Share

Mata yang familier

"Apakah Anda terluka, Tuan muda?" Orang yang memanggil Bailey bertanya.

"Aku tidak apa-apa, Bexter. Tapi kudaku sepertinya tidak bisa berdiri." Bailey menjawab pelan; melihat ke arah sosok misterius yang tersisa. Satu prajurit mengunci kedua tangan orang itu dengan rantai. Sesaat mata keduanya bersirobok saat sang sosok didorong untuk berjalan; melewati Bailey. Sementara keempat orang lainnya yang sudah tidak bernyawa dibopong di pundak oleh empat prajurit berbadan kekar.

Bexter menoleh pada kuda Bailey, lalu memerintahkan prajurit lain untuk mengobatinya.

"Biar prajurit membawa kudanya ke mansion nanti. Tuan muda, oh-! Leher Anda terluka!" Bexter berseru terkejut sekaligus panik. Guratan lukanya tidak besar dan dalam, bahkan tipis. Tapi masalah yang akan timbul karenanya itulah yang membuat Bexter lebih panik. Karena pasti akan ada lebih dari satu punggung yang menerima cambukan nantinya.

Bailey meraba lehernya, melihat darah di tangannya dari luka itu.

"Hanya luka kecil ... tidak usah khawatir. Cukup untuk tidak memberitahukannya pada orang lain maka ini tidak akan menjadi masalah," tukas Bailey.

"A-- ... baiklah." Bexter mengangguk. Menunggangi kudanya.

"Silakan naik, Tuan muda."

Bailey menyarungkan pedangnya dan mengambil anak panah tadi, lalu menaiki kuda yang ditunggangi Bexter; duduk di belakangnya.

Tatap khawatir Ascal menyambut begitu Bailey memasuki rumah. Hampir saja Bailey bertanya, 'Anda siapa?' karena terlalu terkejut dengan reaksi Ascal. Namun tak ada kata-kata yang keluar, baik dari mulut Bailey maupun mulut Ascal.

Melalui Jill, Ascal melarang Bailey untuk pergi lebih jauh, sementara waktu ... tersebab penyelidikan yang masih berlangsung. Maka dari itu, ia tidak ikut mengunjungi Shaw bersama Edvard dan terpaksa membiarkan sang dokter pergi sendiri.

Sesudah penyelidikan selesai, memastikan tak ada lagi tahanan yang kabur ataupun prajurit yang berkhianat, melalui Jill pula Ascal mengizinkan Bailey pergi ke luar distrik Alocya lagi karena Bailey terus merengek pada ibunya.

Terkadang Ascal berpikir jikalau mengizinkan Bailey tentang suatu hal adalah keputusan yang kurang tepat. Karena puteranya itu akan datang lagi setelahnya dengan permintaan izin untuk hal yang lebih besar. Dan Jill akan selalu meledek setiap kali Ascal mengomel tentang itu.

"Sudahlah ... biarkan saja. Kau dulu juga begitu. Dan kau sama tidak sukanya ketika keinginanmu dipersulit." Jill berkomentar. Duduk di depan meja rias seraya menyisir rambutnya. Berperantarakan cermin, mata Jill sesekali melirik Ascal yang terduduk di peraduan sembari membaca buku.

"Kau selalu menggunakan itu," respon Ascal. Tak mengalihkan pandangan dari buku digenggaman.

"Aku tidak akan menggunakannya kalau itu tidaklah benar. Tapi faktanya selalu mengatakan iya. Bailey persis sekali denganmu dalam banyak hal. Jika saja aku lupa bahwa kau sudah dewasa, aku pasti akan berpikir kalau Bailey adalah dirimu ... setiap kali aku melihatnya."

"Baiklah, baiklah, kuizinkan .... Besok pagi kau sampaikanlah pada Bailey saat sarapan." Ascal menutup bukunya, menaruhnya di nakas dan berbaring. Ia menatap Jill yang berdiri dan berjalan menghampiri lalu menjatuhkan diri di sebelahnya. "Besok aku akan langsung ke dungeon. Tahanan itu masih tidak mau membuka mulut ... ada beberapa hal yang ingin kutanyakan sendiri sebelum eksekusi jatuh padanya. Aku akan makan sekembalinya dari sana," tambah Ascal. Menarik selimut sebatas dada dan memejamkan mata.

Jill membaringkan dirinya menghadap Ascal; menatap lamat-lamat suaminya. Jikalau hatinya bisa berbicara lantang seperti mulut, atau setidaknya bisa didengar orang lain--siapapun, maka si pendengar pastilah akan sering mendengar senandung puisi kesedihan darinya.

