ABDI gelagapan dipeluk begitu rupa. Antara kaget dan juga merasa tidak, sebab ada Pardi di sana. Tapi pemuda itu tidak bisa apa-apa. Tubuhnya terdorong ke jok mobil akibat tubrukan Tiara.
Pardi yang sejak awal berangkat sudah memahami gelagat Tiara, menjauh dari mobil. Lelaki berusia paruh tiga puluhan tahun tersebut menutup pintu mobil bagian depan, lalu pergi entah ke mana.
Tinggallah Tiara dan Abdi berdua saja di dalam mobil, masih berpelukan. Tiara seolah tidak ingin melepaskan pemuda di dalam rangkulan tangannya. Didekapnya si pemuda erat-erat. Tangisnya pecah.
"Lho, kenapa menangis?" tanya Abdi kebingungan.
Tangan si pemuda mulanya hanya diam, tak membalas pelukan Tiara. Tapi begitu mendengar gadis itu terisak, buru-buru dilingkarkannya kedua tangan ke tubuh si gadis.
Tiara tak menjawab pertanyaan Abdi. Justru isaknya yang semakin menjadi. Gadis itu juga bingung, mengapa dirinya menangis. Sedih mendengar kabar Abdi sudah bertunangan?
A
UNTUK beberapa saat Abdi tidak menjawab pertanyaan Tiara. Tapi kemudian pemuda itu berpikir lagi. Memangnya gadis itu butuh jawaban? Lagi pula, ucapannya tadi tidak memberi ruang pada jawaban tidak."Selain Ibu, yang tinggal di rumah siapa saja?" tanya Tiara lagi, mengagetkan Abdi."Mmm ..." Abdi bingung sesaat, tapi segera menjawab, "Sekarang ya sama saya. Kalau pas saya kerja di Jakarta seperti kemarin, Ibu tinggal sendiri. Hanya sesekali kakak datang menemani di akhir pekan."Tiara manggut-manggut. Ada rasa iba di dalam hati si gadis mengetahui hal tersebut. Tinggal sendirian di usia senja tentunya bukan keadaan yang diinginkan siapa pun. Tapi agaknya ibu Abdi tidak punya pilihan."Oya, tadi katanya mau cari buah?"Pertanyaan Abdi menyadarkan Tiara dari lamunan. Gadis itu buru-buru mengangguk. Entah berapa lama mereka berhenti di tempat itu gara-gara pertanyaan boleh menginap atau tidak."Ayo, di mana toko buahnya?" kata Tiara kemudian.
INSIDEN kecil di toko buah rupanya membuat posisi Tiara menjadi sulit. Perempuan yang dipanggil Eneng oleh Abdi tadi ternyata benar tunangan pemuda itu.Nama asli perempuan tersebut Atisaya. Sebuah kata dalam bahasa Sunda Kuna yang berarti 'sosok yang sangat cantik'. Ia biasa dipanggil Ati. Namun khusus Abdi dan kedua orang tuanya memanggil Eneng."Kamu nggak kejar dia sih? Dia marah tuh," kata Tiara setelah Abdi menceritakan dengan singkat.Meski terdengar sebagai ucapan penuh kepedulian, namun Tiara menyampaikannya dengan nada tidak enak. Diam-diam memang ada rasa kesal dalam dada si gadis mengingat sikap Ati tadi."Tidak usah, tidak apa-apa," jawab Abdi. Boleh saja ia terlihat tenang. Tapi pemuda itu tak dapat menyembunyikan raut cemas di wajahnya."Lagi pula kalau saya kejar dia, nanti Ibu sama siapa? Kan nggak tahu musti ke mana," lanjut Abdi, yang kontan disambut dengan pelototan mata Tiara."Ibu lagi, ibu lagi," sahut si gadis sembari
TEPAT pada saat itulah Abdi kembali. Langkah si pemuda sontak terhenti di ambang pintu kamar melihat ibunya disuapi Tiara. Sebentuk rasa aneh seketika berdesir di hatinya.Tiara menyambut kedatangan Abdi dengan senyum manis. Melihat wajah kuyu si pemuda, gadis itu tahu Ati kembali berulah. Sungguh tidak tahu tempat dan waktu, batin Tiara.Abdi berdiri serba salah untuk beberapa saat. Antara merasa tidak enak hati melihat Tiara, atasannya, menyuapi ibunya. Di sisi lain, ia khawatir dianggap tidak sopan jika menghentikan apa yang dilakukan gadis itu."Gimana si Eneng tadi? Kok nggak ikut balik?" Tanpa diduga-duga Tiara bertanya begitu.Mulut Abdi sudah membuka hendak menjawab. Namun suara ibunya sudah mendahului."Sudah atuh, Neng. Soal si Ati mah tidak usah diambil hati," kata ibu Abdi.Tiara hanya manggut-manggut sebagai tanggapan. Ucapan ibu Abdi tadi terdengar sebagai basa-basi biasa saja. Namun Tiara menangkap sesuatu di sana. Seketika se
