"Jadi di sinilah kamar kalian yang sudah difasilitasi video game, tempat meeting, sama ruang gym dalam satu lantai. WCnya otomatis, ya. Jadi, tinggal pencet aja udah bisa buka sama nutup sendiri. Cocok banget buat tipe-tipe kayak kalian yang kalau udah beol suka lupa nyiram." Perempuan berambut sebahu yang merupakan kepala pelayan Amira yang baru itu mulai menjelaskan pada keempat pemuda yang berbaris sejajar di ruang tengah lantai dua."Anjirlah napa tuh cewe cerewet bisa ada di sini? Jadi, kepala pelayan lagi? Terenggut sudah kebebasan gue kalau begini." Jojo berbisik pada Yoga yang terlihat mengerjapkan mata seolah tak percaya."Jangan tanya gue, Jo. Gue masih takjub ini mimpi atau bukan. MasyaAllah Emak ... Yoga tinggal di istana."Jojo memutar bola mata, lalu beralih pada Ilham. "Ha--" Belum sempat memanggil Ilham, pemuda itu sudah lebih dulu berlari menuju sofa berbulu yang terletak di muka TV, dan merebahkan diri."Asyem si Ilham."Kesempatan terakhirnya jatuh pada Al yang sej
12 Januari ~ Setengah jam sebelum tragedi meninggalnya Hendra. Pemuda berusia sembilan belas tahun itu baru saja turun dari tangga saat ia melihat Hendra mengekori ibu tirinya menuju gudang belakang. Mata tajam itu awas memerhatikan keduanya sampai masuk ke dalam bangunan yang hanya berisi barang-barang yang sudah terbengkalai. Tak ada ekspresi berarti yang dia tunjukkan, tapi sorot dingin itu menyiratkan sesuatu yang kelak bisa berakibat fatal untuk orang di sekitar. Bersamaan dengan itu dia melihat Hanung berjalan bersama beberapa bodyguard-nya masuk ke dalam rumah. Wajah lelaki berkulit legam itu tampak lelah. Mungkin karena akhir-akhir ini dia disibukan dengan urusan kantor juga tekanan Pak Harun, sebab kinerjanya tak sebaik sang adik--Hendra. "Pa!" Seketika langkah Hanung yang baru saja hendak menaiki tangga menuju lantai dua, berhenti di undakan ketiga."Ya, Rama.""Bisa kita bicara sebentar?" tanya Rama hati-hati. Hanung terdiam sesaat, lalu mengangguk. Mereka pun berjalan
Plak!"Dasar istri tak berguna."Rama menghentikan langkahnya di depan kamar kakak dan iparnya. Terlihat keluar dari sana Rendy dengan wajah murka berlalu begitu saja sembari menggenggam kunci mobil. Sejenak dia berhenti di hadapan Rama, sebelum akhirnya berlalu begitu saja.Ini adalah tahun pertama pernikahan mereka, dan sudah beberapa kali Rama memergoki Rendy memperlakukan Andini semena-mena. Sepertinya kesabaran perempuan itu sudah mencapai puncaknya. Di ambang pintu Rama melihat dia mengemasi pakaian ke dalam koper sembari menangis tersedu-sedu. Langkah Rama berayun masuk tanpa ragu-ragu, dia bahkan sempat menutup pintu dan menguncinya rapat. Lalu menghampiri Andini yang masih terisak di koridor antara ruang kamar dan pakaian juga perlengkapan. Lelaki itu merendahkan tubuhnya di hadapan Andini, dia mengusap lembut lutut perempuan itu hingga membuatnya mengangkat kepala dan menunjukkan wajah penuh air mata. Tangan Rama beralih menuju wajah mulus tersebut, dan menyeka air mata ya
"Psikopat gila! Kau itu benar-benar sinting Rama. Bisa-bisanya Dona melahirkan seseorang sepertimu. Jangankan orang lain, aib kakak sendiri saja kau sebarkan. Berapa banyak kejahatan yang sudah kau sembunyikan di balik wajah datar itu, hah? Aku berharap kelak Amira mampu mengungkap semua kebusukanmu hingga kau bisa dihukum dengan balasan yang setimpal!"Di dalam villa yang sudah terbengkalai itu Rama hanya bisa menghela napas mendengar semua ocehan Heru. "Sudah selesai, Paman? Dua hari aku menyekapmu agar kau bersedia berjanji tak lagi memberi informasi pada perempuan itu dan membantu melancarkan pekerjaanku untuk mengelabuinya. Namun, selama dua hari ini aku hanya harus mendengar ocehan juga ceramahnya yang terus mengungkit masa lalu? Ck, kau benar-benar membuang waktuku, Paman. Lagipula kita sama-sama pendosa.""Berhenti memanggilku paman! Aku tak punya keponakan keturunan setan sepertimu, Rama. Setidaknya meskipun pendosa aku masih punya hati dan perasaan.""Haha ...." Untuk perta
