Saling bertautnya tangan Loey dan Olivia menambah kelegitan pada malam itu. Mereka mencoba beradaptasi pada hubungan ini sebaik mungkin. Semburat merah muda kerap kali muncul di kedua bilah pipi Olivia. Gadis itu mendadak seperti putri malu yang menguncup disentuh senyuman Loey.
Sementara untuk Loey, ini merupakan hal baru baginya. Setelah melewati puluhan purnama, akhirnya dia membuka diri untuk orang lain—tepatnya, teman; sahabat; kerabat kerja. Dia bingung sendiri menentukan peran Olivia sebelum dia memilihnya menjadi yang teristimewa. Karena dulu di mata Loey, semua orang yang berada di sekelilingnya berada dalam satu garis lurus. Orang-orang asing yang punya tujuan ketika berkomunikasi dengannya.
Mereka sekadar bertemu. Melakukan tugas dan tujuan, lalu berpisah. Kemudian dia akan mendapati dirinya seoran
Kelopak mata Merin terbuka kasar. Seiring dengan deru napas yang belum beraturan. Mimpi yang mampir terasa amat melelahkan. Dia tidak mengingat secara detail, tapi mimpi itu meninggalkan bekas kekhawatiran menyesakkan di relung hati. Namun, dia penasaran akan penyebabnya. Mimpi seperti apa itu?Berbaring menyamping membelakangi Eldric, Merin tertegun. Terdapat sedikit celah untuk mengingat. Kilasan mimpi itu tergambar dalam potongan-potongan kecil. berbumbu kegelapan yang menyelimuti di dalamnya. Eldric. Pulau itu.Punggung suaminya tampak menjauh. Berlari terus-menerus masuk ke dalam gelapnya hutan di Pulau Fantasia. Tidak peduli seberapa keras dia memekikkan nama Eldric, pria itu tak kunjung berbalik. Dia seolah terjebak di dalamnya, tanpa mengucapkan selamat tinggal.Merin mendapati dirinya roboh. Bersimpuh di atas pasir sembari tak henti-hentinya memohon. Hatinya bagai dipukul besi. Tangis darah mengalir dari pelupuk
Mulai! Petasan menyembur di udara, disusul perintah Olivia di earphone yang menembus gendang telinga semua anggota AUSTIC. Separuh dari mereka segera menyalurkan adrenalin pada ruas-ruas jari yang memegang remote kontrol. Carla berjongkok di depan pasukannya. Sebuah seringai keluar. “Saatnya bermain game,” ujar sambil mengendalikan remote itu. Di saat perhatian para perusuh tertuju pada letupan demi letupan, mobil-mobilan mini meluncur ke jalanan setidaknya berasal dari empat gang—tempat AUSTIC bersembunyi; tepatnya di belakang gedung-gedung besar. Di atas benda itu terikat senjata berbentuk peluru besar yang mengandung bahan peledak. Kabel-kabel merah, hitam, dan biru melilit acak dan keawaman mereka kian menambah ketakutan. Jumlah mobil bom melebihi jumlah perusuh. Benda itu mendekati semua perusuh, terutama di empa
Jalanan mengabut. Karbon dioksida lepas diterpakan angin dan membungkus para perusuh. AUSTIC, terkecuali Carla aman dari terpaan gas itu. Orang-orang itu saling bertabrakan, terhuyung tanpa arah sambil menekan dada. Kewalahan akan udara yang mereka hirup malah menekan dada mereka.Carla pun terbatuk-batuk, tapi dia mencoba mengumpulkan kekuatannya. Semula, dia menutup hidungnya dengan siku. Bertiarap dan menghirup napas sedikit demi sedikit. Meminimalir gas menyakiti paru-parunya.Kelopak mata Carla perih, campur mengantuk. Gadis itu berkali-kali menyentakkan kedua alisnya agar terjaga. Tidak peduli berapa banyak kekuatan yang ditumpukan ke lututnya—untuk mendorong tubuhnya bangkit—dia selalu bergesekkan lagi dengan aspal.Tidak lama, karena Carla merasa dunianya berputar ... serta hangat. Percy menekankan wajah Carla ke dada bidangnya. Dia berlari, menggendong ala bridal style. Raut wajah serius dan kecemasan yang berusaha ditutupinya agar fokus ke tujuan. Menjauhkan Carla dari pende
Gemericik air turun hanya di zona para perusuh yang sebagian pingsan; sebagian lainnya menggeliat di jalanan seperti ikan terdampar—bergumul bersama rasa sesak yang ada.Beberapa drone berukuran jumbo perlahan mengubah gemericik itu menjadi serbuan ember tumpah layaknya di waterboom.Semua para perusuh terperajat bangun, anggota AUSTIC menyanggah mereka berdiri, lalu menjaga mereka di suatu titik.“Loey dan Olivia telat sekali mengirim hujan buatan,” kritik Sam.Percy mengendikkan bahu. “Semoga walikota tidak menuduh kita merundung mereka.”“Kenapa kakak tidak membiarkanku di sana sampai drone datang? Gas itu kan tidak akan membuatku dan para perusuh mati,” tanya Carla sambil menyisikan helaian poni yang basah.“Aku tidak tahan melihatmu lama menderi—” Percy memalingkan wajah sambil tersenyum kecil, sementara Carla berkedip polos dan berbinar. Menggemaskan.Percy berdeham. “Kamu terlihat seperti sedang menahan buang air. Kupikir kamu akan ngompol.”“Apa? Memangnya gas itu bisa bikin o