TIARA tak tahu harus berkata apa-apa lagi setelahnya. Satu kata dari Abdi barusan langsung membuat suasana hati si gadis berantakan. Perasaannya menjadi kacau tak karuan. Selama beberap saat Tiara hanya diam. Kepala ditundukkan dalam-dalam, menghindari tatapan mata Abdi. Ia tak mau pemuda itu membaca isi hatinya dari raut wajah maupun sorot matanya. Namun hanya sebentar saja Tiara menunduk. Beberapa menit berselang si gadis sudah angkat kepalanya lagi. Matanya mendadak terasa panas. Lalu ada sesuatu yang basah mengembang di sana. "Oh, hatiku. Semoga kau baik-baik saja. Belum terlalu lama laki-laki yang kau percayai berkhianat. Kini, pelabuhan baru yang kau harapkan dapat dijadikan sebagai tempat bersandar, ternyata sudah menjadi milik orang lain." Tiara menghela napas panjang. Mencoba membuang jauh-jauh rasa sesak yang seketika muncul. Sepasang matanya yang mulai berkaca-kaca dipejamkan rapat-rapat. Susah payah Tiara menahan agar air mat
HOTEL tersebut kecil saja. Namun penampakannya sungguh menawan hati. Berupa bangunan dengan arsitektur era kolonial berlantai dua. Halamannya sangat luas, dengan taman indah pada bagian tengah.Tiara langsung terpana sejak pertama kali memandang bangunan tersebut. Mulanya ia mengira itu museum. Tapi segera paham begitu melihat papan nama besar yang memampangkan sebuah nama hotel.Tidak butuh berpikir dua kali bagi Tiara untuk membelokkan kaki. Si gadis memang penggila bangunan bersejarah. Itu sebab ia sering melarikan diri ke Eropa Timur saat masih kuliah di Amerika Serikat."Awaaas!"Sebuah teriakan keras mengagetkan Tiara. Lamunan akan indahnya bangunan-bangunan bersejarah di Eropa Timur mendadak lenyap dari kepala gadis itu.Spontan Tiara menoleh ke arah asal teriakan. Seketika itu pula si gadis menjadi kaget. Wajahnya berubah tegang, dengan sepasang mata membelalak lebar.Ciiiitttt ...!Sebuah SUV hitam menabrak Tiara. Gadis itu m
SETELAH membereskan urusan check ini, Tiara langsung mengendap di dalam kamar. Gadis itu memilih menikmati pemandangan dari balkon kamar selepas mandi dan berganti pakaian.Sembari itu, berulang kali tangannya mengangkat kartu nama dalam genggaman. Diam-diam Tiara mengingat-ingat, Theo yang mana ini. Ia merasa masih agak ragu dengan dugaannya sendiri."Mmm, coba aku hubungi Sinta. Mungkin saja dia ingat," batin Tiara kemudian.Berpikir sampai di sana gadis itu cepat raih ponsel yang tergeletak di atas meja kecil. Di antara piring berisi aneka puff pastry dan cangkir berisi kopi latte yang ia pesan melalui room service tadi."Selamat sore, Ibu," sapa Sinta dari seberang telepon."Kamu kenapa? Kok suaranya seperti bindeng begitu?" tanya Tiara tanpa basa-basi. Suara sekretarisnya itu memang terdengar seperti sedang flu."I-iya, Bu. Saya memang agak pilek ini," jawab Sinta sembari tertawa kecil."Kok nggak istirahat dulu sih? Kan bisa min
MALAM baru saja datang ketika telepon di kamar Tiara berbunyi. Gadis itu tak langsung mengangkatnya Justru kerutkan kening dalam-dalam, bertanya-tanya sendiri."Kok ada yang telepon sih? Siapa?" bisiknya dalam hati.Tiara mengingat-ingat siapa saja yang sekiranya tahu ia sedang menginap di hotel ini.Tapi sepertinya tidak ada, kecuali Theo. Itu pun pemuda tersebut tak tahu di kamar nomor berapa dirinya menginap.Ah, kecuali pemuda itu ....Tiba-tiba saja Tiara terpikir sesuatu. Bergegas ia meloncat dari tempat tidur dan mengangkat telepon."Ya, halo?""Selamat malam, Ibu Tiara.""Iya, kenapa?""Maaf mengganggu, Bu. Tapi ada tamu yang sedang menunggu Ibu di lobi. Bapak Theo."Tiara langsung tersenyum lebar mendengar nama itu. Benar dugaannya, Theo pasti tahu cara untuk menemukan di kamar mana dirinya menginap.Diam-diam Tiara agak menyesal kenapa dirinya tidak menggunakan layanan incognito tadi. Tapi, tidak ap
MESKI merasa sangat nyambung dengan Theo, tapi Tiara tetap berusaha menjaga jarak. Bagaimana pun dirinya masih berstatus tunangan Ryan. Status yang kini sangat ia benci.Gadis itu juga masih menyimpan jati dirinya. Sampai kemudian mereka tiba di restoran tujuan, Theo belum tahu siapa sebenarnya Tiara.Theo berpikir Tiara hanyalah karyawan di PT Tirya Parkindo. Paling tinggi seorang manajer. Dan karena etika yang ia junjung tinggi, pemuda tersebut tidak sekali pun berniat mengorek hal itu lebih jauh."Kamu ada makanan yang jadi pantangan?" tanya Theo ketika mereka mulai memasuki kawasan pantai.Tiara cepat menggeleng."Nggak ada sih. Apa saja suka," sahutnya, sembari memerhatikan ke segala arah.Kawasan pantai yang mereka masuki sangat ramai. Suasana bagaikan siang hari di sana. Terang benderang oleh deretan lampu besar-besar.Warung-warung makan dan beberapa restoran berjejer rapi di kanan-kiri jalan. Masing-masing menawarkan menu and