KETIKA kemudian bangun di pagi hari yang berkabut, Tiara merasakan tubuhnya panas sekali. Dengan punggung telapak tangan disentuhnya kening untuk mengetahui seberapa panas suhu tubuhnya.
Tiara jadi terkejut sendiri sewaktu merasakan suhu di keningnya. Masih belum yakin, kedua telapak tangannya diselipkan ke bawah ketiak. Seketika terdengar suara keluhan dari mulutnya.
"Oh, panas sekali! Kenapa tubuhku ini?" batin Tiara.
Tak salah lagi, Tiara mengalami demam. Perasaan panik tiba-tiba saja menyergap gadis itu. Dengan mata nanar pandangannya diedarkan ke sekitar pondok. Tak ada siapa-siapa.
"Ke mana Abdi?" gumamnya mendapati sopir perusahannya itu tidak terlihat.
Seperti sebelum-sebelumnya, Tiara mengamati api unggun untuk mengetahui sudah seberapa lama Abdi pergi. Hal itu dapat ditebak dari panjang-pendeknya kayu paling atas di perapian itu.
Hati Tiara menjadi lega sewaktu melihat hanya terdapat potongan kecil kayu yang ujungnya menghita
ABDI lantas meninggalkan Tiara sendirian. Pemuda itu hendak menyiapkan menu makan pagi. Sarapan yang tertunda karena tadi pemuda itu langsung mengurusi Tiara begitu tahu atasannya itu demam tinggi. Ikan dan sukun yang dibawanya pulang segera diolah. Cara memasak yang dipakai masih seperti kemarin. Yakni dengan dibungkus daun, lalu dimasukkan ke dalam bola-bola tanah liat. Bulatan-bulatan tersebut lantas dikubur dalam bara api selama beberapa saat. Panas yang membakar permukaan tanah liat akan membuat sukun dan ikan di dalamnya matang. "Kita sarapan dulu, Bu," ajak Abdi setelah masakannya matang. Pemuda itu menata aneka hidangan buatannya di atas lantai pondok. Gerakannya sungguh sangat cekatan. Menu sarapan mereka kali itu masih sama seperti kemarin. Terdiri atas sukun, ikan sungai, serta beberapa dedaunan hijau. Meski sederhana, tapi kandungan gizinya tergolong lengkap. Setidaknya dalam hidangan tersebut ada karbohidrat di dalam sukun
SUASANA di antara kedua insan itu seketika berubah sendu. Tiara yang awalnya hanya menangis dalam diam, lambat laun berubah sesenggukan. Isak tangisnya terdengar menyayat hati. Gadis itu sudah tidak peduli lagi pada rasa sungkan dan malu pada Abdi. Juga tidak memusingkan posisinya sebagai direktur muda, yang notabene adalah atasan pemuda itu. Satu hal yang ingin dilakukan Tiara saat itu hanyalah menumpahkan segumpal rasa sesak di dalam dada. Ia ingin sumbatan tersebut hilang, agar perasaannya kembali menjadi lega. Sementara itu Abdi jadi bingung sendiri hendak berbuat apa. Pada akhirnya pemuda itu hanya dapat diam terpekur di tempatnya. Namun diam-diam Abdi merasa bersalah juga. Ia sadar tadi telah berkata begitu terus terang, yang tanpa ia sadari mungkin saja melukai hati Tiara. Sekali pun yang Abdi sampaikan tadi benar, tapi cara penyampaiannya semestinya dapat lebih diperlembut lagi. Pemilihan kata-katanya juga dapat lebih diperhalus.
UNTUK beberapa saat kedua anak manusia tersebut sama-sama diam. Tiara sudah kembali ke tempatnya semula, duduk bersandar di tiang pondok sembari memeluk kedua kaki. Dagunya ditempelkan di atas lutut. Sedangkan Abdi terlihat masih menata napasnya yang turun-naik akibat guncangan perasaan. Pemuda itu sungguh tidak menyangka bakal dipeluk Tiara sedemikian rupa. Sama sekali tak disangka-sangka. Sebagai pria yang mempunyai nafsu syahwat, tentu saja ada rasa senang pada diri Abdi. Setan di dalam dirinya pun langsung bekerja, membisikkan godaan-godaan untuk menjerumuskannya. Lihatlah, Tiara seorang gadis yang sangat cantik. Tubuhnya juga begitu menawan. Dan gadis itu sudah memelukmu, sedangkan di hutan ini hanya ada kalian berdua, tunggu apa lagi? Demikian bisikan-bisikan hawa nafsu di dalam diri Abdi bersuara. Namun benteng di dalam diri Abdi sangat kokoh. Ia tahu betul hal itu tidak boleh dilakukan. Hanya berdua-duaan laki-laki perempuan seperti mereka saj
DENGAN tatapan matanya yang masih agak mengantuk Tiara ikuti kepergian Abdi. Tubuh pemuda itu segera menghilang dalam kelebatan tanaman perdu yang memenuhi bagian bawah pepohonan. "Lihatlah, Tiara, pemuda itu selama beberapa hari mendedikasikan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk menjagamu," batin Tiara saat tubuh Abdi sudah lenyap dari pandangan. "Pantas saja kalau dia merasa jengkel sewaktu aku membohonginya kemarin. Aku memang keterlaluan! Untung saja dia tidak menepati ucapannya yang tidak akan mau ambil peduli kalau terjadi apa-apa denganku," lanjutnya. Karena masih mengantuk, Tiara akhirnya kembali tertidur. Gadis itu sebetulnya juga merasakan tubuhnya pegal-pegal. Terutama pada bagian betis dan paha. Mungkin kelelahan akibat berjalan jauh tempo hari baru dirasakannya sekarang. Paduan rasa kantuk dan lelah membuat tidur direktur utama PT Tirya Parkindo itu sangat nyenyak sekali. Sangat nyenyak sekali, sampai-sampai ia tidak tahu jika Abd
