustasi. Kerut dahinya pertanda putus asa itu terlihat jelas. Bahkan air galon pun hampir terkuras habis.
"Iya, Neng. Aku tahu. Kemarin aku juga sempet ngeliat brosur pekerjaan. Katanya perusahaan lagi rekrut orang besar-besaran buat jadi supir di pabrik. Ya nggak mungkin dong aku terima. Coba, siapa yang mau kerja jadi supir di pabrik!" Jaka bertanya sekaligus menjawab sembari mendudukkan tubuhnya di kursi kayu kecil dekat jendela.
"Ya kamu lah! Siapa lagi?"
Lagi-lagi bentakan itu menggema. Putus sudah urat malu Jaka. Pagi, siang, dan malam Roro terus saja berbuat kegaduhan. Kalau bukan masalah pekerjaan, dia sibuk mendebat masalah kehamilannya.
Jaka tidak akan pernah mau kalau diminta bekerja di pabrik. Baginya itu pekerjaan rendahan. Sebelum digusur di rumah sempit ini, dia adalah anak Pak Gunawan yang terkenal konglomerat. Bisnis ayahnya pernah melambung tinggi. Pak Gunawan merupakan seorang pebisnis terkenal yang pernah dinobatkan sebagai CEO paling berpengaruh dan menginspirasi di Jawa Timur.
Sewaktu kecil dulu main balap karung bukan kesukaan Jaka. Alih-alih ikut anak-anak kampung main balap karung atau lempar kelereng, dia memilih mengajak mereka main PS di rumahnya. Menginjak dewasa Jaka tidak pernah pusing masalah uang jajan habis atau keperluan belajarnya tidak terpenuhi.
Semenjak Pak Gunawan meninggal dan keluarganya berpisah entah ke mana, Jaka harus menyambung hidup di kompleks perumahan kecil semacam ini. Kini yang adalah konflik utamanya. Roro tidak segan-segan memukul kalau dia pulang dan masih saja membawa tangan kosong.
Pasti berakhir Jaka berhutang makanan di warung depan. Kalau pemilik warung tidak meladeni Jaka sembari menatap sinis, ya mengomel hingga Jaka pergi dari warungnya dengan tangan kosong.
"Aku ini dari keluarga terpandang, Neng. Almarhum ayahku adalah pengusaha terhormat. Kamu pikir aku pantas mengambil pekerjaan itu?Supir pabrik itu hanya untuk masyarakat-masyarakat menengah ke bawah seperti mereka-mereka ini," ucap Jaka sembari menunjuk deret rumah di seberang mereka.
"Mas, rumah mereka aja lebih bagus dari kita! Mereka masih punya beras dan bisa masak enak! Lah kita? Kenyataannya sekarang kita jatuh miskin, Mas! Kamu harus sadar!"
Jaka melengos. Dia baringkan tubuhnya ke kursi panjang di ruang tamu dan meringkuk, ingin tidur. Mendengar omelan sang istri membuatnya hampir depresi. Dadanya sesak bukan kepalang. Ubun-ubun hingga panas keterlaluan.
"Aku nggak mau tau lagi! Kalo sampe dalam dua minggu kamu nggak dapet pekerjaan, aku nggak akan segan-segan buat ceraikan kamu!"
Sementara, Roro segera melangkah, menghampiri Jaka dengan perut buncitnya itu. Dia pukul-pukul lengan Jaka sekuat mungkin.
"Neng, perceraian itu bukan bahan candaan."
"Aku nggak bercanda, Mas! Pokoknya kamu harus segera dapat kerja, TITIK!"
Jaka yang terus dipukul dan tubuhnya ditarik supaya bangun dari kursi itu mendengus. Muka kusutnya dia usap kasar. Dia mengurungkan niat untuk tidur lebih awal dan memilih bangkit dari kursi. Diraihnya jaket lusuh yang tersampir di sandaran kursi dan melangkah pergi.
"Mas Jaka! Aku lagi bicara sama kamu!"
Jaka tidak menggubris teriakan Roro. Terkadang kata-kata dari istrinya itu sangat pedas hingga membuatnya dongkol sendirian.
"Kamu ini! Dasar suami nggak tau diri!"
Dari tepi jalan sana, Jaka masih bisa mendengar jelas makian istrinya.
