Belum sempat aku memakai baju, pintu kosan sudah terbuka lebar. Jantungku berhenti berdetak, saat melihat beberapa orang masuk kedalam kamar."Astaga!" seru seseorang, saat melihat keadaan aku dan Bang Firman. Untung saja Bang Firman sudah memakai celana kolornya."Ini dia pasangan mesumnya!" tuding laki-laki setengah baya kearahku. Tubuhku mengigil ketakutan, melangkah mundur merapatkan selimut untuk menutupi tubuhku."Ini dia pelaku maksiat dikampung kita, gaes!" seseorang masuk sambil mengarahkan gawai kewajahku dan Bang Firman. Aku langsung menutupi wajah dengan tangan, badan ini bergetar, menggigil ketakutan."Kita viralkan, pasangan mesum ini. Biar kapok!" serunya lantang.Wajah Bang Firman sudah sepucat mayat, keringat dingin membasahi sekujur tubuh.Hawa dingin menyelusup diatas kepala hingga menembus pori-pori, jantungku melompat-lompat ingin keluar dari tempatnya.Mati aku, mati!"Seret mereka keluar!!" titah laki-laki berkumis tebal memakai peci putih. Aku menggeleng kuat,
"Kita mau kemana, Yang?" tanya Bang Firman."Kita kerumah sakit, Bang. Luka Abang harus diobati, setelah sembuh Abang harus kasih pelajaran sama si gendut jelek itu." jawabku dengan gigi bergelutuk.Kurang ajar sekali dia mempermainkan aku."Si gendut dalang dibalik semua ini." sambungku, dengan nafas memburu."Mana mungkin? Dia tidak tahu tempat kosanmu, Yang." sahut Bang Firman.Aku langsung melambatkan laju motor dan berhenti dipinggir jalan. Geram sekali rasanya, Bang Firman masih membela istri gendutnya. Tubuhku bahkan masih menggigil trauma ketakutan akibat kejadian semalam."Ada nomer baru yang mengejek aku tentang aksi grebek itu. Siapa lagi kalau bukan istri Abang," sahutku jengkel.Bang Firman hanya diam, tak menjawab ucapanku. Aku langsung kembali tancap gas, mencari rumah sakit terdekat.Dua puluh menit perjalanan akhirnya kita sampai dirumah sakit, aku segera memarkirkan motor dan melangkah masuk sambil menuntun Bang Firman."Mana kartu berobat, Abang?" tanyaku."Didompet
Pov Ibu Sumi."Tolong ... tolong!!" aku menjerit sekuat tenaga meminta bantuan pada tetangga.Pak Ilham dan Bu Darsih yang mendengar teriakkanku langsung berlari memasuki halaman rumah."Kenapa, Bu Sum?""Tolong Mila, Pak. Tolong," aku langsung mencengkram tangan Pak Ilham, membawa masuk kedalam rumah."Mila kenapa?"Mas Toso yang membopong tubuh Mila, langsung dibantu keluar oleh Pak Ilham."Ya Tuhan. Si Mila kenapa, Bu Sum?" tanya Bu Darsih dengan wajah panik."Huhu ... ga tau, Bu." aku menangis sesegukan. Bu Darsih merangkul tubuhku, mencoba menenangkan."Bawa kerumah saya, saya antar pakai mobil." ucap Pak Ilham sambil membawa tubuh Mila kearah rumahnya."Eh ada apa?""Si Mila kenapa?""Itu mulutnya banyak busa, kenapa?"Para tetangga banyak yang berdatangan, mereka nampak penasaran melihat Mila yang dibopong masuk kedalam mobil."Masuk, Bu!" titah Mas Toso, aku langsung masuk kedalam mobil, memangku kepala Mila diatas paha."Hati-hati, Pak." ucap Bu Darsih pada Pak Ilham, suaminy
Lantunan ayat Suci alquran menggema disetiap sudut rumah, aku mematung menatap tubuh Mila yang sudah terbujur kaku. Memori tentang Mila berkelebatan didalam kepala, air mata kembali tumpah saat mengingat kebaikannya.Mila ... dia terkadang membela, disaat Ibu dan Maya memperlakukan buruk terhadapku. Aku masih tak menyangka, hidup Mila berakhir secepat ini.Mila, dia pasti sangat depresi dengan kehamilannya. Bocah tengik itu pasti tidak mau bertanggung jawab.Air mata tak berhenti mengalir, dada bergemuruh hebat mengingat kenangan baik terhadapnya.Dia bahkan pernah bercerita ingin menjadi Dokter ahli kandungan, saat membelai perutku yang masih membuncit hamil Arya. Mata terus memanas, wajah takut dan sedih Mila saat dirumah kembali membayangiku."Milaa," bibirku tergerak begitu saja, menyebut namanya.Perih, sakit dan sedih. Aku tidak terima, Mila meninggal seperti ini.Hati terus beristigfar, mencoba menguatkan hati dan perasaanku sendiri.Satu persatu keluarga suami berdatangan, mer
