Setelah berdebat dengan Jason kemarin, sang GM dari Erlangga Hotel itu mulai dilanda kecemasan yang tak karuan. Dia benar-benar merutuki kelengahannya karena kecolongan satu kesempatan emas untuk membuat Rena kembali bersamanya. Baru kali ini dia tak bisa tidur nyenyak karena memikirkan nasib sang mantan. Oh, lebih tepatnya takdir bagi dirinya sendiri karena masih belum bisa move on dari pesona Rena. Terlepas dari penyebab hubungan mereka yang kandas 11 tahun lalu, gadis itu tak pernah membuatnya murung seperti sekarang. Bahkan satu malaman dia memikirkan jalan keluar, tetap saja hasilnya nihil. “Apa kita masih ada jadwal meeting hari ini?” tanya Bara saat memeriksa berkas yang diserahkan oleh David. “Iya, Pak. Jam 11, setelah itu —“ “Handle setelahnya. Aku ingin pergi setelah jam makan siang,” potong GM itu tak ingin dibantah. Untuk sesaat David menghela napas pelan, dia bisa melihat kantung mata sang atasan yang jelas sekali menampakka
“Mari, Pak. Silakan diminum,” ucap Bu Risa sembari menunjuk dua gelas teh yang diberikan oleh salah satu pengurus panti. Bara mengangguk pelan. Dia mulai celingukan seolah sedang mencari sesuatu. Bu Risa yang sepertinya paham dengan apa yang dilakukan pria di hadapannya hanya mengulum senyum. “Bu Rena di mana sekarang?” tanya sang pemilik panti itu pada orang yang mengantarkan nampan berisi teh barusan. “Di dapur, Bu. Dia sedang menyiapkan menu makan malam,” jawab pengurus itu sembari pamit undur diri. “Oh, mungkin Bu Rena sedang menghangatkan makanan,” ucap Bu Risa bermonolog ria. Bara hanya memilih sikap acuh tak acuh seolah tak peduli dengan ungkapan sang pemilik panti barusan. Tak banyak yang dibicarakan oleh sang GM dan pemilik panti itu. Apalagi sejatinya Bara memang tak suka mengobrol banyak dan lebih memilih menjawab pertanyaan Bu Risa dengan kata ya dan tidak saja. Wajar saja jika perempuan paruh baya ini sedikit kebin
“Tolong antarkan Pak Bara ke kamar tamu ya, Ji,” titah Bu Risa yang segera diiyakan oleh pengurus panti itu. HASHYIM!! Baru saja berjalan beberapa langkah meninggalkan Rena dan Bu Risa, sang GM tampan itu kembali mengalihkan perhatian kedua perempuan yang masih menghuni ruangan tadi. “Pak, apakah Anda —“ “Saya baik-baik aja, Buk,” kata Bara memotong ucapan sang pemilik panti. Tanpa menunggu respon apapun, sang GM kembali berjalan mengikuti Aji yang akan mengantarkannya untuk beristirahat malam ini. Langkah kakinya terhenti saat menyadari tujuan mereka telah sampai. Sembari menunggu Aji membukakan pintu, Bara kembali menyapukan pandangannya ke sekitar area panti yang sudah berubah menjadi sepi. Meskipun ada cahaya temaram yang menerangi teras kamar itu, Bara tak menampik jika dia masih saja teringat dengan kejadian memalukan saat suasana mati listrik di sana beberapa bulan yang lalu. “Apa tidak ad
“Kenapa kau diam?” tanya Bara saat Rena tak memberikan jawaban apapun. “Bukan urusanmu,” ucap Rena yang kemudian meninggalkan Bara seorang diri. Sang GM tampan itu menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. Benar yang dikatakan Rena bahwa dia tak harus ikut campur dengan apa yang dilakukan oleh sang gadis. Sayang sekali dia harus kembali ke kantor saat ini juga. “Sudah mau berangkat ya, Pak?” tanya Bu Risa. Bara mengangguk, “Saya akan kembali lagi setelah semua urusan selesai, Bu. Tolong kabari kalau pihak Raksana Group datang sewaktu-waktu.” Pemilik panti itu mengiyakan dan mengantarkan sang GM hingga ke mobilnya. Pun ada Aji dan beberapa pengurus lain yang juga menemani Bu Risa melepas kepergian Bara. “Ada yang tertinggal, Pak?” tanya Aji saat melihat sang GM mengedarkan pandangannya ke sekitar mereka. Pria pemilik lesung pipi itu mendesah pelan lalu menggelengkan kepalanya. Dia memutar k
