Afi meringis sambil mencengkeram lutut yang membentang lurus. Badannya bengkok ke kanan dalam keadaan tegang.
“Perih banget, Bang,” keluhnya dengan mata terpejam erat.
“Namanya juga luka, Dek. Ya, pasti perih, lah, kalau dikasih obat merah.”
Dian bukan tipe pria yang akan mengumbar kata-kata prihatin untuk menenangkan istri atau adiknya yang sakit atau terluka. Dia memilih melontarkan kalimat realistis agar mereka sadar bahwa keluhannya sia-sia.
Lagipula tidak ada gunanya mengumbar kata seperti ‘bertahanlah’ atau semacamnya. Menurutnya, kata sejenis itu tidak akan membawa dampak apa pun bagi orang yang sedang kesakitan.
“Ya, Abang pelan-pelan, kek, ngolesnya. Jangan ditekan-tekan kayak gitu,” protes Afi.
“Enggak ada yang nekan, Fidyana Rosmalina .... Ini Abang ngolesnya udah selembut mungkin, loh! Kamunya aja yang lebay.”
Dian tetap fokus memoles obat merah di permukaan luka
Banyaknya pertanyaan yang masuk tidak membuat Egi kebingungan untuk menjawabnya. Hanya saja, dia perlu waktu menyusun kalimat yang jelas dan lugas agar ke depannya tidak menimbulkan kesalahpahaman. Itulah sebabnya dia menggumam panjang sambil menggaruk pelipis.“Kalau soal--”“Dek!”Perhatian Egi dan Afi bermigrasi ke pintu. Dian melongokkan kepalanya di celah pintu yang tidak terbuka lebar.“Abang tinggal sebentar enggak apa-apa, ‘kan? Kakak sama keponakan kamu minta jemput. Katanya mau nengokin kamu juga.”‘Kakak’ berarti istri Dian. Afi hanya memiliki satu abang, yakni Dian. Afi terbiasa memanggil istri abangnya dengan sebutan ‘Kakak’. Menurutnya, panggilan ‘Mpok’ terkesan terlalu tua untuk perempuan yang usianya hanya beda beberapa bulan darinya.Afi segera mengangguk. Berharap bahwa abangnya bergegas pergi. Dia sudah tidak sabar ingin mendengar jawaban dari se
Rentetan rasa sesal dan keluhan yang dicetuskan Egi membuat Afi terpangah. Bukan karena dia tidak menyangka kalau dosanya sebanyak itu. Namun, dia lebih terkejut karena ternyata Egi seekspresif itu mengungkapkan emosi. Cenderung menyerupai wanita.“Kalau saya minta maaf, apa kamu bisa maafin?” tanyanya ragu.“Kok, kamu nanyanya kayak gitu? Kayak enggak serius gitu pengin minta maaf.”Benar, ‘kan? Dia seperti wanita yang sedang merajuk.“Saya tanya kayak gitu karena saya pikir kesalahan saya mungkin enggak bisa dihapus hanya dengan kata maaf.”“Memangnya kamu sadar kalau itu salah?”Afi terdiam sejenak. Raut mukanya tetap tenang. “Awalnya enggak,” ungkapnya jujur.“Nah, ‘kan? Kalau gitu ngapain minta maaf kalau enggak merasa salah? Percuma!”“Berarti benar, ‘kan, kalau kesalahan saya enggak bisa dihapus hanya dengan permintaan maaf?&r
Jika momen mendebarkan dan menyulut api gairah diinterupsi, kelanjutannya tidak akan sama lagi. Meskipun debaran masih ada, tapi api gairahnya telah padam. Tergantikan oleh tawa geli, bercampur sesal dan malu.Ya, bagaimana tidak malu jika bercumbu, tapi dipergoki pembantu? Namun, insiden barusan merupakan pembelajaran. Jika ingin sosor-menyosor, kuncilah pintu terlebih dahulu.“Saya sebenarnya mau lanjut, tapi kamu belum sarapan. Takutnya kalau disedot terus, kamu malah semaput gara-gara kehabisan tenaga,” kata Egi yang tentu saja hanya bercanda.Afi hanya menanggapinya dengan tawa. Membiarkan Egi keluar sebentar dan membawa masuk rak troli stainless berisi ragam menu sarapan. Mulai dari yang sweet sampai savory, berkabohidrat hingga junk food.“Banyak banget,” komentarnya sambil tertawa. “Kita cuma mau sarapan berdua, loh. Bukan makan siang sekeluarga besar.”“Saya enggak tau kamu lagi pengin makan apa. O
“Pelan-pelan, Gi. Jangan buru-buru! Kamu, sih, enak. Nah, saya?”“Iya-iya. Ini saya pelanin, ya, biar kita sama-sama keenakan.” Pria itu mendesah dengan bibir gemetar.Melihat tingkah konyol pria yang sedang memapahnya keluar kamar, kedua alis Afi pun berkumpul menjadi satu. Ekspresi geli dan tidak habis pikir terpajang di wajahnya.“Kamu ngapain, sih?”“Gara-gara kamu ngomong pelan-pelan dan bahas enak, saya jadi ngebayangin make out sama kamu,” ungkap Egi dengan jujur.“Astaga ....” Afi menggeleng-gelengkan kepala. Menatap miris pada pria yang membantunya duduk ke sofa. “Kayaknya kamu enggak bisa lepas dari seks bebas, ya.”Egi tersenyum. Tidak menganggap kalinat Afi barusan sebagai penghinaan. Dia malah mengacak-acak rambut Afi seraya meminta pengertian.“Mohon dimaklumi, ya. Orang yang udah kecanduan rokok aja berhentinya harus bertahap. Apalagi saya yan