Jadi ini bocah ingusan yang sudah merusak dan membunuh Mila. Aku tidak akan tinggal diam, Mas Andri harus tahu kebenarannya dan menghajar bocah tengik ini.Aku langsung keluar kamar, bermaksud ingin memberikan gawai Mila pada Mas Andri. Namun aku mengurungkan niat, melihat banyaknya keluarga yang berkumpul tengah berduka cita, aku rasa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk membongkar masalah pelik ini.Aku kembali masuk kedalam kamar, merapihkan barang yang berserakan. Lalu menaruh gawai Mila didalam laci kecil meja belajarnya."Dek, Emak nelpon." Wajah Mas Andri menyembul dari balik pintu, tangannya menyodorkan gawai kearahku."Iya, Mas." sahutku lalu meraih gawainya."Halo, Mak?""Nur ... lu masih lama?" suara Emak langsung menyapa telinga."Masih kayanya, Mak. Nanti habis pulang dari makam. Nurma langsung pulang," jawabku."Iya, ini si Arya Emak kasih susu botol kaya ogah-ogahan minumnya. Tadi Emak kasih pisang sedikit biar ga rewel," jelas Emak."Ya sudah, Ga apa-apa Mak. Nanti
Aku hanya bisa menghela nafas, menatap nanar daun pintu yang tertutup dengan bantingan kencang."Dikasih tau yang bener malah marah," desisku sebal.Aku mengangkat bahu, meraih keranjang cucian bersih lalu melipatnya satu demi satu."Mau kemana?" tanyaku saat melihat Mas Andri mengambil jaket kulit yang tersangkut dibelakang pintu."Mau kerumah Ibu, Ibu ga nafsu makan. Minta dibeliin nasi padang," jawabnya tanpa melirik kearahku."Oh iya, Mas. Soal tadi ...""Nur, udah deh. Aku capek. Kamu jangan menambah beban fikiran. Pusing!" dengkus Mas Andri.Mas Andri kembali menyebutku dengan panggilan, Nur. Tanpa embel-embel Adek. Itu tandanya dia sedang marah padaku.Sudah kepalang tanggung, aku harus menyelesaikan perkara ini. Terserah dia mau percaya atau tidak. Yang penting aku sudah bicara yang sebenarnya."Ya, aku tahu. Aku engga mau kamu mikir macem-macem sama aku. Maka dari itu, aku minta pas kamu pulang kerumah, kamu cek hape Mila." aku menatap tajam."Buat apa?" Mas Andri mengangkat
{Den, aku hamil.} Mila mengirim pesan.{Hamil?} balas Deni.{Jangan ngada-ngada deh, lu. Kita selalu pake pengaman. Jadi enggak mungkin, bisa hamil.} balas Deni disertai emotion marah.{Tapi waktu itu pernah ga pake,} jelas Mila. Membuat dadaku sesak.{Halah ... udah lu ngaku aja. Pasti lu pernah ML sama yang lain juga kan?}Otakku mendidih, gigi bergelutuk hebat membaca rentetan pesan dari dua bocah ingusan itu.Mila ... ya Alloh, ya Rabbi.Apa salahku, ya Rabb. Mengapa dua Adik perempuan aku tidak ada yang beres satu pun.Pantas, pantas Mila memilih mengakhiri hidupnya ternyata dia punya beban seberat ini.Tubuhku bergetar hebat, mataku memerah, tanpa sadar tangan mengepal melayang memukul kaca yang tergantung diatas dinding.Suara pecahan terdengar nyaring, kaca itu berserak jatuh diatas lantai."Mas!" suara pintu terbuka kasar. Maya mematung melihat wajahku yang diselimuti api kemarahan."Ada apa, Ndri?" Bapak menerobos masuk, dia menatap heran kearahku."Kenapa?" Bapak kembali be
"Iya, sama-sama, Mas." sahut Nina, kepalanya terus menunduk menatap lantai. Aku jadi semakin mencurigainya.Hening ... tiga remaja itu membisu ditempatnya."Nina ..."Aku tersenyum miring melihatnya, dia bahkan terlonjak dengan panggilan suara lembutku."I-ya Mas?" tanyanya gugup."Apa, ada yang mau kamu sampaikan?" aku melempar tanya.Ketiga remaja itu saling berpandangan, salah satu dari mereka menggeleng samar."Tidak ada, Mas." jawab Nina."Kalau tidak ada lagi yang diingin ditanyakan, Nina pamit ya Mas. sudah mau sore, takut Ibu dirumah nyariin," jelas Nina."Oh ... ya sudah." jawabku sambil tersenyum tipis."Permisi, Mas. Assalamuallaikum," pamit tiga remaja itu."Loh kok pada pulang, engga minum dulu?" Maya yang baru datang membawa plastik hitam menatap heran pada teman-teman Mila."Iya, Mbak May. Sudah sore, takut dicariin." jawab Nina."Halahh biasanya juga sampe malem main disini," sahut Maya."Engga ada Mila, ga enak Mbak," balas Nina seraya keluar rumah menyusul dua temann