“Udah, dong, Dek. Jangan nangis mulu! Malu sama umur,” ledek Dian setelah memasangkan plester luka untuk mengunci perban yang membalut betis Afi.
Setelah terperosok di antara papan yang patah, kaki kanan Afi mendapatkan banyak luka dan memar. Mulai dari mata kaki, betis depan dan belakang, lutut dan pertengahan paha. Luka yang paling parah terdapat di betis depan. Luka itu cukup banyak mengeluarkan darah. Bahkan ada serpihan kayu yang sempat menancap.
Dengan semua luka yang didapat tentu saja membuat Afi tersiksa. Dia menangis sepanjang Dian mengobati lukanya. Bahkan ingusnya sampai meler, tidak terkira banyaknya.
“Sakit, Bang.” Afi membela diri. Dia tidak akan menangis separah ini kalau lukanya tidak seberapa.
“Iya. Abang tau. Tapi, nangismu itu, loh. Kayak anak kecil. Jaga image dikitlah. Udah tua juga.”
“Sakit kayak gini mana bisa peduliin image dan usia, Bang. Ini kakiku udah kayak mau copot aja rasanya
“Mbak Afi!” pekik Ani dengan mata terbelalak. Sapu di tangannya dilempar begitu saja. Dia berlari menuruni tangga teras untuk membantu Dian yang memapah Afi berjalan.“Mbak kenapa? Kok, bisa kayak gini?” tanyanya sambil memindai kaki Afi. Dimulai dari paha sampai ujung kaki yang sudah tidak memakai sendal.Baru saja Afi hendak menjawab, suara lain yang jauh lebih besar dan sedikit serak menginterupsi perhatiannya. “Oleh-oleh dari mana itu?” tanya pria itu sambil menuruni tangga tergesa. Raut wajahnya tidak santai sama sekali. Gurat kekhawatiran menghambur di mana-mana.Sama seperti yang dilakukan Ani, pria itu memindai kaki Afi penuh ketelitian saat mereka berhadapan. Bedanya, Egi memindai mulai ujung kaki hingga paha.“Jadi ini alasan kamu enggak jawab pertanyaan saya di telepon?” Egi mulai menyerang Dian yang mengangguk apa adanya.Egi membuang napas sambil meraup kasar wajahnya. Sebenarnya dia ingi
“Mas cuma mau kasih tau kalau malam ini Mas nginap di rumah Om Egi. Afi lagi sakit.” Dian sedang menelepon istrinya sambil mengelus kepala Afi yang sudah tertidur.“Loh? Sakit apa, Mas?” Suara wanita di seberang sana terdengar cemas.Dian menceritakan kronologi kejadian versi dirinya. Banyak bagian yang miss karena dia sendiri tidak menyaksikan bagaimana kaki Afi bisa terperosok di papan kayu. Dia juga tidak sempat menanyakan apa pun kepada Afi terkait penyebab pasti patahnya papan.“Aku boleh ke sana enggak, Mas? Aku pengin jenguk,” rengek wanita di seberang sambungan.“Jangan, Sayang!” Dian melarang dengan lembut. “Udah malam. Mending kamu istirahat aja.”“Kalau gitu besok boleh, ya.”“Iya.”“Terus sekarang Afinya gimana? Udah mendingan?”Dian melirik adiknya yang tertidur dengan mulut sedikit terbuka. Kernyitan tipis di dahinya me
Afi meringis sambil mencengkeram lutut yang membentang lurus. Badannya bengkok ke kanan dalam keadaan tegang.“Perih banget, Bang,” keluhnya dengan mata terpejam erat.“Namanya juga luka, Dek. Ya, pasti perih, lah, kalau dikasih obat merah.”Dian bukan tipe pria yang akan mengumbar kata-kata prihatin untuk menenangkan istri atau adiknya yang sakit atau terluka. Dia memilih melontarkan kalimat realistis agar mereka sadar bahwa keluhannya sia-sia.Lagipula tidak ada gunanya mengumbar kata seperti ‘bertahanlah’ atau semacamnya. Menurutnya, kata sejenis itu tidak akan membawa dampak apa pun bagi orang yang sedang kesakitan.“Ya, Abang pelan-pelan, kek, ngolesnya. Jangan ditekan-tekan kayak gitu,” protes Afi.“Enggak ada yang nekan, Fidyana Rosmalina .... Ini Abang ngolesnya udah selembut mungkin, loh! Kamunya aja yang lebay.”Dian tetap fokus memoles obat merah di permukaan luka
