Share

Laki Laki yang Nyebelin

Feri Ardiansyah, seorang pengusaha muda yang baru saja bertemu dengan Dina di depan toilet. Di usianya yang masih muda, Feri telah menyelesaikan kuliahnya dan saat ini menjabat sebagai CEO di perusahaan As Syifa. Meskipun Feri adalah anak dari seorang pemilik usaha, orangtuanya tidak pernah memanjakannya, sehingga Feri dituntut untuk mandiri dan tidak bergantung pada mereka.

Jika Feri melakukan kesalahan, ayahnya akan memberikan teguran dan bahkan memberikan hukuman seperti karyawan lainnya. Hal ini terjadi hari ini. Feri seharusnya menghadiri meeting satu jam yang lalu, namun karena ia terlambat lima menit, ayahnya yang menghadiri pertemuan tersebut dan memerintahkan Feri untuk menunggu di depan ruangan sampai pertemuan selesai.

"Ini semua karena wanita yang tidak jelas tadi. Andai aku tidak bertemu dengannya, pasti aku tidak akan berada dalam situasi seperti ini," gerutu Feri merutuki dirinya sendiri. Sejak satu jam yang lalu, ia masih menyalahkan perempuan yang tidak sengaja menabraknya atas keterlambatan dirinya.

Ceklek.

Pintu ruangan meeting, Feri yang awalnya duduk langsung berdiri saat Papanya berjalan keluar.

"Ikut ke ruangan papa," ucap Papa Feri langsung straight to the point, terlihat auranya yang dingin. Papanya Feri sendiri memang terkenal akan ketegasannya dan ia paling tidak suka jika ada karyawan yang lelet dan teldor dalam masalah apapun itu, bahkan hal sekecil apapun.

Feri yang mendengar itu langsung menghembuskan napas kasar, sudah bisa ia duga jika papanya akan marah akibat keterlambatannya tadi. Feri pun akhirnya memilih untuk mengikuti papanya dari belakang menuju ruangannya.

Deg deg

Feri Ardiansyah, seorang pengusaha muda, berdiri di depan pintu ruangan saat papa memasukinya dan duduk di kursi. Feri merasa tidak berani duduk dan memilih untuk tetap berdiri, menundukkan kepala. Meskipun papanya tergolong orang tua yang suka bercanda dengan anak-anaknya di rumah, namun dalam situasi seperti ini, Feri merasa tidak berani menatap langsung mata papa.

"Kamu sudah tahu apa kesalahanmu, Fer?" tanya papa dengan suara baritonnya, sedangkan tatapan matanya tajam mengarah ke wajah putranya.

"Ayah, tolong, ini bukan kesalahanku. Ini salah perempuan yang tadi, Papa," jawab Feri, mencoba memberi penjelasan kepada papanya. 

"Hah? Maksudnya? Kamu tidak perlu menyalahkan orang lain, salahkan dirimu sendiri. Mengapa bisa terjadi seperti ini? Coba jelaskan dulu," ujar papa dengan suara tegas. Beruntung papa bukanlah seseorang yang egois karena selalu mau mendengarkan penjelasan sebelum memberikan keputusan.

"Feri tadi ada seminar di kampus AL FATAH. Feri sudah berusaha secepat mungkin untuk ke sampai ke perusahaan tapi saat menuju ke parkiran ada seorang perempuan yang menabrak Feri dan membuat semua berkas yang Feri pegang jatuh. Feri masih mengurus itu, Papa, sehingga Feri datang terlambat. Selain itu, laptop dan flashdiskku jatuh ke air, jadi semuanya terlambat," jelas Feri. Dalam hatinya, Feri berharap papa mau memaklumi kesalahannya setelah mendengar penjelasan ini.

"Alasan saja. Kamu harus lebih hati-hati, sebagai seorang pengusaha, kamu harus bisa mengatur waktu dengan baik. Meskipun kamu sudah mempersiapkan semuanya, sudah berusaha untuk datang, kamu harus lebih berhati-hati. Kamu tidak bisa menyalahkan orang lain begitu saja. Siapa tahu kesalahan itu juga bagian darimu. Lain kali, jangan hanya menyimpan file di flashdisk dan laptop saja, tetapi juga di drive agar aman. Beruntung Papa hari ini tidak ada jadwal pertemuan sehingga bisa menangani klien dengan cepat dan baik. Kalau tidak, bisa-bisa proyek kita akan gagal, bahkan kita akan merugi besar," ujar papa dengan tegas.

