Share

Jodoh Karena Wasiat
Jodoh Karena Wasiat
Penulis: Syafa

Wasiat

Suara ketukan halus menggema di kamar Dina.

"Dina, Nak, boleh umi masuk sebentar? Umi Aida ingin berbincang sejenak," tutur Umi Aida dengan nada lembut, suaranya menembus celah pintu kamar putrinya

Dina yang tengah berkutat dengan tugas kuliahnya, sejenak menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara Umi. Tanpa keraguan, ia bangkit dari kursinya dan melangkah menuju pintu untuk membukanya.

Ceklek! Pintu kamar Dina terbuka, menampakkan wajahnya yang ceria.

"Iya Ummi, ada apa?" tanya Dina dengan nada penasaran.

"Ayo ikut ummi ke ruang tengah, kakek ingin bicara sesuatu," jawab Ummi Aida dengan senyum.

Dina mengerutkan keningnya sedikit. "Penting sekali ya Ummi? Dina lagi mengerjakan tugas nih, sebentar lagi hampir selesai. Apa bisa Dina menyusul saja nanti?" tanyanya dengan ragu.

Dina terbiasa dengan kedisiplinan dalam mengerjakan tugas. Ia selalu mematuhi prinsipnya untuk fokus dan menyelesaikan satu tugas hingga tuntas sebelum beralih ke tugas lainnya. Kebiasaan ini membuatnya selalu menyelesaikan tugasnya tepat waktu dan dengan hasil yang memuaskan. Bagi Dina, fokus adalah kunci utama untuk mencapai kesuksesan dalam belajar.

"Pesan kakek kali ini sangatlah penting, Dina. Kamu harus hadir di sana. Turunlah dulu ya, nanti bisa dilanjutkan belajarnya," tutur Ummi Aida dengan penuh kelembutan kepada putrinya.

"Baiklah, Ummi. Dina akan ambil hijab dan merapikan kamar sebentar dulu. Setelah itu, Dina akan turun," jawab Dina dengan penuh kepatuhan. 

"Baiklah, Nak. Umi akan menunggu di bawah," balas Ummi Aida.

"Terima kasih, Ummi Sayang," ucap Dina penuh rasa kasih sayang.

Dina segera melangkah kembali ke kamarnya untuk mengambil hijab. Ia selalu rapi dan teratur, dan tidak ingin meninggalkan kamarnya dalam keadaan berantakan. Sebelumnya, ia menyempatkan diri untuk merapikan kasurnya yang berantakan dan menyingkirkan buku-buku kuliahnya yang berserakan.

Meskipun di rumah, Dina sudah terbiasa menggunakan hijab sejak kecil. Ia hanya melepasnya saat berada di dalam kamar. Hal ini menunjukkan bahwa Dina adalah seorang gadis yang taat beribadah dan memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap agama.

Setelah selesai berbenah, Dina pun turun ke ruang keluarga. Di sana, ia mendapati seluruh anggota keluarganya sudah berkumpul. Ada abi, ummi, kakek, dan ketiga kakak laki-lakinya. Dina adalah anak bungsu dari empat bersaudara, dan satu-satunya anak perempuan dalam keluarga Farid.

Kakek tersenyum lebar saat melihat Dina datang. Ia sudah lama menanti untuk bertemu dengan cucunya tersayang ini. Dina pun menyambut kakek dengan pelukan hangat dan penuh kasih sayang.

"Assalamu'alaikum." Dina menyapa dengan suara merdu saat memasuki ruang keluarga.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah," sahut seluruh anggota keluarga serempak, menyambut kedatangan Dina dengan hangat.

"Maaf ya, Kakek, Dina terlambat turunnya," ujar Dina sambil duduk di samping Kakek dengan penuh rasa hormat.

"Tidak apa-apa, Nak," jawab Kakek Dina dengan kelembutan di suaranya. Dina memang selalu memiliki hubungan yang erat dengan kakek dan neneknya. Sejak kecil, ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama mereka karena kesibukan orang tuanya bekerja. Hal ini membuatnya lebih akrab dan dekat dengan kakek dan neneknya dibandingkan dengan orang tuanya sendiri.

"Ayah mau membahas apa ya?" tanya Afif ayah kandung Dina, penasaran dengan topik penting yang ingin dibicarakan oleh sang ayah.

"Ayah ingin membicarakan sebuah wasiat yang ditinggalkan oleh ibumu kalian sebelum meninggal," ungkap kakek dengan lirih. Kematian sang istri tercinta seminggu yang lalu masih meninggalkan luka mendalam di hatinya. Kakek merasa kehilangan semangat hidupnya tanpa kehadiran sang istri yang selalu menjadi pendamping setia.

"Khusus untuk Dina, namun kakek ingin kalian semua tahu."

Deg.

