Di depan pintu masuk gedung rawat jalan, Afi tiba-tiba berhenti. Sejurus kemudian, dia membalikkan badan dalam keadaan kening berkerut.
“Kamu ngapain?” tanyanya pada pria yang mengekor setengah langkah di belakang.
“Memastikan cewek saya sampai ke ruangannya dengan selamat.” Pria itu menjawab enteng.
Selanjutnya, Afi tidak bisa mengatakan apa-apa. Napasnya berembus pelan. Bibirnya membentuk segaris senyum tipis.
Melihat reaksi kecil Afi, pria itu malah mengernyit. Kepalanya teleng ke kanan. “Maksud kamu bukan itu, ya?” tanyanya. Tampak meragukan jawaban yang sudah terlontar.
“Emangnya apa maksud saya?” Afi menantang pria itu berpikir lebih keras.
“Ini, ‘kan?” Egi maju selangkah. Meraih tangan Afi yang memegang tali tas, lalu menggenggamnya erat.
“Kamu tanya ngapain saya jalan di belakang, ‘kan? Bukannya di samping layaknya laki-laki dan perempuan yang punya
Afi ingat betul, sebesar apa rasa syukurnya tadi pagi, ketika masih berada di rumah. Tidak ada tangga. Tidak ada lantai dua. Itulah yang dia bayangkan ketika akan memulai kerja hari ini.Nyatanya, keputusan untuk menghadiri in-house training K3 hari mendatangkan rasa sesal lumayan besar. Dia lupa kalau aula diklat--tempat pelaksanaan acara--berada di gedung rawat jalan lantai dua.Lupakan soal lift! Alat pengangkut manusia secara vertikal itu sedang dalam perawatan. Intinya, tidak bisa digunakan!“Kakimu kenapa, Fi?” tanya seorang wanita paruh baya berbadan lebar. Kedua matanya dilapisi kacamata dengan bingkai warna emas. Dia menaiki tangga, bersisian dengan Afi.“Jatuh, Bu,” jawab Afi sungkan. Tangannya bertumpu erat di pegangan tangga ketika kaki kanannya menginjak undakan demi undakan.“Owalah .... Jatuh dari mana, toh? Motor?”Afi menggeleng. Kemudian menceritakan kronologis kejadian nahas yang menimpa
“Besok saya ke luar kota lagi,” kata Egi menjelang detik-detik suapan terakhir.Afi yang sedang mengunyah menanggapi dengan anggukan. Meski rasa kehilangan menyelinap ke dalam hati, dia berupaya keras untuk menyembunyikan.“Bisa dua atau tiga hari.”Kali ini kunyahan Afi berhenti. Dia menoleh dalam keadaan terpegun.Banyak sekali dorongan yang menyuruhnya bertanya, ‘ke mana?’, ‘ada urusan apa?’, ‘kenapa selama itu?’. Namun, lapisan bibirnya seolah direkatkan dengan lem tikus. Rapat. Sulit terbuka.Melalui sorot mata dan ekspresi itu, Egi dapat menebak isi kepala Afi dengan mudah. Dia pun menjelaskan, “Saya menggantikan rekan yang harus sidang di luar kota. Dia lagi di-opname. Kena tifus. Dirawatnya di sini. Sebelum nyamperin kamu, saya tengokin dia dulu sama Jessica dan rekan-rekan lain.”“Kamu sama Jessica?” Afi mendadak tegang.Egi mengangguk.
“Haaaah .... Akhirnya selesai juga. Bosan, ‘kan, Fi? Pematerinya enggak asyik. Terlalu serius,” keluh ibu di sebelah Afi sambil berdiri dan menggantung tas di bahu kiri.Afi hanya tersenyum sungkan, meskipun membenarkan dalam hati. Tidak nyaman mengiakan karena di belakang mereka ada staf diklat yang lewat. Takut menyinggung. Bagaimanapun juga, merekalah yang mengundang pemateri.Afi sangat menyayangkan pasifnya pemateri barusan. Tidak aktraktif. Beliau seperti memberikan kuliah pada mahasiswa. Hanya sekadar duduk, mengulas point yang ditampilkan proyektor.Afi maklum kalau seandainya pemateri itu seorang lansia. Kenyataannya, pria itu masih berusia 40-an. Badannya masih gagah. Seharusnya dia memberikan materi yang fresh sambil berjalan menyapa peserta.“Laki-laki tadi siapa, sih, Fi?” Seorang wanita yang sepantaran dengan Afi datang menghampiri dan sekonyong-koyong mengajukan pertanyaan. Tangannya memegang cup mineral bersed
Afi tertawa miris melihat wanita bertopi putih yang berdiri di samping mobil Egi. Wanita yang membukakan pintu belakang untuknya. Wanita yang mengaku sebagai sopir yang dipekerjakan Egi untuknya.“Kamu bercanda?” tanya Afi tak percaya.Tidak mungkin. Mustahil. Apakah di dunia ini tidak ada wanita lain yang butuh pekerjaan sopir? Kenapa harus Tiara? Kenapa harus mantan Egi?“Coba ditelepon pacarnya. Tanyain. Lagi bercanda enggak?” Wanita itu menantang dengan tenang. Kemudian menutup pintu saat Afi benar-benar merogoh HP dalam tas.Sore ini Afi mendapati situasi yang begitu mengejutkan. Bagaimana tidak? Begitu sampai ke parkiran mobil khusus karyawan dan mendekati mobil Egi, keluarlah Tiara dari pintu kemudi.Tidak seperti sebelumnya yang selalu berpenampilan elegan dengan dress dan rambut ikal tergerai, kali ini Tiara tampil begitu kasual. Dia mengenakan celana jeans slim fit sepergelangan kaki, kaos polos berbahan spandex ya