Bukan Jill menyesal atas keputusan yang diambilnya untuk menikah dengan Ascal, ia tahu benar itu adalah keputusan yang tepat; menurutnya. Tetapi andai berandai yang acapkali bertandang membuat dirinya lagi dan lagi terjatuh pada titik sendu yang pahit.

Tak jauh berbeda dengan Ascal, Jill pun masih kerapkali melanglang ke masa lalu. Menggemakan dua nama dalam hatinya bersama rindu dalam sayatan kepedihan. Karena tak peduli betapapun indah kenangan yang diingat ketika menggaungkan dua nama itu, pada akhirnya Jill selalu menangis.

Tak ia tunjukkan di depan orang lain tentu saja. Ia harus terlihat tegar di depan orang lain, termasuk Ascal. Namun air mata akan ia biarkan meluruh jika Ascal tidak melihatnya, meskipun suaminya itu berada di hadapannya. Seperti saat ini. 'Hao Yi ... Maru ....' batin Jill melirih nan lemah. Membiarkan satu dua tetes mata meluruh kemudian memejamkan mata.

Rindu memanglah indah, namun terasa kejam bagi beberapa orang. Harap terobati dengan temu, fakta justru membawa pada bayang semu. Tak bisa diraih, tak jua bisa digenggam. Hanya bisa diingat dan ditangisi. Irama senandung yang syahdu lagi pilu membahana tanpa suara, mengguncang sukma yang semakin meraung ... teringin mendekap daksa, namun hanya mampu menyentuh fatamorgana.

"Bu, aku pergi dulu."

"Hum. Hati-hati!"

"Tentu!"

Satu pelukan singkat Bailey berikan, kemudian bergegas ke luar melalui pintu samping rumah; berlari ke kandang kuda.

Jill beranjak ke samping rumah di sisi yang lain, menghampiri seseorang yang terduduk di salah satu dahan; tersembunyikan oleh rindangnya dedaunan dan cabang-cabang dahan lain.

"Ikuti!" titah Jill lirih tanpa menoleh. Menjeremba memetik bunga lavender di taman dekat pohon itu. Sang sosok menunduk sesaat melihat Jill mendekat, lalu mengangguk kecil mendengar titah yang diberikan padanya. Kemudian melompat dari dahan; keluar pagar secepat kilat.

Jill membawa masuk bunga-bunga lavender yang ia petik, mencuci dan menaruhnya di beberapa vas bunga. Sedang bunga sebelumnya ia bawa keluar, meminta tukang kebun menaruhnya di tempat limbah untuk pupuk.

Selepasnya, Jill pergi ke gazebo di halaman belakang; menghampiri Selise dan puterinya. Ia mengambil alih Bariela; mendudukkan di pangkuannya agar Selise bisa pergi untuk sarapan.

"Ipu--" Bariela memainkan pipi Jill seraya meracau tak jelas, membuat Jill terkekeh.

"Itu namanya bunga matahari." Jill mengangkat tangan kanan Bariela, menunjuk pada hamparan bunga matahari di samping gazebo. Sekelumit puzzle terlintas di ingatan Jill, membuatnya terdiam.

"Kau tahu? Bunga matahari itu cocok untukmu," ujar seorang remaja lelaki. Duduk di bawah pohon; menunjuk hamparan padang bunga matahari di depannya.

"Benarkah? Mengapa?" Remaja perempuan di sampingnya bertanya.

"Bunga matahari itu bisa membantu menangkal radiasi, membuat udara di sekitarnya menjadi lebih bersih. Sepertimu--" jawab remaja lelaki itu. "Kau selalu bisa membuat suasana menjadi cerah dan hangat. Kehadiranmu membawa vibe yang bagus .... Hingga membuat orang-orang menemukan senyum mereka lagi," lanjutnya.

"B-begitukah?" Remaja perempuan bertanya lagi dengan suara yang lebih pelan. Tersipu menahan gugup seiring semburat merah muncul di kedua pipi.

"Nyonya, ini tehnya." Suara kepala pelayan membuat Jill sontak menoleh. Tersadar dari lamunan.

"Eh? Ah, ya, terima kasih, Bibi." Jill tersenyum kikuk. Sang kepala pelayan--Myriam memandang bingung, namun kemudian mengerti ketika dirinya menyadari Jill tengah duduk menghadap hamparan bunga matahari.

"Sama-sama, Nyonya. Kalau begitu saya permisi," pamitnya.

"Bibi Myr--" Jill menghentikan gerakkan kaki yang hendak berputar.

"Iya, Nyonya?"

"Apa Bailey sudah pergi? Bagaimana Ascal? Dia sudah pulang?"