Mendengus, melangkahkan kaki semakin lebar ke arah seberang. Lantas melangkah menuju warung langganannya. Benar bahwa dari sekian banyak masalah yang bertumpuk, warung itu adalah tempat terakhir yang paling nyaman untuk mendekam biarpun hutangnya terus ditagih dan terus dikatain pria pengangguran tidak tahu malu.
Tak pernah terbayangkan sedikitpun bahwa Jaka akan jatuh miskin seperti ini. Pak Gunawan meninggal dengan cara paling tragis yang pernah Jaka tahu. Bisnisnya hancur. Tanahnya dirampas pemerintah. Uangnya ludes entah ke mana. Kini Jaka tidak mendapatkan apa-apa. Untuk tetap hidup dan menghidupi Roro, Jaka harus membawa sang istri pergi jauh dari rumah mewahnya.
Jaka ketiban sial. Seolah-olah hidup sudah tidak berpihak lagi pada Jaka.
Sekali lagi dia mengacak rambutnya frustasi. Hawa kantuk bercampur lelah membuatnya semakin stres. Sisa uang seribu di dompet tidak akan memberikan jaminan apa pun. Terkadang Jaka ingin lari saja dari pernikahannya. Akan tetapi, lagi-lagi dia dibayangi bayi mungil yang sangat mirip dengannya.
'Ya Allah, anakku mau lahiran, tapi bapaknya ini belum mendapat pekerjaan sama sekali. Biaya persalinan saja tidak ada. Apalagi membelikan baju dan menyiapkan bubur untuknya.'
Jaka menyesal pernah menggebu-gebu ingin punya anak secepatnya.
Sekian menit usai itu, di tengah lamunannya, mata Jaka terbuka lebar. Tembok besar seberang sana memperlihatkan iklan lowongan pekerjaan yang tertempel di dinding teramat besar dan jelas. Jaka langsung melangkah, mendekat untuk membaca lebih teliti tulisan yang tertera.
Lowongan pekerjaan menjadi pengantar peti mati. Di tengah makian sang istri, omelan penjaga warung yang menagih hutang padanya, dan bayang-bayang anak sulung yang akan lahir dalam waktu dekat, Jaka menimbang-nimbang. Pekerjaan aneh semacam itu berhasil menarik atensi Jaka untuk membaca informasinya lebih lanjut.
HRD menulis bahwa gaji akan diberikan langsung ketika peti mati tersebut tiba di lokasi. Pekerjaan ini adalah alternatif yang sangat tepat karena Jaka ingin segera mendapatkan uang.
Langkah Jaka yang hendak pergi ke warung kini putar haluan. Dia ingin segera melamar pekerjaan itu sebelum didahului orang-orang. Jaka mengepalkan kedua tangan. Tekatnya begitu kuat dan harapannya bangkit kembali. Semoga saja HRD menerima lamaran pekerjaannya.
“Aku harus mengambil kesempatan ini!” tegas Jaka lalu melangkah masuk ke dalam pabrik tanpa banyak berpikir.
“Kau mau lamar kerja?” tanya seorang petugas keamanan saat melihat pria 28 tahun itu melangkah penuh semangat.“Iya, saya mau lamar kerja! Apa perlu bikin surat lamaran?”“Eh! Tidak usah!” petugas itu lalu menyodorkan selembar kertas formulir untuk diisi. “Ini bolpoinnya. Isi aja, nanti aku yang antar ke HRD!”“Segampang itu?” Jaka tak menyangka akan mendapatkan kemudahan di awal. Biasanya untuk melamar kerja dia harus membawa selembar surat dengan tulisan tangan yang rapi dan beberapa kelengkapan lain, tapi disini semua terbalik.Ini!Jaka menyodorkan formulir itu dan diterima dengan senyuman oleh petugas keamanan.“Baik! Sambil nunggu hasil kamu boleh ambil rokok sepuasmu!” tunjuk pria paruh baya itu ke arah meja yang terdapat rokok berbagai merek.“Enak amat!” celetuk Jaka lalu tersenyum.“Kerja di sini itu enak, cuma sayang jarang banget orang yang mau ngisi posisi di sini!”“Oh, ya!”“Sudah, sambil nunggu silahkan ngerokok dulu. Ada kopi juga di meja itu!”Jaka hanya mengangguk l
