“Bang!” Afi mencolek Dian yang duduk di kursi sebelah. Posisi terhalang kursi kosong. Bekas tempat duduk Egi.
Dian yang kala itu tengah mengobrol bersama sang istri segera menoleh. Kedua alisnya terangkat sebagai pengganti kata tanya ‘kenapa?’.
“Anterin ke kamar bisa enggak? Pinggangku pegal, nih.” Afi memelas sambil memukul-mukul belakang pinggang.
Dian hanya ber-oh pendek, kemudian bangkit. Dia membantu Afi berdiri.
“Mau ke mana?” tanya Kikan di kursi seberang.
“Ke kamar, Ma. Pinggangnya sakit,” jawab Dian.
“Bukan sakit, Ma. Pegal.” Afi meralat jawaban abangnya.
“Mau te mana, Tan?” Abri menghampiri dengan mulut belepotan air semangka. Bahkan ada bijinya yang menempel di bawah mata. Entah sengaja ditempelkan atau karena dia terlalu hectic memakan buah kesukaannya.
“Ke kamar. Mau ikut?”
Abri menggeleng. “Aku mau di tini aja. Main tama Hugo, Tela, dan Jelly.”
Anak itu belum bisa menyebut huruf K, S, dan R
“Kayaknya ... dia punya feeling sama kamu,” ucap Egi gamang. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar. Sebelah tangannya menjadi alas ke dua setelah bantal yang menopang kepala. “Enggak mungkin!” Afi menyangkal. Sama seperti Egi, matanya pun menatap kosong ke langit-langit. “Mas Denny itu cuma--” “Mulai sekarang, kamu harus panggil saya pakai embel-embel ‘Mas’,” serobot Egi sambil menoleh. Tadinya Afi ingin tertawa. Namun, setelah mendalami sorot mata dan ekspresi Egi, dia tidak menemukan adanya unsur candaan. Pria itu terlihat sangat serius. Apakah dia cemburu? Sebelumnya, Afi sudah memeriksa deretan nomor yang mengiriminya chat sejak dua hari silam. Tepatnya ketika dia mengiklankan mobil. Setelah memeriksa dan menyamakan satu per satu nomor dengan penelepon beberapa jam yang lalu, akhirnya Afi mendapatkan satu kesimpulan yang valid. Penelepon itu adalah Denny. Pembeli mobilnya, anak direktur, sekaligus kepala instalasi diklat d
Pendaratan mulus hairdyer di meja rias. Dilanjut dengan terangkatnya sisir cokelat bergagang runcing. Bilah-bilah sisir itu membantu Afi menyatukan semua helaian rambut sebelum dikuncir. Selesai menata rambut, Afi berlanjut memoles wajah. Tidak banyak effort. Hanya menabuhkan sponge bedak padat berwarna kuning langsat ke seluruh permukaan wajah. Diteruskan dengan memoles bibir dengan liptint merah. Tidak ada eyelash extention ataupun eyeliner. Afi membiarkan garis atas dan bawah matanya terlihat alami. “Loh? Kamu mau kerja?” tanya Egi yang baru keluar kamar mandi. Pria itu mengenakan bathrobe dan menggosok rambut yang basah dengan handuk putih. “Iya.” Afi memasang anting. “Udah tiga hari saya absen. Kalau enggak masuk terus, bisa ludes gaji saya kena potong.” Terhitung sudah lima hari Afi mendekam dalam rumah sejak tragedi yang menyebabkan sekujur kaki kanannya terluka. Jangankan melangkah, mengangkat kaki kanannya barang hanya sepuluh detik p
Di depan pintu masuk gedung rawat jalan, Afi tiba-tiba berhenti. Sejurus kemudian, dia membalikkan badan dalam keadaan kening berkerut.“Kamu ngapain?” tanyanya pada pria yang mengekor setengah langkah di belakang.“Memastikan cewek saya sampai ke ruangannya dengan selamat.” Pria itu menjawab enteng.Selanjutnya, Afi tidak bisa mengatakan apa-apa. Napasnya berembus pelan. Bibirnya membentuk segaris senyum tipis.Melihat reaksi kecil Afi, pria itu malah mengernyit. Kepalanya teleng ke kanan. “Maksud kamu bukan itu, ya?” tanyanya. Tampak meragukan jawaban yang sudah terlontar.“Emangnya apa maksud saya?” Afi menantang pria itu berpikir lebih keras.“Ini, ‘kan?” Egi maju selangkah. Meraih tangan Afi yang memegang tali tas, lalu menggenggamnya erat.“Kamu tanya ngapain saya jalan di belakang, ‘kan? Bukannya di samping layaknya laki-laki dan perempuan yang punya