"Tuan Muda baru saja pergi. Dan Tuan Besar sudah pulang, tadi saya lihat pergi ke ruang kerjanya bersama Profesor Baldric."

Jill mengangguk. Membiarkan Myriam kembali pada aktivitasnya. Detik berikutnya ia tersadar kalau Bariela tidak lagi ada di pangkuannya juga di dalam gazebo.

"Riel?" Jill berdiri, mengedarkan mata ke sekeliling dengan raut muka panik.

"Mataali, mataali ...." Ocehan khas Bariela terdengar oleh Jill. Membuat tungkainya melangkah mendekat, lalu dilihatnya Bariela terduduk di dekat bunga matahari sembari kedua tangannya menyentuh-nyentuh bunga itu.

"Oh--, kau membuat ibu khawatir."

"Mataali, mataali ...." Bariela terus berceloteh riang.

Jill berjongkok, membiarkan dan menemani Bariela beberapa saat bermain bersama bunga matahari di depannya. Kemudian menggendong dan membawanya ke gazebo saat merasa matahari sudah meninggi, bersamaan Selise yang kembali dari kegiatan paginya.

"Ada sesuatu yang terjadi? Tidak biasanya kau pergi cukup lama dan kembali dengan wajah kusut." Jill berujar, menyesap tehnya.

"Teresa meminta saya untuk menemaninya pulang sebentar. Lalu saat hendak kembali, kami melihat kerumunan di alun-alun ... ternyata ada seseorang yang telah mendapat penggal kepala. Dan itu membuat saya mual karena sedang makan kue ketika tidak sengaja melihat kepala yang tergantung itu."

"Kau makan kue sambil berdiri?"

Selise mengangguk lesu. Masih tercetak jelas di pikirannya, bayangan kepala yang digantung di alun-alun. Sesaat kemudian ia bergidik.

"Siapa suruh makan sambil berdiri." Jill berujar enteng setengah menegur setelah meledek. Lalu terkekeh melihat wajah Selise yang semakin kusut.

Ia tidak terkejut mendengar kabar yang dibawa Selise, karena Ascal sudah menyinggung itu semalam. Bahkan jikapun Ascal tidak menyinggungnya, Jill tetap tak akan begitu terkejut. Sebab ia sudah terbiasa akan berita demikian. Sepanjang hidupnya di Zanwan, ia sudah menyaksikan banyak kematian.

"Nyonya akan merajut lagi?" tanya Selise. Mengiringi langkah Jill yang peralatan menyulam di tangan; ke halaman samping.

"Hum. Kau mau belajar?"

"Bolehkah?" tanya Selise antusias dengan mata berbinar. Membenarkan Bariela di gendongannya.

"Tentu saja."

Merasa bosan setelah makan siang dan tak ada sesuatupun terlintas di benak untuk melakukan apa, membawa Jill menghampiri peralatan rajutnya. Satu kegiatan favorit Jill.

Pengalaman mengajar seseorang di masa lalu membuat Jill lebih mudah mengarahkan Selise. Memperhatikan gadis itu merajut sembari tangannya sesekali menepuk-nepuk pelan Bariela. Balita itu terbaring lelap di tempat tidurnya yang diambil Selise sebelum mulai merajut.

"Rajutannya jangan terlalu rapat atau terlalu longgar. Samakan," instruksi Jill. Selise mengangguk, fokus pada rajutannya yang sudah cukup panjang.

Merasa ada pergerakan, Jill menoleh ke arah depan mansion ... dan tidak sengaja membuatnya bersirobok dengan sepasang mata dari wajah yang setengahnya tertutup sorban. Jill menyipit; menajamkan pandangan lalu terpaku beberapa saat, bahkan ketika mata itu sudah berpaling. Merasa familiar dengannya, kemudian mata Jill membulat sempurna di detik berikutnya.

Jill sontak berdiri, berlari ke depan dengan maksud menghampiri sang pemilik mata. Namun terlambat karena sang empunya mata sudah menghentak kuda yang ditungganginya; gata.

"Bu?" Suara di belakang samping menyadarkan Jill. Membuatnya menoleh dan mendekat.

"Bailey, siapa yang memakai sorban itu?" Tanya Jill. Sangat ingin tahu.

"Itu Shaw," jawab Bailey singkat. Menaikkan alisnya.

"Shaw?" Jill masih setengah terbengong.

"Ada apa, Bu?"

"Tidak ...." Jill mengerjapkan mata beberapa kali dan menatap Bailey. "Tidak ada apa-apa. Masuklah ... kau pasti lelah," ujar Jill. Tersenyum mengusap kepala Bailey sesaat kemudian berbalik badan; kembali ke halaman samping.

'Hao Yi.' Jill membatin dalam langkahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status