ABDI lantas mencabut tanaman perdu tadi. Ia yakin sekali bayangan tanaman mungil itulah yang dilihat Tiara dan membuat atasannya tersebut ketakutan setengah mati.
Posisi perdu tersebut dekat dengan api unggun, sehingga membuatnya memantulkan bayangan besar ketika ditimpa siraman cahaya api unggun. Dua helai daun lebarnya terlihat menyerupai tangan, sedangkan kuncupnya yang lonjong mirip kepala."Sekarang bagaimana, apakah Ibu masih melihatnya?" tanya Abdi lagi.Takut-takut Tiara arahkan pandangannya ke tempat ia melihat bayangan hitam besar tadi. Sudah tidak ada! Ia bersorak girang dalam hati. Perasaan direktur muda PT Bira Indo Parking itu pun menjadi lega bukan main."Bayangan apa itu tadi?" Tiara bertanya penasaran ketika Abdi kembali masuk pondok. Wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa ketakutan."Ini," jawab Abdi singkat. Tangannya menunjukkan tanaman perdu yang tadi ia cabut. Bibir pemuda itu mengulas senyum.TiarENTAH berapa lama Tiara terbuai dalam alam mimpi. Gadis itu terjaga ketika merasakan udara yang sangat dingin menyelimuti tubuhnya. Ia sampai menggigil hebat, deretan giginya yang rata bergemeletuk saling adu.Perlahan Tiara buka kelopak kedua mata. Masih terasa lengket karena jeratan rasa kantuk, namun akhirnya dapat nyalang juga. Oh, pantas saja! Batin gadis itu mendesah.Begitu pandangan Tiara menangkap keadaan di luar pondok, yang terlihat hanyalah embun tebal berwarna keputihan menggantung di udara. Suasana masih sangat temaram, pertanda matahari belum muncul."Brrr, dinginnya! Rasanya jauh lebih menusuk dari udara dingin di Antartika!" desis Tiara sembari sedekapkan kedua tangannya erat-erat di depan dada.Gadis itu memang pernah berlibur ke Antartika selama beberapa hari, didorong oleh rasa penasaran akan kehidupan masyarakat di sana. Seingatnya, kurang-lebih seperti inilah hawa dingin yang biasa ia rasakan selama berada di benua es
ALIH-ALIH mengolah ikan tangkapannya, Abdi malah mendekati Tiara. Ia meminta atasannya itu untuk meluruskan kaki. Sebab engkel yang memar harus kembali dikompres.Tiara menurut tanpa banyak tanya. Sejak pergelangan kakinya terkilir, gadis itu langsung terkesan pada cara Abdi mengatasi cedera yang ia alami. Jadi, ia cukup pasrah saja,Perlahan-lahan Tiara tumpangkan kedua kakinya pada tepian ayunan satu lagi. Saat Abdi meletakkan lipatan kemeja basah ke atas pergelangan kaki yang memar, gadis itu merasakan satu kenyamanan yang begitu melenakan."Bagaimana cara kamu menangkap ikan-ikan itu?" tanya Tiara sembari tatap wajah bawahannya yang tengah mengepaskan letak kompres.Hati si gadis kembali berdesir saat berlama-lama menatap wajah Abdi. Harus ia akui, pemuda itu memiliki pesona yang sulit ditolak. Tidak terlalu tampan, tapi keseluruhan penampilannya menarik mata."Tadi sewaktu mengecek bangkai mobil secara tidak sengaja saya meliha
TAK sampai lima belas menit berlalu, Abdi sudah selesai memanggang semua ikan hasil tangkapannya di sungai. Hidangan sederhana tersebut ia jejerkan di atas sehelai daun lebar di atas batu besar.Abdi rupanya sudah mempersiapkan alas makan pula. Pemuda itu membuat beberapa piring dari anyaman tanaman sulur. Mirip piring anyaman lidi yang ada di restoran khas Sunda tempat mereka makan siang kemarin.Satu lagi yang tak disangka-sangka, Abdi juga sudah punya sebuah kuali dari tanah liat. Selepas membakar ikan, kuali berisi air sungai tersebut ditumpangkan ke atas tumpukan bara yang panas menyengat."Astaga! Ini semua kamu kapan bikinnya?" tanya Tiara takjub setelah dibopong Abdi ke atas batu tempat duduk di dekat api unggun.Abdi hanya tersenyum lebar."Saya juga punya ini, Bu," sahutnya sembari menunjukkan dua buah gelas tanah liat.Tiara kontan melongo. Berarti selama dirinya masih terlelap tadi Abdi sudah melakukan ban
ABDI angkat kepalanya, memandangi wajah Tiara yang menunjukkan ekspresi penyesalan. Gadis itu agaknya teringat pada rencana ke Batang dan Kendal yang berantakan."Tidak perlu disesali, Bu. Sudah seperti ini jalan nasib kita, mau bagaimana lagi?" sahut Abdi dengan nada menyejukkan.Tiara menyeringai tipis."Jalan nasib, katamu?" ulangnya dengan kedua alis terangkat."Ya, jalan nasib," jawab Abdi sembari mengangguk. "Kalau kita sudah digariskan terperangkap dalam hutan seperti ini, mau menghindar bagaimana pun juga akan ada penyebab yang membawa kita bakal berada di sini."Sebaliknya, kalau kita digariskan tiba di Batang malam tadi, apa pun yang jadi penghalang tidak akan bisa menghentikan perjalanan kita. Kita akan tetap sampai di Batang semalam."Tanpa sadar Tiara mencibir. Sungguh satu pemikiran yang aneh, batinnya. Sejak mencapai usia dewasa, gadis itu kerap mempertanyakan konsep jalan nasib seperti yang baru saja d