DEMAM yang dialami Tiara ternyata sejenis panas yang naik-turun. Di pagi hari saat bangun dari tidur, suhu tubuh gadis itu terasa agak dingin. Tidak terlalu panas, tapi juga tidak seperti suhu normal. Namun saat menjelang malam, suhu tubuh gadis itu kembali naik tinggi. Saking panasnya sampai membuatnya menggigil. Sehingga ia harus memeluk kaki setiap kali duduk, dan meringkuk saat tidur. Melihat itu Abdi langsung mafhum, demam yang diderita atasannya disebabkan oleh kecapaian. Kuat dugaannya itu karena tempo hari gadis tersebut memaksakan berjalan jauh padahal kakinya masih cedera. "Kepala Ibu terasa pusing tidak?" tanya Abdi, ketika di kepalanya muncul dugaan penyakit lain. Tiara hanya gelengkan kepala dengan lemah. "Badan merasa lemas, mungkin?" tanya Abdi lagi. Ia tidak mau atasannya itu mengidap tipes. "Nggak," jawab Tiara singkat. Suaranya terdengar agak parau. Abdi menjadi lega mendengarnya. Kalau sampai panas yang diala
DITANYA begitu oleh atasanya, mau tak mau Abdi jadi kecut juga. Tentu saja ia sama sekali tak ada niat untuk menyindir. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Tiara yang sedang ada masalah asmara tidak bisa disalahkan bila berpikir begitu. Abdi langsung terdiam dibuatnya. Dengan takut-takut si pemuda menatap serba salah pada Tiara. Atasannya itu tampak menunjukkan wajah tidak senang. "Waduh, alamat Bu Bos marah lagi nih," batin Abdi sembari menelan ludah. "Mmm, sama sekali tidak ada niat saya untuk menyindir siapa pun, Bu. Apalagi menyindir Ibu," jelas si pemuda kemudian. Sementara Tiara juga jadi merasa tidak enak sekali. Gadis itu sadar telah bersikap berlebihan. Bukankah ucapan Abdi itu sesuatu yang umum saja? Bahwa memang pengalaman pahit tak ubahnya obat dalam kehidupan. Lagi pula, bagaimana mungkin Tiara menuduh Abdi menyindirnya, sedangkan persoalan antara dirinya dan Ryan saja pemuda itu tidak tahu-menahu. Gadis itu seketika geleng-gelengkan k
SUASANA sendu di antara kedua anak manusia itu berlangsung untuk beberapa saat. Tiara masih terus tertunduk, semakin menyesali dirinya yang telah bersikap semaunya sendiri.Padahal selama terperangkap di dalam hutan ini dirinya terima beres saja. Ikut mencari bahan makanan, tidak. Ikut mengolahnya, juga tidak. Gadis itu tahunya hanya makan dan tidur saja.Di Jakarta memang Tiara juga seperti itu. Terima beres saja, makan tinggal makan. Tapi bedanya, ia mendelegasikan urusan masak-memasak dan juga mengurus rumah karena sibuk dengan urusan bisnis."Sedangkan di sini, aku terima beres karena mengalami cedera. Dan itu karena kebodohanku sendiri!" rutuk Tiara dalam hati.Seketika gadis teringat betapa marah dirinya ketika mendapat telepon dari Ryan. Kemarahan yang menyebabkannya hilang kendali, lalu menabrak pembatas jalan dan masuk ke hutan yang berada di jurang dalam.Andai saja waktu itu dirinya dapat lebih menguasai diri. Tentulah semua ini tidak ak
TIARA lantas mengeluarkan blazer dari dalam tas tangan. Ketika kemudian dilihatnya Abdi berlalu pergi menuju sungai, bergegas gadis itu melepas pakaiannya dan membasuh tubuh yang berkeringat dengan air.Awalnya hanya blus putih yang dilepas Tiara. Tapi saat mengetahui bra yang ia kenakan juga basah oleh keringat, gadis itu pun turut melepasnya. Disembunyikannya benda tersebut di dalam gulungan blus, dan diletakkan di sudut pondok.Usai mengeringkan tubuh dengan tangan sebisanya, Tiara memakai blazernya. Setelah itu ia merasa sangat lega. Badannya terasa kembali segar setelah diusap air tadi. Gerah yang tadi menyelimutinya perlahan-lahan berganti kesejukan.Tepat saat Tiara selesai berpakaian, Abdi kembali dari sungai. Wajah, kedua tangan, serta kaki pemuda itu tampak basah.“Kenapa cepat sekali?” tanya Tiara. Abdi memang hanya sebentar saja ke sungai."Saya kelupaan sesuatu, Bu. Jadi ini mau ambil dan langsung ke sungai lagi," jawab Abd