Merin memeluk punggung sofa, pipinya mengembung di bagian atas. Cemberut. Dia sudah seperti itu sejak Eldric memberitahunya kalau kemungkinan teman-temannya batal datang.“Ayo!” seru Eldric, mencolek pipi istrinya sambil berlalu.Keluar dari singgasana megah dan damai, tapi berbahaya saking nyamannya. Kalau mereka terus di situ, bisa-bisa dalam waktu sebulan pulau pribadi itu tak tereksplor. Dihabiskan 24 jam di kasur adem, sofa empuk, cemilan banyak, sambil menonton film kesukaan.Pastinya, Eldric dan Merin akan melakukan itu. Tapi nanti, setelah daftar petualangan mereka di pulau pribadi terceklis.Sangat menyenangkan bagi Merin saat tahu bucket list-nya memuat hal-hal yang belum dicoba sepanjang hidup. Namun ketika jadwal petualangannya tiba, kabar menjengkelkan sialan merusak harinya. Padahal, dia menantikan kedatangan teman-temannya. Pasti heboh kalau mereka tahu pulau Fantasia semenakjubkan dari sekadar yang ditampilkan di layar ponsel. Mau tidak mau, berapa pun persentase mood
PADA TENGAH MALAM SEBELUMNYARembulan tepat berada di atas dua golongan manusia. Perempuan yang tengah dilanda mimpi buruk, dan pria paruh baya yang sedang bergelut dengan nerakanya.Masuk lebih dalam di zona merah, laras pistol menekan pelipis pria itu. Dengan tangan terikat ke belakang, seseorang berpakaian serba hitam menendang lututnya. Menahan erangan, dia bertumpu pada lutut agar tidak tersungkur.Dari balik semak-semak, kehadiran Black hampir tak terlihat. Namun, sepasang kaki bersepatu mengkilat berhenti di depan pria yang bersimpuh.“Hai, Luther, rindu buah hatimu?” sapa Black, nadanya mengejek atau barangkali lebih ke tak acuh.Menggeram, Pak Luther mengangkat kepalanya. Tatapan kebencian tercermin dari urat-urat merah di matanya. Namun, alis yang semula berkerut hebat malah menipis. Tatapan Pak Luther segera melemah ketika selembar foto ditunjukkan.Seorang balita. Jake asli. Tersenyum lebar di taman bermain, sementara ada seorang di belakangnya. Mengawasi balita malang itu
Tumit Carla menendang kencang kaleng bekas. Dentingannya nyaring membentur tiang di depan markas. Raut wajah Carla kusut, menemui medan yang butuh sedikit tenaga bagi kakinya. Menggerutu, Carla tidak habis pikir kenapa ada tanjakkan segala untuk bisa ke markas.Padahal tadi pagi, dia yang paling bersemangat di antara Olivia dan Loey. Dia adalah orang pertama yang mengisi toilet. Mandi lebih awal dan sudah menyemprot seluruh tubuh dengan parfum beraroma premen karet.Dia semangat menemani Percy lagi, sama seperti beberapa hari ke belakang. Yang tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Walau gadis itu seringkali bingung sendiri apa yang harus dilakukan di sana.Seperti orang bodoh, Carla cuma bisa melongo di depan suster yang mengganti cairan infus juga tak berani bertanya saat dokter memeriksa. Situasi formal selalu jadi momen menyebalkan bagi Carla. Namun ketika memandang Percy dengan kedua matanya yang tertutup rapat, badai bergemuruh lagi di dalam hati gadis itu.Carla merangkapkan
Permukaan handuk basah yang semula dingin, kini merasukkan kehangatan ke telapak tangan Bu Angel. Sudah kali ketiga dia mencelupkan lagi handuk ke baskom berbahan alumunium. Memerah benda berbulu halus itu hingga kering, lalu ditempatkan di atas kening Merin.Kesadaran Merin tergugah karena dingin menyesap. Sembari berusaha membuka matanya yang rapat, perempuan itu membasahi bibirnya yang kering.“Eldric di mana, Bu?” tanyanya parau.“Aku di sini, jangan khawatir,” sahut Eldric, langsung bersimpuh di bawah ranjang.Satu tangan Merin yang terselip di balik selimut diambil alih oleh Eldric. Dia membungkus tangan itu, hawa panas yang terembus membuat Eldric cemas. Meski yang sebenarnya Merin rasakan adalah dingin yang menusuk.Eldric meringis gelisah. “Demammu kenapa belum turun juga?”“Mungkin kemarin terlalu lama terendam,” kata Merin, pita suaranya setipis desau angin.Bu Angel berdiri. “Karena Nyonya Merin sudah bangun, saya akan siapkan paracetamol, Tuan. Sepertinya, dikompres saja