MESKI sudah sangat ingin menyiram sekujur badannya dengan air, Tiara terpaksa harus menahan keinginan tersebut untuk beberapa saat. Pasalnya, Abdi bersikeras ingin membuatkan semacam kamar mandi di tepi sungai.Sebenarnya Tiara merasa itu terlalu berlebihan. Lagi pula hanya ada mereka berdua di hutan tersebut. Tidak ada orang lain lagi. Jadi, tidak akan ada yang melihat gadis itu mandi.Pikir Tiara, kalau tujuan Abdi membuat kamar mandi untuk menjaga pandangan, kan pemuda itu tinggal pergi saja sewaktu dirinya mandi? Nanti kembali lagi saat Tiara sudah selesai dan harus dibopong ke pondok. Tidak harus menunggui terus-terusan.Namun, di sisi lain Tiara juga tidak yakin apakah dirinya berani mandi di sungai sendirian. Bagaimana kalau nanti terjadi apa-apa dengannya? Bertemu dengan hewan-hewan melata, misalnya? Maka ia pun akhirnya setuju saja dengan niat Abdi tersebut."Kira-kira berapa lama ya kamu selesai bikin itu?" tanya Tiara. Ia benar-
BEGITU Abdi keluar dari kamar mandi sederhana tersebut, buru-buru Tiara buka seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya. Termasuk pakaian dalam. Ia tak ragu-ragu bertelanjang bulat.Tak lama kemudian sudah terdengar suara jebar-jebur air yang sangat riuh.Sebagai gayung penciduk air, Abdi memetik sebuah daun lebar yang ditekuk sedemikian rupa sehingga berbentuk corong. Bagian ujung daun yang bertemu satu sama lain disatukan dengan tusukan duri panjang. Sungguh sangat kreatif pemuda itu.Selesai mandi Tiara mencuci blazer dan pakaian dalam. Tadi sewaktu melepas pakaian-pakaian tersebut dari tubuhnya, gadis itu mencium bau tidak sedap. Walau hanya dibasahi air lalu dikucek-kucek di atas batu, setidaknya keringat yang menempel dapat dibersihkan.Inginnya Tiara sih semua pakaian yang dikenakannya sejak kemarin itu dicuci. Tapi nanti ia mau pakai apa? Jadi terpaksa gantian. Kali ini blazer dan pakaian dalam dulu yang dicuci. Nanti sore baru blus dan
MELIHAT Abdi hanya menghentikan langkah tapi tidak berbalik badan, Tiara segera menjadi maklum. Gadis itu mengamat-amati penampilan bagian depan tubuhnya sendiri, lalu keluarkan suara mendesah panjang."Ah, pantas saja kalau Abdi sampai bersikap begitu," kata gadis itu di dalam hati.Hanya mengenakan blus putih tanpa bra begitu, dada Tiara memang terlihat sangat menantang. Tentulah Abdi merasa risih dibuatnya. Tiara sendiri sebetulnya juga malu, tapi mau bagaimana lagi memangnya? Kan ini dalam keadaan darurat?"Ibu memanggil saya?" Terdengar suara Abdi bertanya.Pertanyaan itu membuat Tiara tergeragap kaget dari lamunan singkatnya."I-iya," sahut Tiara agak gugup. Lalu buru-buru menguasai diri. Badannya yang menyandar di ayunan ditegakkan."Saya mau bilang terima kasih sama kamu, sekaligus minta maaf karena sudah membuat kamu repot. Selama kaki saya masih begini, saya bakal terus bikin kamu repot selama beberapa hari ke depan," tambahnya.
HARI pertama berlalu dengan cepat. Tiara tak terlalu merasakan sedang terperangkap dalam hutan. Direktur muda perusahaan parking management itu lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur di atas ayunan pondok. Rasa penat yang tak terlalu dihiraukan sejak mengalami kecelakaan kemarin sore, tiba-tiba saja datang menyergap dan membuat Tiara terlelap. Begitu nyenyaknya gadis itu tidur. Sampai-sampai ia tidak menyadari ketika Abdi pergi mencari kayu selama sekian lama. Tiara juga tidak mendengar suara apa pun saat Abdi membuat alas pondok, Ketika kemudian terbangun, gadis itu dibuat terkejut karena mendapati beberapa perubahan di sekelilingnya. Hal pertama yang membuatnya terkesan adalah lantai pondok. Terbuat dari deretan lonjoran kayu panjang seukuran pergelangan tangan anak-anak. Diiikat erat menggunakan tanaman sulur pada masing-masing tepian. "Kapan dia membuat ini?" tanya Tiara dalam hati, penuh rasa penasaran. Diam-diam ia jadi mengira-ngira, suda