“Kamu enggak menganggap Ayah ini sebagai orang tua kamu?”Ketegangan masih berlanjut. Sulit menghentikan orang tua yang kekesalannya sudah tersulut.“Bukan begitu, Yah. Ayah satu-satunya orang tua yang Egi punya.” Egi meraih tangan tua itu dan menciumnya lagi. Kali ini cukup lama tangan keriput itu bertahan di permukaan bibirnya.“Egi minta maaf udah salah ngomong. Egi juga minta maaf jarang nengokin Ayah. Egi cuma ... malu ketemu Ayah,” tuturnya jujur tanpa melepaskan tangan itu.“Malu apa lagi? Kamu itu cuma banyak alasan!”Meskipun terdengar tidak sudi memaafkan, Ginanjar tidak sekalipun mencoba menarik tangannya. Penglihatannya yang tak lagi jernih mencoba memandangi helaian rambut Egi yang terkuncir rapi.“Egi tau Ayah selalu memantau apa yang Egi lakukan di luar sana. Ayah pasti tau Egi sering main-main sama banyak perempuan.”“Jangankan di luar sana, affair kamu
Keramaian di rumah Egi nyatanya tidak berlangsung sejam-dua jam. Bahkan satu per satu sepupu Afi berdatangan.Hingga menjelang makan siang, satu keluarga besar yang terdiri dari 18 orang telah berkumpul dengan dua alasan; pertama menengok Afi yang tertimpa dua musibah besar dalam satu minggu, dan ke dua bersilaturahmi dengan Egi.“Apes banget, ya, nasib kamu, Mbak. Rumah ludes kebakar. Sekarang malah kakinya luka-luka kayak gini.”Sepupu Afi yang bernama Dara berucap prihatin. Dia tengah memapah Afi berjalan menuju ruang makan.“Enggak apes-apes banget, kok, Ra.” Egi yang mengekor di belakang keduanya lantas menyahut. “Bahkan musibah yang menimpa dia jadi berkah buat orang lain,” tambahnya.“Siapa yang dapat berkah, Om? Apotek? Pak RT yang makan duit sumbangan? Enggak ada, ya, istilahnya musibah membawa berkah. Itu cuma ucapan orang biar enggak sedih aja.”Egi sempat panik karena kelalaian Dara
“Bang!” Afi mencolek Dian yang duduk di kursi sebelah. Posisi terhalang kursi kosong. Bekas tempat duduk Egi. Dian yang kala itu tengah mengobrol bersama sang istri segera menoleh. Kedua alisnya terangkat sebagai pengganti kata tanya ‘kenapa?’. “Anterin ke kamar bisa enggak? Pinggangku pegal, nih.” Afi memelas sambil memukul-mukul belakang pinggang. Dian hanya ber-oh pendek, kemudian bangkit. Dia membantu Afi berdiri. “Mau ke mana?” tanya Kikan di kursi seberang. “Ke kamar, Ma. Pinggangnya sakit,” jawab Dian. “Bukan sakit, Ma. Pegal.” Afi meralat jawaban abangnya. “Mau te mana, Tan?” Abri menghampiri dengan mulut belepotan air semangka. Bahkan ada bijinya yang menempel di bawah mata. Entah sengaja ditempelkan atau karena dia terlalu hectic memakan buah kesukaannya. “Ke kamar. Mau ikut?” Abri menggeleng. “Aku mau di tini aja. Main tama Hugo, Tela, dan Jelly.” Anak itu belum bisa menyebut huruf K, S, dan R
“Kayaknya ... dia punya feeling sama kamu,” ucap Egi gamang. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar. Sebelah tangannya menjadi alas ke dua setelah bantal yang menopang kepala. “Enggak mungkin!” Afi menyangkal. Sama seperti Egi, matanya pun menatap kosong ke langit-langit. “Mas Denny itu cuma--” “Mulai sekarang, kamu harus panggil saya pakai embel-embel ‘Mas’,” serobot Egi sambil menoleh. Tadinya Afi ingin tertawa. Namun, setelah mendalami sorot mata dan ekspresi Egi, dia tidak menemukan adanya unsur candaan. Pria itu terlihat sangat serius. Apakah dia cemburu? Sebelumnya, Afi sudah memeriksa deretan nomor yang mengiriminya chat sejak dua hari silam. Tepatnya ketika dia mengiklankan mobil. Setelah memeriksa dan menyamakan satu per satu nomor dengan penelepon beberapa jam yang lalu, akhirnya Afi mendapatkan satu kesimpulan yang valid. Penelepon itu adalah Denny. Pembeli mobilnya, anak direktur, sekaligus kepala instalasi diklat d