Afi ingat betul, sebesar apa rasa syukurnya tadi pagi, ketika masih berada di rumah. Tidak ada tangga. Tidak ada lantai dua. Itulah yang dia bayangkan ketika akan memulai kerja hari ini.Nyatanya, keputusan untuk menghadiri in-house training K3 hari mendatangkan rasa sesal lumayan besar. Dia lupa kalau aula diklat--tempat pelaksanaan acara--berada di gedung rawat jalan lantai dua.Lupakan soal lift! Alat pengangkut manusia secara vertikal itu sedang dalam perawatan. Intinya, tidak bisa digunakan!“Kakimu kenapa, Fi?” tanya seorang wanita paruh baya berbadan lebar. Kedua matanya dilapisi kacamata dengan bingkai warna emas. Dia menaiki tangga, bersisian dengan Afi.“Jatuh, Bu,” jawab Afi sungkan. Tangannya bertumpu erat di pegangan tangga ketika kaki kanannya menginjak undakan demi undakan.“Owalah .... Jatuh dari mana, toh? Motor?”Afi menggeleng. Kemudian menceritakan kronologis kejadian nahas yang menimpa
“Besok saya ke luar kota lagi,” kata Egi menjelang detik-detik suapan terakhir.Afi yang sedang mengunyah menanggapi dengan anggukan. Meski rasa kehilangan menyelinap ke dalam hati, dia berupaya keras untuk menyembunyikan.“Bisa dua atau tiga hari.”Kali ini kunyahan Afi berhenti. Dia menoleh dalam keadaan terpegun.Banyak sekali dorongan yang menyuruhnya bertanya, ‘ke mana?’, ‘ada urusan apa?’, ‘kenapa selama itu?’. Namun, lapisan bibirnya seolah direkatkan dengan lem tikus. Rapat. Sulit terbuka.Melalui sorot mata dan ekspresi itu, Egi dapat menebak isi kepala Afi dengan mudah. Dia pun menjelaskan, “Saya menggantikan rekan yang harus sidang di luar kota. Dia lagi di-opname. Kena tifus. Dirawatnya di sini. Sebelum nyamperin kamu, saya tengokin dia dulu sama Jessica dan rekan-rekan lain.”“Kamu sama Jessica?” Afi mendadak tegang.Egi mengangguk.
“Haaaah .... Akhirnya selesai juga. Bosan, ‘kan, Fi? Pematerinya enggak asyik. Terlalu serius,” keluh ibu di sebelah Afi sambil berdiri dan menggantung tas di bahu kiri.Afi hanya tersenyum sungkan, meskipun membenarkan dalam hati. Tidak nyaman mengiakan karena di belakang mereka ada staf diklat yang lewat. Takut menyinggung. Bagaimanapun juga, merekalah yang mengundang pemateri.Afi sangat menyayangkan pasifnya pemateri barusan. Tidak aktraktif. Beliau seperti memberikan kuliah pada mahasiswa. Hanya sekadar duduk, mengulas point yang ditampilkan proyektor.Afi maklum kalau seandainya pemateri itu seorang lansia. Kenyataannya, pria itu masih berusia 40-an. Badannya masih gagah. Seharusnya dia memberikan materi yang fresh sambil berjalan menyapa peserta.“Laki-laki tadi siapa, sih, Fi?” Seorang wanita yang sepantaran dengan Afi datang menghampiri dan sekonyong-koyong mengajukan pertanyaan. Tangannya memegang cup mineral bersed
Afi tertawa miris melihat wanita bertopi putih yang berdiri di samping mobil Egi. Wanita yang membukakan pintu belakang untuknya. Wanita yang mengaku sebagai sopir yang dipekerjakan Egi untuknya.“Kamu bercanda?” tanya Afi tak percaya.Tidak mungkin. Mustahil. Apakah di dunia ini tidak ada wanita lain yang butuh pekerjaan sopir? Kenapa harus Tiara? Kenapa harus mantan Egi?“Coba ditelepon pacarnya. Tanyain. Lagi bercanda enggak?” Wanita itu menantang dengan tenang. Kemudian menutup pintu saat Afi benar-benar merogoh HP dalam tas.Sore ini Afi mendapati situasi yang begitu mengejutkan. Bagaimana tidak? Begitu sampai ke parkiran mobil khusus karyawan dan mendekati mobil Egi, keluarlah Tiara dari pintu kemudi.Tidak seperti sebelumnya yang selalu berpenampilan elegan dengan dress dan rambut ikal tergerai, kali ini Tiara tampil begitu kasual. Dia mengenakan celana jeans slim fit sepergelangan kaki, kaos polos berbahan spandex ya
Afi berjongkok di depan selokan. Berkumur, membersihkan sisa limbah pengolahan perutnya yang tertinggal di celah gigi dan rongga mulut.Di sebelahnya, Tiara mengguyur bagian dalam tas Afi dengan sebotol mineral kemasan satu setengah liter. Ekspresinya terlihat jijik. Bahkan beberapa kali memalingkan muka menahan mual.“Kamu sengaja banget, ya, muntah dalam tas? Biar dibeliin yang baru sama Egi?” tuduhnya yang tentu saja tidak serius. Dia hanya tidak habis pikir, kenapa Afi sampai memiliki ide menjadikan tas sebagai wadah muntah.“Kamu mau saya lapor ke Egi kalau kamu bikin saya muntah dalam tas?” tanya Afi jengkel. Dia tidak terima dituduh demikian. Bukankah Tiara sendiri yang membuatnya harus mengalami ini?Hari ini dia benar-benar lelah. Tidak seperti kemarin, materi pelatihan hari ini diisi oleh praktik lapangan.Selain praktik memadamkan api menggunakan apar, dia harus ikut melakukan simulasi keadaan darurat bencana. Den