"Iya, Pa. Saya minta maaf. Kedepannya, saya akan berusaha untuk lebih baik lagi," jawab Feri sambil menundukkan kepala.

"Tetap saja, kamu melakukan kesalahan dan konsekuensinya adalah kamu akan mendapat surat peringatan. Papa juga tidak ingin hal ini terulang lagi. Terus, mana file yang ayah minta tadi?" tanya Papa Feri dengan suara yang tegas.

Deg.

Feri, yang tiba dengan panik karena terlambat, lupa semua dokumen yang ia titipkan pada wanita sebelumnya. Feri berpikir, "Kenapa aku lupa? Sudah satu jam tapi wanita itu belum mengantarkan dokumen."

"Feri," panggil Papa Feri, namun Feri mengabaikan kata-kata ayahnya.

"Maaf, Pa. Aku terburu-buru tadi dan meninggalkan dokumen-dokumen itu pada wanita itu. Tapi jangan khawatir, aku sudah menyuruhnya untuk segera mengantarkannya ke perusahaan. Aku juga meminta wanita itu bertanggung jawab dan mengetik ulang semua dokumen yang dia rusak," jelas Feri.

"Kamu sudah gila, kenapa kamu menyuruhnya mengetik ulang semuanya? Seharusnya kamu tidak memintanya melakukan itu, itu banyak dokumen, apalagi kamu tidak mengenalnya! Di mana dokumen-dokumen itu sekarang, belum selesai?" tegur Papa Feri.

"Belum, Pa," jawab Feri. Dia tidak memberi alasan lagi karena dia tahu ini adalah kesalahannya yang ceroboh.

"Aku tidak peduli, dalam dua jam, semua barang itu harus ada di ruanganku. Sekarang, pergi dan jangan kembali sebelum selesai," perintah Papa Feri dengan tegas.

"Iya, Pa. Aku meminta maaf sekali lagi. Permisi," ucap Feri sebelum meninggalkan ruangan.

Feri keluar dari ruangan Ayahnya, Feri juga mengusap wajahnya kasar, dan menuju ke kantornya sendiri. Di koridor rumah sakit, ia tanpa sengaja melihat wanita yang menabraknya sebelumnya. "Bukankah itu wanita tadi? Apakah dia di sini untuk mengembalikan barang-barang?" gumam Feri saat melihat Dina berjalan bergandengan tangan dengan abangnya.

"Aku harus cek dengan satpam atau resepsionis, mungkin dia meninggalkan barang itu pada mereka," pikir Feri. Dia berjalan ke arah mereka dan bertanya tentang wanita tersebut, namun tidak ada yang tahu atau menerima barang dari wanita itu.

"Aku harus mencari wanita itu. Dia asyik sendiri sambil lupa mengembalikan barang-barangku," gerutu Feri sambil berjalan kembali ke tempat ia bertemu dengan wanita tersebut sebelumnya.

****

Dina dan Yazid sudah kembali ke rumah sakit lagi, setelah dari mall, ke rumah sakit, dan menuju perusahaan as syifa lalu kembali ke Rumah Sakit Ibnu Sina. Dina sendiri masih dalam kepanikan saat memasuki ruangan kakeknya yang belum sadar. Di dalam ruangan, sudah ada umi dan abinya, sementara kedua abangnya sedang dalam rapat penting dan akan menyusul kemudian.

"Bi, kenapa kakek masih belum sadar?" tanya Dina pada Abinya.

"Dokter tadi mengatakan bahwa ginjal kakek bermasalah, sehingga kakek harus melakukan cuci darah agar kondisinya membaik," jelas Abi Dina dengan wajah serius.

"Inalillahi Bi, kok sampai harus cuci darah?" tanya Dina syok, karena selama ini kakeknya jarang mengalami sakit serius, biasanya hanya sakit ringan karena faktor usia.

"Iya Nak, dokter menjelaskan bahwa masalah ginjal kakek sudah lama ada namun tidak pernah diobati," tambah Umi Aida.

