Aku terbangun di kamar pengantin. Kamar Nayara yang disulap menjadi kamar pengantin. Di sebelahku kulihat Rangga duduk menungguku. Hanya ada dia di kamar itu. Sementara kamar dalam keadaan tertutup. Rangga tampak senang saat melihatku sudah membuka mata.
“Kamu sudah sadar?” tanyanya dengan senang.“Iya, tadi aku kenapa?” tanyaku pada Rangga.“Tadi kamu pingsan di tengah-tengah acara resepsi. Terus kita bawa kamu ke sini. Dan dokter juga tadi udah datang, katanya kamu kelelahan saja,” ucap Rangga.Rangga menunjukkan raut kecewa. Aku heran kenapa dia tampak kecewa. Apa dia menyangka setelah pingsan tadi jiwa Nayara akan kembali ke tubuh ini?“Kok cemberut?” tanyaku dengan penasaran.“Aku pikir jiwa Nayara akan kembali ke tubuhnya setelah kamu sadar,” ucap Rangga.Berarti benar dugaanku. Rangga berdiri. Tanganku tiba-tiba memegang tangannya sambil duduk di atas kasur. Rangga lalu menoleh padaku dengan heran.“Aku bukan istri aslimu, Ga.” Ucapku mengingatkannya agar dia sadar diri. “Aku tahu, tapi bagaimana pun tubuh yang kamu gunakan itu adalah tubuh istriku,” jawab Rangga.”jadi apapun yang kamu gunakan dan kamu makan dari uangku, toh juga akan kembali ke tubuh yang sedang kamu gunakan itu kan?” Aku menghela napas. Tak berapa lama kemudian, terdegar suara bel berbunyi. Rangga langsung berjalan ke arah pintu masuk. Aku mengikuti langkahnya. Sampai di sana rupanya yang datang adalah sebuah mobil pick up yang mebawa kardus-kardus yang aku tak tahu isinya apa. Setelah kardus-kardus itu kami buka, rupanya isisnya adalah pakaian perempuan, handphone dan leptop merek mahal. Aku heran. “Ini buat siapa?” tanyaku pada Rangga. “Ini semua buat kamu,” jawab Rangga. Mataku terbelalak saat melihat pakaian yang berjumlah banyak itu di hadapanku. “Kau tahu ukuran pakaianku dari mana?” tanyaku penasaran. “Aku sudah mengenal Nayara. Aku ingin k
“Aku nggak tau,” jawab Rangga. “Aku juga nggak tau,” ucapku. Sesaat kemudian, kulihat Rangga tampak berpikir. Dia berdiri lalu menoleh padaku. “Kamu tahu alamat kantor Mas Bimomu itu?’ tanya Rangga. Aku mengangguk. “Besok kita harus ke sana,” ucap Rangga. Aku mendengarnya dengan heran. “Untuk apa?” tanyaku. “Kita harus menjelaskannya bersama-sama. Mungkin Mas Bimo akan mempertimbangkan kebenarannya kalo aku juga ikut menjelaskan semuanya,” pinta Rangga. Aku kira itu solusi yang bagus untuk kami. Besoknhya, aku dan Rangga pergi ke kantor Mas Bimo. Karena aku dan Rangga memakai pakaian yang pantas dan terlihat mewah, satpam tak lagi mencegat aku untuk memasuki kantor itu. Kami pun berhasil duduk menunggu di ruangan Mas Bimo. Tak lama kemudian sekretarisnya datang kepada kami lalu menyuruh kami masuk. Kami pun masuk ke ruangan Mas Bimo. Mas Bimo tampak heran melihatku, mungkin karena dia masih mengi
Rangga menoleh padaku lagi. “Kalau seandainya jiwa kalian tidak bisa bertukar lagi, maukan kamu untuk terus bersamaku?” tanya Rangga. Aku diam tak bisa menjawab karena aku yakin jiwaku pasti akan bertukar lagi dengan Nayara.Rangga kembali melanjutkan kata-katanya,”Aku akan buat kamu seneng. Aku akan ganti semua hal yang hilang dari hidup lamamu. Kamu jangan khawatir soal harta atau apapun itu. Aku bisa ngasih semuanya ke kamu asal kamu mau hidup sama aku layaknya suami istri sesungguhnya,” ucap Rangga dengan tatapan mata yang serius. Aku tak bisa bernapas lagi mendengarnya. Aku tak bisa menjawabnya sekarang.“Aku belum bisa menjawabnya sekarang, Ga.” Ucapku. Setelah itu Rangga kembali melajukan mobil itu. Saat kami sudah tiba di rumah, Rangga duduk dengan gelisah. Aku heran melihatnya. Tak lama kemudian dia berdiri. “Aku harus ketemu Indah lagi,” ucapnya padaku. Aku kaget mendengarnya. “Jangan
Ya, aku pun sudah lama tidak menyentuh minuman haram itu. Terakhir aku minum bersama Isabel saat kuliah. Itupun terjadi saat kami tak sengaja akrab dengan seorang mahasiswi baru bernama Viona. Awalnya aku dan Isabel sangat anti minum-minuman keras, tapi perlahan Viona mempengaruhi kami berdua hingga dia mengenalkan tempat dugem pada kami dan hasilnya kami jadi sering ke sana untuk mabuk-mabukkan. Namun saat papahku dan ayah Isabel tahu, kami benar-benar dimarahi dan dihukum dengan memblokir kartu kredit yang kami miliki. Setelah itu kami jauhi Viona saat kami tahu kalau Viona adalah gadis malam yang kerap menjual diri kepada om-om kaya. Dan sejak itu juga aku tidak menyentuh lagi minuman haram itu. Namun saat mendengar Rangga ingin minum, aku tak mau hal jahat terjadi pada dirinya. Aku pun menatap wajah Rangga dengan mantap. “Jangan,” pintaku. “Kenapa?” tanya Rangga. “Itu nggak akan nyelesain masalah dan malah bakal nambahin masalah,” jawabku.