"Sompret emang tuh si Zarra. Bisa-bisanya dia suruh kita beresin gudang yang udah kaya kandang kecoak. Pas masuk masih gelap, eh udah keluar dah terang-benderang. Tega-teganya bahkan dia nggak ngasih tahu kalau Non Mimi dah pulang." Jojo terus mendumel sepanjang jalan dari taman menuju kediaman utama. "Udah, terima naseb aja, Bro. Itung-itung olahraga." Yoga yang terlihat lebih legowo hanya bisa menyemangati Jojo. "Pokoknya abis dari sini gue mau berenang dulu. Gerah beud nih badan.""Ide bagus. Gue juga pengen. Kita pake kolam yang di atas, ye. Sambil liat pemandangan. Ah, mantap.""Setuju." Jojo mengacungkan ibu jarinya, kemudian berbalik untuk mengajak Ilham yang tertinggal cukup jauh di belakang. Sejak selesai beres-beres tadi, pemuda itu hanya sibuk dengan beberapa buku dan dokumen di pelukannya."Ham, lu mau ik--""Nggak, Bang. Gue mau mandi di kamar aja, habis itu mau kaji semua buku dan dokumen ini," potongnya sembari melengos begitu saja. Ilham dan Yoga berpandangan, setel
Di atas balkon kamar, Amira menatap sekeliling bangunan yang bahkan masih terlihat begitu terang, meskipun hari sudah malam. Gaun tidur berwarna senada dengan kerudung yang dikenakannya terlihat menari-nari tertiup angin. Berbagai pikiran kini berkecamuk di kepalanya. Bangunan ini memang terlalu besar bila dihuni beberapa orang. Bila bisa, Amira ingin sekali menyusutkannya agar suasana hangat kekeluargaan terasa semakin kentara.Kepergian Dona siang tadi, sedikit banyaknya menyisakan satu lagi ruang sepi di rumah ini. Membuatnya kembali terbayang masa lampau. Saat rumah ini masih ramai, saat ruang makan masih ditempati lebih dari tujuh orang. Dering ponsel yang bergetar di dalam kantong gaun tidurnya membuat Amira terhenyak sejenak. Satu panggilan masuk dari Dustin membuatnya bergeming beberapa saat. "Assalamualaikum.""Wa'alaikumsallam.""Besok hari terakhirmu cuti, bukan?" Pertanyaan itu terlontar. "Ya," jawab Amira singkat. "Ng ... hampir sembilan tahun aku meninggalkan Jaka
"Dustin ... ada apa?"Amira melambaikan sebelah tangan di depan wajah Dustin yang tiba-tiba berdiri geming. Dia mengernyitkan dahi melihat perubahan mimik wajah lelaki itu. "Ah, ya? Bukan apa-apa, aku hanya merasa familiar dengan tempat ini." Dustin menggeleng cepat, lalu tersenyum kikuk. Sebelah tangan lelaki itu terkepal saat Amira mulai menuntunnya menuju meja makan. "Sebentar, Amira!" Cekalan tangan Dustin kembali menghentikan langkah Amira, sebelum keduanya sampai di hadapan mereka yang sudah menunggu dengan berbagai ekspresi berbeda. Sepertinya dia memang harus memastikan sesuatu, sebelum melangkah lebih jauh. Amira menoleh masih dengan kebingungan yang sama. "Ya?""Boleh aku tahu siapa nama lengkapmu sebenarnya?" Bibir lelaki itu bergetar saat bertanya. Susah payah Dustin mencoba mengatur degup jantungnya yang mulai menggila.Amira terdiam sesaat. "Amira Hasna Adijaya."Deg. Refleks tubuh Dustin mundur selangkah. Pupil matanya melebar, tapi sekuat tenaga dia berusaha menge
Sembilan tahun lalu. "Anak remaja yang kulihat di rumahmu saat itu ... aku benar-benar tak bisa berhenti memikirkannya, Rama."Di sebuah bar pusat kota terlihat dua orang pria yang tengah bercengkerama dengan dua gelas penuh berisi vodka di atas meja. Rama menatap sahabatnya yang dua tahun terakhir baru kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studi S2-nya dengan gelar M.Psi."Ini sudah ketiga kali kau membahasnya saat sedang mabuk, Dustin. Lagipula dia terlalu muda untukmu," cetus Rama. "Kalau mau aku bisa menyediakan yang lain."Dustin menggeleng. "Aku menginginkannya bukan untuk ditiduri. Tertarik tak berarti hanya karena hasrat semata, bukan?" Rama tersenyum sinis. "Cih, omong kosong."Dustin beranjak dari tempatnya, lalu menepuk pundak Rama. "Kau terlalu larut dalam dunia yang kelam, anak muda. Hingga tak membiarkan siapa pun menyelami kehidupanmu lebih dalam. Dengarkan aku! Bukalah sedikit hatimu, lagi pula jatuh cinta bukanlah dosa." Setelahnya Dustin pun berlalu. Rama m