Tangis sesegukan terdengar semakin kencang. Telinga Jaka seperti bergetar, ingin menolak suara itu merasuki otaknya. Dia kembali memejamkan mata, sedangkan suara klakson semakin ramai menegurnya.Jaka menarik napas dalam-dalam. Bayangan tentang Roro yang akan marah besar bila ayam potong dan beras itu tidak dapat dibelikan menggerayangi otaknya. Di samping itu, dia memikirkan tentang keadaan anaknya. Kalau sampai pada titik Roro harus bersalin dan dia belum mendapat uang sama sekali, Jaka tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Dia akan menjadi pria paling gagal dalam memperjuangkan keluarganya.Jaka memungut kembali serpihan-serpihan keberanian yang tercecer dan kembali menyalakan mesin mobil. Dia melanjutkan perjalanannya menuju tempat tujuan. Terlepas dari rasa takut yang menyerangnya dan keinginan mendapatkan uang lebih cepat, ada amanah dari Danu yang harus dirampungkan.“Sedikit lagi Jaka! Sedikit lagi!” bisiknya menyemangati diri.Jaka mempercepat laju mobil begitu sampai di
“Kenapa, Mas?” tanya Bowo sambil terkekeh. “Ah! Nggak!” jawab Jaka sok berani. Dia sebenarnya takut bukan main tapi bukan Jaka anaknya Pak Gunawan kalau dia harus terlihat penakut di depan teman kerjanya.“Kalau gak ada apa-apa kita sarapan dulu aja!” lanjut Bowo.Roti basah yang dibekalkan Roro dari rumah ludes sudah. Jaka langsung membuang bungkusnya dan segera menandaskan secangkir kopi yang disiapkan Danu. Bowo juga ikut menghabiskan kopi jatahnya lantas memeriksa mobil."Saya Jaka. Pekerja baru yang katanya bakal nganter peti mati bareng Bowo."Bowo mengangguk. "Wah, kamu masih keliatan muda banget. Salam kenal, saya Bowo yang bakalan jadi kernet kamu hari ini," jawabnya sembari tersenyum.Keduanya sudah siap untuk berangkat. Usai memasuki mobil, mereka langsung mengenakan sabuk pengaman. Gas ditarik pelan dan mobil berhasil memotong jalan, menyusul kendaraan lain yang lewat.Perjalanan pagi ini masih cukup lancar. Belum banyak kendaraan yang berlalu lalang. Matahari pun belum m
Seketika Jaka menelan salivanya. Pikiran buruk kembali hadir. Nama-nama saudara Ayah dan pada karyawan itu berbaur dengan sekian banyaknya keluarga Ibu. Kembali Jaka ingin kenangan tentang satu per satu keluarga Ibu. Termasuk Rani.Kalau bukan keluarga Ayah yang berbuat jahat, tidak ada opsi selain keluarga Ibu. Kini pertanyaan Jaka menjadi sangat kompleks.'Apakah keluarga Ibu yang membunuh Ayah dan merampas semua harta Ayah?'Jaka bergegas mengantarkan peti mati tersebut dengan kecamuk pikiran buruknya. Dia terus mencari korelasi yang tepat tentang peran penting keluarga Ibu di tengah kebangkrutan perusahaan Ayah.'Apakah kematian Ibu dua tahun yang lalu membuat mereka merasa bebas dan semakin semena-mena dengan keluargaku?'Jaka berceloteh dalam hati, menafsirkan apa pun yang sekiranya bisa memecah kebisingan dalam benak.Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk sampai ke alamat tujuan. Jaka langsung tahu di mana persisnya rumah yang dimaksud Danu.Jaka langsung memberhentikan mobil
"Ngomong apa kamu, Ka? Aneh! Kamu pikir aku nggak bisa marah sama kamu karena tuduhan ini?" kesal Irwan pada Jaka yang begitu berani di hadapannya. "Apa karena kamu jatuh miskin kamu jadi minim ahlak?" Jaka menatap nanar ke arah Irwan yang begitu marah di depannya. Dia sadar saat ini dia tidak punya dasar untuk melanjutkan perdebatan yang pasti akan jadi panjang kalau dia lanjutkan."Sudah, kalau kamu tidak mau ribut sama aku, pergi aja sana. Kita hidup masing-masing, jangan saling ganggu toh perkataanmu itu nggak mungkin ada buktinya," Irwan berbisik penuh penekanan sambil menatap tajam ke mata Jaka yang memang dia yakini berbicara tanpa dasar.Irwan lalu menunjuk ke arah pintu keluar dengan senyuman licik seakan mengusir putra yang kini sudah tidak berharta. "Aku akan kembali," bisik Jaka dengan tatapan perlahan meredup. "Aku akan cari bukti untuk seret kamu dari sini,""Ok, cari saja. Kalau kamu bisa dapat, aku akan pergi dari sini dan mengembalikan semua harta yang kamu tuduhkan