Banyaknya pertanyaan yang masuk tidak membuat Egi kebingungan untuk menjawabnya. Hanya saja, dia perlu waktu menyusun kalimat yang jelas dan lugas agar ke depannya tidak menimbulkan kesalahpahaman. Itulah sebabnya dia menggumam panjang sambil menggaruk pelipis.“Kalau soal--”“Dek!”Perhatian Egi dan Afi bermigrasi ke pintu. Dian melongokkan kepalanya di celah pintu yang tidak terbuka lebar.“Abang tinggal sebentar enggak apa-apa, ‘kan? Kakak sama keponakan kamu minta jemput. Katanya mau nengokin kamu juga.”‘Kakak’ berarti istri Dian. Afi hanya memiliki satu abang, yakni Dian. Afi terbiasa memanggil istri abangnya dengan sebutan ‘Kakak’. Menurutnya, panggilan ‘Mpok’ terkesan terlalu tua untuk perempuan yang usianya hanya beda beberapa bulan darinya.Afi segera mengangguk. Berharap bahwa abangnya bergegas pergi. Dia sudah tidak sabar ingin mendengar jawaban dari se
Rentetan rasa sesal dan keluhan yang dicetuskan Egi membuat Afi terpangah. Bukan karena dia tidak menyangka kalau dosanya sebanyak itu. Namun, dia lebih terkejut karena ternyata Egi seekspresif itu mengungkapkan emosi. Cenderung menyerupai wanita.“Kalau saya minta maaf, apa kamu bisa maafin?” tanyanya ragu.“Kok, kamu nanyanya kayak gitu? Kayak enggak serius gitu pengin minta maaf.”Benar, ‘kan? Dia seperti wanita yang sedang merajuk.“Saya tanya kayak gitu karena saya pikir kesalahan saya mungkin enggak bisa dihapus hanya dengan kata maaf.”“Memangnya kamu sadar kalau itu salah?”Afi terdiam sejenak. Raut mukanya tetap tenang. “Awalnya enggak,” ungkapnya jujur.“Nah, ‘kan? Kalau gitu ngapain minta maaf kalau enggak merasa salah? Percuma!”“Berarti benar, ‘kan, kalau kesalahan saya enggak bisa dihapus hanya dengan permintaan maaf?&r
Jika momen mendebarkan dan menyulut api gairah diinterupsi, kelanjutannya tidak akan sama lagi. Meskipun debaran masih ada, tapi api gairahnya telah padam. Tergantikan oleh tawa geli, bercampur sesal dan malu.Ya, bagaimana tidak malu jika bercumbu, tapi dipergoki pembantu? Namun, insiden barusan merupakan pembelajaran. Jika ingin sosor-menyosor, kuncilah pintu terlebih dahulu.“Saya sebenarnya mau lanjut, tapi kamu belum sarapan. Takutnya kalau disedot terus, kamu malah semaput gara-gara kehabisan tenaga,” kata Egi yang tentu saja hanya bercanda.Afi hanya menanggapinya dengan tawa. Membiarkan Egi keluar sebentar dan membawa masuk rak troli stainless berisi ragam menu sarapan. Mulai dari yang sweet sampai savory, berkabohidrat hingga junk food.“Banyak banget,” komentarnya sambil tertawa. “Kita cuma mau sarapan berdua, loh. Bukan makan siang sekeluarga besar.”“Saya enggak tau kamu lagi pengin makan apa. O
“Pelan-pelan, Gi. Jangan buru-buru! Kamu, sih, enak. Nah, saya?”“Iya-iya. Ini saya pelanin, ya, biar kita sama-sama keenakan.” Pria itu mendesah dengan bibir gemetar.Melihat tingkah konyol pria yang sedang memapahnya keluar kamar, kedua alis Afi pun berkumpul menjadi satu. Ekspresi geli dan tidak habis pikir terpajang di wajahnya.“Kamu ngapain, sih?”“Gara-gara kamu ngomong pelan-pelan dan bahas enak, saya jadi ngebayangin make out sama kamu,” ungkap Egi dengan jujur.“Astaga ....” Afi menggeleng-gelengkan kepala. Menatap miris pada pria yang membantunya duduk ke sofa. “Kayaknya kamu enggak bisa lepas dari seks bebas, ya.”Egi tersenyum. Tidak menganggap kalinat Afi barusan sebagai penghinaan. Dia malah mengacak-acak rambut Afi seraya meminta pengertian.“Mohon dimaklumi, ya. Orang yang udah kecanduan rokok aja berhentinya harus bertahap. Apalagi saya yan
“Kamu enggak menganggap Ayah ini sebagai orang tua kamu?”Ketegangan masih berlanjut. Sulit menghentikan orang tua yang kekesalannya sudah tersulut.“Bukan begitu, Yah. Ayah satu-satunya orang tua yang Egi punya.” Egi meraih tangan tua itu dan menciumnya lagi. Kali ini cukup lama tangan keriput itu bertahan di permukaan bibirnya.“Egi minta maaf udah salah ngomong. Egi juga minta maaf jarang nengokin Ayah. Egi cuma ... malu ketemu Ayah,” tuturnya jujur tanpa melepaskan tangan itu.“Malu apa lagi? Kamu itu cuma banyak alasan!”Meskipun terdengar tidak sudi memaafkan, Ginanjar tidak sekalipun mencoba menarik tangannya. Penglihatannya yang tak lagi jernih mencoba memandangi helaian rambut Egi yang terkuncir rapi.“Egi tau Ayah selalu memantau apa yang Egi lakukan di luar sana. Ayah pasti tau Egi sering main-main sama banyak perempuan.”“Jangankan di luar sana, affair kamu