Afi berjongkok di depan selokan. Berkumur, membersihkan sisa limbah pengolahan perutnya yang tertinggal di celah gigi dan rongga mulut.Di sebelahnya, Tiara mengguyur bagian dalam tas Afi dengan sebotol mineral kemasan satu setengah liter. Ekspresinya terlihat jijik. Bahkan beberapa kali memalingkan muka menahan mual.“Kamu sengaja banget, ya, muntah dalam tas? Biar dibeliin yang baru sama Egi?” tuduhnya yang tentu saja tidak serius. Dia hanya tidak habis pikir, kenapa Afi sampai memiliki ide menjadikan tas sebagai wadah muntah.“Kamu mau saya lapor ke Egi kalau kamu bikin saya muntah dalam tas?” tanya Afi jengkel. Dia tidak terima dituduh demikian. Bukankah Tiara sendiri yang membuatnya harus mengalami ini?Hari ini dia benar-benar lelah. Tidak seperti kemarin, materi pelatihan hari ini diisi oleh praktik lapangan.Selain praktik memadamkan api menggunakan apar, dia harus ikut melakukan simulasi keadaan darurat bencana. Den
“Gila, ya! Egi benar-benar ekstra memantau kamu. Saya pikir dia enggak bakal ‘ngeh’ saya kibulin begini,” kata Tiara sambil tertawa, sesaat setelah kembali memasuki mobil. Dia sempat keluar sebentar untuk membuka gerbang.Ya, sekarang mereka sudah sampai di rumah. Tadinya dia berniat mengajak Afi mengobrol di kafe. Namun, ancaman Egi mengapus jejak niatnya sampai ke akar-akar.Sebelumnya, meskipun Egi sudah mengancam akan menjebloskan ke jeruji besi, Tiara belum yakin kalau Egi sudah mengetahui identitasnya yang asli. Dia berpikir, mungkin saja Egi hanya mengetahui fakta kalau Tiara yang asli berada di tempat lain. Sangsi kalau Egi mengetahui Tiara yang saat ini berhadapan dengan Afi adalah mantannya.Namun, begitu Egi membentaknya, memaksanya bicara, barulah pria itu tertawa sinis. “Awas aja kalau kamu sampai menampar calon istri saya untuk yang ke dua kalinya. Saya enggak akan tinggal diam.”Dari situ, runtuhlah kerag
Afi merapatkan punggung ke sandaran. Napasnya dihela dengan pelan dan cukup dalam. Rasanya, ada satu beban besar yang menyesakkan dadanya. Entah apa.“Pertama, saya mau tanya dulu sama kamu. Boleh?”Tiara mengangguk. Kemudian mengambil piring puding. Bicara panjang lebar ternyata tidak hanya membuat kerongkongannya kering, tapi isi perutnya juga ikut terkuras.“Apa selama pacaran, kalian pernah berhubungan badan?”Pertanyaan Afi membuat puding yang ditelan Tiara keluar dari saluran pencernaan. Bahkan sepertinya tersesat ke saluran pernapasan. Wanita itu tersedak cukup parah sampai harus memukul-mukul dadanya.Anehnya, Afi tidak panik sedikit pun melihat reaksi tubuh Tiara. Dia diam saja melihat wanita itu terbatuk-batuk. Bahkan dia sudah bisa menarik satu kesimpulan dari reaksi itu.“Okay, enggak usah dijawab,” kata Afi setelah Tiara minum. “Saya udah dapat jawabannya.”Tiara menelan lud
“Egi, please ....”Afi berupaya keras menarik kepala dan mendorong dada Egi. Gila! Dia nyaris kehilangan napas. Egi benar-benar menghukumnya!Sekitar jam setengah sepuluh malam, Egi tiba di rumah. Sempat menengok Afi ke kamar tamu, pria itu keluar lagi untuk menepati janji pada Tiara.Entah apa yang mereka bicarakan, tapi durasinya tidaklah lama. Mungkin tidak sampai sejam, Egi sudah kembali ke kamar tamu, menjemput Afi.Ya, menjemput! Pria itu menggendong Afi ke kamar atas, lalu mencium bibirnya secara brutal. Katanya, itu adalah hukuman karena membuatnya khawatir selama di Riau.“Kamu tau, gara-gara kamu, saya enggak keruan selama di bandara. HP saya sampai kececer,” ucap Egi dengan napas terengah sebelumkembali membubuhkan kecupan menggebu.Sebenarya bukan hanya Afi yang mengalami defisit oksigen dalam paru-paru, Egi pun sama. Namun, gejolak rindu yang begitu kuat membuatnya enggan melepaskan bibir itu barang