Jaka kembali melanjutkan harinya sembari terus mengingat apa yang dikatakan Roro padanya, dia harus mulai melupakan keinginannya membalas dendam ayahnya demi keselamatan keluarga kecilnya. Bukan tanpa alasan Roro meminta itu pada suaminya, bagi wanita sederhana itu memang Jaka berhak untuk memenuhi permintaan ayahnya yang sudah tiada, tapi melawan keluarga kaya suaminya yang memiliki uang dan kekuasaan adalah hal konyol yang bisa saja membuat mereka justru terjerumus dalam jurang kesulitan yang lebih besar. "Memang Bang Irawan itu polisi, Ro," lanjut Jaka malam harinya. "Duh, kalau ingat kemarahanku tadi, aku jadi takut kalau dia... " Roro yang biasanya pemarah malam itu malah terlihat tenang, dia tau kemarahannya tidak akan merubah apapun saat ini. Dia hanya memandangi wajah Jaka yag terus tergiang wajah ayahnya yang memintanya menuntut balas. "Kalau dia apa?" tanya Roro setelah anak kata Jaka tidak berlanjut. "Ya, seperti yang kamu bilang tadi," "Sudah, Mas. Yang penting sekaran
Jaka melangkah cepat mengikuti Danu yang terlihat tidak mau sampai terlambat menemui tamu tidak diundangnya."Bapak siapa, ya?" tanya Danu datar saat tiba di depan Irawan yang berseragam lengkap dengan bintang tanda jasa di bahunya. Saudara Jaka itu langsung tersenyum sinis melihat Jaka yang berdiri di belakang Danu dengan wajah menunduk malu.Jaka sungguh tidak menyangka jika identitasnya akan segera terbongkar oleh Irawan yang akan semakin merendahkannya."Oh, jadi kamu sekarang kerja di sini? Kasihah," ledek Irawan lalu meninggikan dagunya begitu sombong. "Jadi anak orang kaya sekarang kerja di sini? Hehehehehe,"Jaka masih menunduk, dia tidak tau harus marah atau senang mendengar perkataan Irawan yang begitu merendahkannya."Pantas saja kamu begitu marah sampai nuduh-nuduh aku yang bukan-bukan. Ternyata kamu...""Ada apa, ya, Pak?" tanya Danu dengan sopan. "Bapak tidak datang untuk menghina pekerjaan kami, kan?""Hey, aku tidak ada urusan sama kamu!" bentak Irawan membuat Danu be
"Jaka, cepatlah! Dia butuh kamu ke sana sekarang," teriak sosok Rani, salah seorang kerabat Jaka yang sempat ditemui Jaka saat mengantarkan peti jenazah."M..." Belum sempat Jaka memanggil sosok itu, tanggannya sudah lebih dulu meraih surat jalan di meja Danu lalu memutar badannya menuju mobil pick up yang sudah berisi muatan sebuah peti mati cantik berwarna putih."Mas! Mas!" panggil Bowo yang harusnya menemani Jaka hari ini."Eh," Jaka yang sudah menyalakan menis mobil untuk siap meluncur mengeluarkan kepalanya lewat kaca jendela untuk memihat Bowo di bagian belakang mobil."Mau kemana? Aku kok ditinggal," keluh Bowo sambil menggaruk tengkuknya."Maaf, aku lupa," Jaka membuka pintu samping mobil pick up itu mempersilahkan kernetnya duduk di samping sebelum Jaka kembali menyalakan mobil."Kenapa buru-buru?" tanya Bowo merasa aneh. "Memangnya kita mau ke mana?" "Itu," tunjuk Jaka pada surat jalan yang ada di atas dastboard. Kernet muda itu meraih surat jalan yang ditunjuk Jaka kemud