Setelahnya aku merasa berdiri di kamarku di Pondok Indah – rumah papah mamahku. Di sana aku melihat Mas Bimo sedang berbaring tanpa mengenakan sehelai benang pun. Kulihat tubuhku sedang melumat benda yang ada di tubuh Mas Bimo sambil merapihkan rambut panjangnya. Mas Bimo mendesah. Tubuhku dengan beringas menikmati benda yang tak pantas kulihat di tubuh Mas Bimo itu. Aku terbelakak dan berteriak padanya. “Hentikan! Jangan lakukan itu Nayara!” teriakku. Aku ingin berlari dari tempat itu, namun tubuhku tak bisa aku gerakkan. Aku terpaksa harus menyaksikan mereka melakukan sesuatu yang membuat hatiku sakit.Tak berapa lama kemudian Mas Bimo mendesah hebat, sepertinya dia berada di puncaknya. Tubhku itu kulihat melepaskan benda di tubuh Mas Bimo yang berdiri tegak itu lalu memuntahkan seuatu dimulutnya. Aku menangis cemburu melihat itu.Lalu aku terbangun. Rupanya aku bermimpi. Rangga duduk di dekatku dengan heran. “Indah, kamu kenapa?” tanya Rangga.
“Kemarin aku lihat ada pengumuman soal dibukanya penanam saham di perusahaan papahmu,” ucap Rangga. “Terus?” “Aku berniat menanam saham di sana, lalu nanti aku kirim kamu untuk menjadi direksi di perusahaan papahmu itu, dengan begitu kamu bisa mengawasi perusahaan orang tuamu,” jawab Rangga. Aku sangat senang mendengar ide itu darinya. Namun sesaat aku berpikir, darimana Rangga mendapatkan uangnya. “Memangnya kamu punya uang untuk menanam saham di sana?” tanyaku tak percaya.“Kamu tenang saja. Di sini aku memang lagi merintis usaha baru, usaha dibidang penerbitan novel online. Aku memang tak cerita banyak soal pekerjaanku sama kamu karena kita terlu sibuk dengan urusan pertukaran jiwamu. Tapi aku punya simpanan uang yang cukup dari usahaku membuat aplikasi game online beberapa tahun lalu,” ucap Rangga. Aku tercengang mendengar itu. Rupanya Rangga orang hebat. Dia memang tak pernah bercerita padaku soal itu. Mungkin dia p
Sesampainya kami di sana. Kulihat Bibi berdiri cemas menungguku. Aku pun segera turun dari mobil dan menemuinya. Rangga menunggu di dalam mobil dengan gusar. “Ada apa, bi?” tanyaku dengan penasaran. Bibi melihat ke Rangga sebentar. Sepertinya dia ingin Rangga jangan mendengar apa yang akan dia bicarakan padaku. “Tidak apa-apa, Bi. Dia ada dipihakku,” ucapku pada bibi. Bibi Sarinah tampak lega. Lalu dia menarik napas dan memandangiku dengan aman. “Non di rumah sepertinya menggunakan ilmu hitam,” ucap bibi. Aku terkejut mendengarnya. “Ilmu hitam bagaimana, bi?” tanyaku heran. “Semalam bibi liat dia membakar kemenyan di kamarnya. Dia merapal mantra-mantra lalu seperti kemasukan setan,” jawab bibi. Aku terbelalak mendengarnya. “Serius, bi?” Bibi mengangguk dengan serius. Lalu bibi mengeluarkan bungkusan kain putih padaku. “Ini ambillah,” pinta bibi. Aku heran apa yang diberikan bibi i
Aku mengangguk. Tak berapa lama kemudian, mobil derek yang dihubungi Rangga datang. Rangga pun menghampiri mereka. Dia meminta mereka untuk membawa mobilnya ke bengkel langganannya. Saat mobil itu dibawa mobil derek. Aku tercengang saat melihat sosok perempuan berada dalam mobil Rangga. Mendadak aku merinding. Perempuan itu duduk membelakanginku di dalam mobil. Sesaat kemudian perempuan itu menoleh. Astaga, kenapa wajahnya mirip sekali dengan wajah almarhum Lastri? Saat dia tersenyum padaku aku pun langsung berteriak dan memeluk Rangga. Senyum yang sangat menakutkan. Rangga heran. “Kamu kenapa, Indah,” tanya Rangga heran. “Aku nggak tahu, apa aku salah lihat atau karena kebayang omongan nenek tadi aja, aku ngeliat almarhum Lastri di mobil kamu tadi, Ga.” Taksi yang dipesan Rangga datang. Rangga menenangkanku,”sudah, kamu mungkin terlalu stress... nanti kita bicarain di rumah setelah kita meeting di kantor papahmu ya,” pinta Rangga. Aku