“Kau masih terlalu gampang dalam menilai arti sebuah kebahagiaan, Bar,” ucap Tora dengan pandangan tajamnya. Bara menyeringai pelan. “Oh ya? Katakan padaku apa yang Kakak dapatkan setelah menikahi kak Tita? Apa sikapnya yang posesif itu ‘kah?” “Apa maksud kalian?” Tuan William memandang kedua putranya itu secara bergantian. “Sudahlah, Pa. Tidak ada gunanya berbicara dengan Bara sekarang,” ucap Tora berusaha menghentikan perdebatan mereka. Tuan William mendesah pelan. Dia mengangguk saat sang putra sulung mengajaknya meninggalkan ruang kerja Bara. “Jangan berbicara sepatah kata pun, Vid. Kau sudah melihat bagaimana papa sangat membanggakan putranya itu ‘kan?” lirih Bara. David hanya diam dan kembali mengatupkan mulutnya yang hampir menganga. Sang asisten itu perlahan memundurkan langkahnya karena tak jadi mengucapkan sesuatu. Selang beberapa saat Ami mengetuk pintu ruangan dan berjalan menuju meja
Pembicaraan ringan yang penuh tawa itu terhenti saat Rena mendengar suara pekikan dari seorang anak panti yang ada di belakang mereka. “Bu, kami sudah selesai olah raganya. Apa boleh sekalian mandi?” tanya bocah lelaki berumur 11 tahun yang sudah berada di hadapan Rena. “Tentu. Keringkan dulu keringat kalian ya.” “Oke, Bu.” Setelah melihat kepergian anak itu, Rena mengerutkan sedikit dahinya karena memandang ekspresi Tora yang tak biasa. “Pantesan kayak bau asem. Eh, rupanya hmmm,” cibir Tora sembari mengenduskan indera penciumannya ke arah Rena. Gadi itu terkikik menahan malu karena ucapan barusan benar adanya. “Oh ya. Kakak belum bilang loh alasan datang kemari,” gumam Rena seakan sedang menuntut jawaban atas ucapannya. “Mandi dulu gih, enggak minat ngomong sama cewek cantik yang baunya kecut,” kilah Tora ada benarnya. Rena beranjak dari duduknya sembari mengerucutkan bibir. Masih diikuti oleh Tora yang berada
Pembicaraan dengan Tora sejak dua hari yang lalu masih terus tergiang di telinga Rena. Seharusnya memang gadis itu tidak perlu terkejut dengan sikap Bara yang memang berbuat sesuka hatinya sejak sebelas tahun yang lalu. Namun sekarang sepertinya sang GM tampan telah benar-benar sulit dikendalikan. Hal yang paling membuat Rena semakin merasa bersalah karena Tora mengatakan bahwa di hari mereka putus sangat berdekatan dengan meninggalnya mama mereka. Oh, bukankah Rena sudah tahu atau memang sudah lupa? Bahkan Bara dengan cepat mengambil keputusan untuk pindah kuliah ke London dan baru berani kembali ke tanah air dalam beberapa bulan ini. Sayang sekali niat seorang Adibara Erlangga tak semulus yang dibayangkan. Masa lalu yang dikubur dalam malah menguap begitu saja saat berjumpa dengan Rena lagi. ‘Kita sama-sama sedang terluka. Maaf karena aku enggak tahu harus bagaimana lagi. Rasanya mencoba kabur darimu sangatlah sul
Rena menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. Melihat kelakuan gadis di sampingnya, Jason pun berhenti melangkah. Kedua matanya menatap lekat Rena yang masih tidak dapat mengerti maksud ucapan barusan. Jason berdecak pelan lalu menjiwil hidung Rena hingga membuat gadis itu sukses mengerucutkan bibirnya. “Nggak usah basa-basi deh, to the point aja,” kesal Rena. Pria itu berdehem sejenak. “Bara itu sama manipulatifnya kayak mister William si tua bangka itu. So kamu lebih baik hati-hati. Setahu aku cuma dia yang tahu kalau kamu anak kandung papi. See?” “Terus apa hubungannya sama aku, Jason. Aku enggak ngelakuin apa-apa bahkan,” ucap Rena semakin tak mengerti. Kali ini justru Jason yang bergantian salah tingkah. Bibirnya tak sabar ingin mengungkapkan rahasia kelam yang membuat Raksana Group dan sang pemilik kedua hotel menjadi tak akur. Sayangnya ini bukan waktu yang baik karena jam kerja yang tinggi membuat Jason ha