Mendengar hal tersebut, bahu Dina terasa lemas. Dia merasa bersalah karena tidak menyadari masalah ginjal padahal sebelumnya Dina sendiri selalu memperhatikan kesehatan kakeknya.

"Kamu tenang saja, Nak! Insya Allah kakek akan segera sembuh. Kita harus banyak berdoa untuk kesembuhan kakek. Dokter juga mengatakan kakek tidak boleh stres, jadi kita harus memberikan semangat padanya agar cepat sembuh," ujar Yazid sambil memeluk adiknya dari samping.

"Apa ayah sudah dihubungi Bi?" tanya Dina lagi. Ayah yang dimaksud Dina adalah adik Abinya yang baru saja kembali ke mekkah tiga hari yang lalu.

"Sudah, Nak. Mereka mungkin akan datang besok atau lusa," jawab Abi Dina.

"Adek sudah salat ashar?" tanya Umi Aida.

"Belum, Umi," jawab Dina.

"Lebih baik sekarang adek sholat dulu ya, biar ditemani abang."

"Baiklah, ayo abang temani sholat dulu, nanti kita mampir ke kantin untuk membeli makanan," ajak Yazid.

Setelah sholat, Dina dan Yazid keluar dari ruangan kakeknya menuju masjid rumah sakit. Mereka singgah ke kantin terlebih dahulu untuk membeli makanan bagi orang tua dan saudaranya yang akan segera tiba. Sambil menunggu pesanan, Yazid meminta Dina untuk duduk di kursi kantin.

"Dek, boleh abang tanya sesuatu?" ucap Yazid.

"Tentu, apa yang ingin ditanyakan Abang?" jawab Dina.

"Apakah kamu sudah memikirkan perkataan kakek kemarin?"

"Hmm, sejujurnya Dina ingin menolaknya karena perjalanan Dina sebagai seorang pengusaha masih panjang. Dina tidak suka jika harus berhenti di tengah jalan. Dina masih mencari cara yang tepat untuk menolaknya agar kakek bisa menerimanya," ungkap Dina dengan jujur.

"Mau abang membantu bicara dengan kakek?" tawar Yazid.

Dina menggelengkan kepala, menandakan penolakan. "Biarkan Dina yang bicara langsung kepada kakek, ini menyangkut masa depan Dina. Dina akan mempersiapkan diri agar kakek tidak salah paham atau kecewa dengan penolakan Dina."

"Masyaallah, adik abang sudah dewasa," ucap Yazid sambil mengelus kepala adiknya dengan lembut.

"Ih, kan Dina sudah dewasa, Salwa sudah 22 tahun kalau Abang lupa."

"Tetap saja bagiku kamu masih anak kecil," goda Yazid.

"Abang, jangan bilang Dina masih kecil," protes Dina sambil menggembungkan pipinya.

"Iya, yang sudah dewasa. Abang hanya minta agar dalam waktu dekat ini jangan menyampaikan penolakanmu dulu, karena kakek masih dalam kondisi belum stabil. Kita tunggu kakek membaik baru kamu bicara dengan kakek," pinta Yazid.

"Iya, Abang. Dina pasti akan memprioritaskan kesehatan kakek," jawab Dina.

Setelah itu, Dina dan Yazid melanjutkan pembicaraan tentang hal lain. Tanpa disadari, ada seorang pria yang menatap tajam ke arah mereka.

"Wah enak sekali perempuan itu, malah asyik pacaran di rumah sakit, tidak tahu malu," gerutu Yazid yang sejak tadi mengejar mobil Dina dan Yazid, dan kini mereka berada di rumah sakit, duduk di kantin. Saat Feri hendak mendekati Dina, tiba-tiba asistennya memanggilnya.

"Selamat sore, Pak," ucap asisten tersebut.

"Sore, ada apa?" tanya Feri.

"Bapak diminta oleh ayah bapak untuk segera menangani rapat karena ada tamu yang datang ke perusahaan," jelas asisten tersebut.

"Hmm, baiklah. Saya akan segera ke sana," kata Feri sambil menuju ke tempat parkir. Dia tidak ingin terlambat dan ingin menghindari teguran dari papa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status