Jantung Dina berdegup kencang saat namanya disebut, entah mengapa ia memiliki firasat yang tidak nyaman saat ini. 'Semoga isi wasiatnya tidak aneh-aneh,' batin Dina.

"Wasiat yang seperti apa, Ayah?" tanya Afif.

Kakek mengambil napas panjang terlebih dahulu sebelum menceritakan isi wasiat istrinya. Ia juga menatap lekat wajah cucu perempuan kesayangannya itu.

"Wasiatnya adalah perjodohan Dina dengan cucu temannya nenek," ucap kakek dengan penuh kelembutan.

Dina terkejut mendengar berita tersebut. Ia tidak pernah membayangkan akan mendapatkan tanggung jawab sebesar ini. Pikirannya dipenuhi kebingungan dan ketidakpastian tentang kemampuannya untuk mengelola perusahaan tersebut.

"Ayah sebelumnya tidak setuju dengan rencana nenek kalian, tetapi demi nenek kalian, agar tenang di sana maka wasiat yang diberikan nenek untuk Dina, harus kakek sampaikan," lanjut kakek dengan meyakinkan.

Dina merasa terkejut. Apa yang diucapkan oleh kakeknya, begitu juga dengan ayah, ummi, dan kakak ketiga lainnya. 

"Dina, nenekmu berpesan sebelum meninggal ia ingin menjodohkanmu dengan cucu sahabatnya. Sebenarnya nenekmu berharap dapat melihatmu menikah sebelum dipanggil oleh Tuhan, namun takdir berkata lain. Nenekmu meninggal sebelum keinginannya terwujud," ucap kakek dengan sedih sambil menatap wajah Dina dengan penuh kelembutan.

Dina merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Pikirannya berkecamuk dengan campuran kebingungan, keberatan, dan ketidakpastian. Dina tidak pernah menyangka akan jika ia mendapatkan wasiat dari neneknya semacam ini dari neneknya yang dicintainya.

"Walaupun kita tak dapat mengubah takdir, nenekmu berharap kamu akan memberikan kesempatan ini sebuah pertimbangan yang serius," lanjut Kakek dengan suara menggumam, "Kamu adalah putri yang tangguh dan bijaksana, Dina. Saya yakin bahwa kamu akan mengambil keputusan yang tepat untuk dirimu sendiri."

Dina duduk dengan tatapan kosong, membiarkan kata-kata kakek menyusup ke dalam hatinya. Kesedihan dan kehilangan neneknya masih begitu terasa, namun pada saat yang sama, Dina merasakan panggilan tanggung jawab yang muncul di hatinya.

"Ayah ... aku harus memikirkan semua ini dengan sungguh-sungguh," kata Dina dengan suara pelan. "Saya berterima kasih kepada nenek yang begitu peduli dengan kebahagiaan saya. Tapi tolong beri waktu padaku untuk mempertimbangkan semuanya dengan matang."

Keluarga dengan penuh pengertian mengangguk, memberikan waktu yang diperlukan bagi Dina untuk memikirkan wasiat neneknya. Dalam keheningan yang terisi dengan campuran kecemasan dan harapan, Dina berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menjalani proses ini dengan kejujuran dan pikiran yang jernih, demi kebahagiaan dirinya dan menghormati keinginan terakhir nenek tercintanya.

Benar saja firasat Dina yang sudah tidak enak dari awal ternyata wasiat itu sesuatu yang tidak Dina sukai.

"Kakek, Dina masih terlalu muda. Aku tidak setuju jika Dina harus menikah dalam waktu dekat, apalagi saat ini dia masih kuliah Kek, biarkan dia fokus kuliah dulu," sanggah Yazid abang kedua Dina yang sangat protektif terhadapnya.

"Ulum juga tidak setuju! Mengapa nenek tidak menyuruh Kak Yazid untuk menikah terlebih dahulu? Mengapa kami harus menikahkan Dina terlebih dahulu?" sela Ulum, kakak ketiga Dina yang juga mengungkapkan ketidaksetujuannya.

"Awalnya kakek juga tidak setuju. Sekali lagi kakek minta maaf, karena ini wasiat yang harus kakek sampaikan."

"Tapi .... Kek .... Dina masih muda, Dina biarkan fokus kuliah dulu, dia ingin jadi pengusaha yang sukses,oleh sebab itu jangan halangi dengan mimpinya karena ingin menikahkan Dina dengan cucunya sahabat nenek," sanggah Ulum dengan sangat tegas.

Mereka tidak setuju dengan wasiat yang diberikan oleh neneknya karena mereka tahu bahwa Dina ingin fokus pada kuliahnya dan memiliki perusahaan yang terkenal dan sukses di masa depan. Oleh karena itu, mereka tidak setuju dengan perjodohan yang dilakukan oleh neneknya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status