Hari berlalu begitu saja. Saat ini, Fahri sedang duduk santai dengan istrinya. Mereka berdua mengobrol tentang banyak hal untuk menghabiskan waktu berdua. Awalnya, semua baik-baik saja. Namun, tak berlangsung lama, Ibu Fahri menelepon. Sebagai anak yang penurut, Fahri gegas menerima telepon tersebut. “Halo, Bu. Ada apa?” tanya Fahri memulai obrolan sambungan telepon. “Halo, Fahri. Kamu kok belum kirim uang sama Ibu? Harusnya kan dari dua hari lalu Ibu sudah terima uang itu,” protes Bu Hilwa. Jika didengar dari nada bicaranya, perempuan itu pasti kesal karena keterlambatan itu. “Iya, Bu. Sabar dulu, ya. Nanti pasti aku kirim,” tukas Fahri mencoba untuk menenangkan ibunya. Ia juga sedikit tak enak hati karena sudah membuat wanita tua itu menunggu. “Ya sudah. Setelah ini langsung kirim, ya. Uang itu mau ibu pakai untuk bayar cicilan sama biaya kuliah adikmu. Jadi tidak bisa telat terus. Nanti Ibu dimarahi. Memangnya kamu mau?” cerocos Bu Hilwa dari seberang sana. Ia kesal karena Fa
“Harusnya kamu itu bilang sama Ibu kamu, kalau tidak ada uang jangan suka tambah cicilan. Apalagi adik kamu itu, suruhlah dia kerja part time biar ada uang sendiri. Jadi tidak nyusahin kamu terus! Kamu itu harusnya memenuhi kebutuhan kita dulu baru urusin kebutuhan ibu dan adikmu,” omel Fiona yang sejak tadi enggan berhenti. “Kamu suruh adikku kerja? Kalau dia tidak fokus kuliahnya bagaimana, ha? Aku tidak tahu dengan jalan pikiranmu. Ibu dan adikku hanya punya aku. Jadi, aku harus ikut bertanggung jawab atas kehidupan mereka ke depannya. Lagi pula, kamu kan ada gaji juga. Kenapa tidak kamu pakai untuk memenuhi kebutuhan kita yang kurang?” ujar Fahri yang terlihat santai tanpa beban saat mengatakan itu. “Nah, gajimu bisa untuk kebutuhan kita, sementara uangku bisa untuk mencukupi cicilan Ibuku dan biaya kuliah adikku. Impas bukan? Jadi, kita sama-sama berjuang,” imbuh Fahri. Fiona yang mendengar itu matanya sampai mendelik. Rasa marahnya naik berkali-kali lipat saat Fahri meminta
Fahri melempar asal ponselnya saat mendapati benda pipih itu terus saja bergetar dengan menampilkan nama Fiona di sana. Nyatanya niatnya untuk mencari kedamaian di rumah orang tua berakhir kembali mendapatkan pintu karena gangguan dari wanita itu yang tiada habisnya. Hal yang membuat Fahri sendiri semakin merasa muak terhadap sang istri yang akhir-akhir ini sudah tidak berguna lagi untuk dirinya.Toh memang sejak awal Fahri mendekati Fiona hanya karena ingin mengeruk harta dari wanita itu, tetapi sekarang bahkan Ibra yang merupakan ladang utama dari pendapatan Fiona perlahan sudah mulai menghentikan pengeluarannya untuk wanita itu yang artinya Fahri sendiri juga kian merasa tercekik akibat perekonomiannya yang semakin lama semakin sedikit."Sudah tidak bisa menghasilkan uang, eh masih saja menjadi pengganggu! Benar-benar memuakkan! Seandainya saja aku bisa mendapatkan pengganti Fiona sekarang. Sudah pasti aku akan langsung menceraikan wanita tak menguntungkan itu. Tetapi memangnya wan
"Benar-benar menyebalkan. Sepertinya aku tak bisa kalau harus terus-menerus bertahan dengannya. Bukannya jadi kaya, yang ada lama-lama aku malah jadi Jatuh Miskin karena Fiona sendiri sekarang selalu minta uang denganku gara-gara tua bangka itu sudah tak ingin memberikan banyak uang untuknya. Masa Fiona hanya dijatah satu bulan tiga juta saja. Dapat apa uang segitu? Untuk keperluan sehari-hari saja pasti tidak akan cukup!" Fahri kian merasa kesal kita kembali mengingat perdebatannya dengan Ibra beberapa hari lalu.Sejenak terdengar ibu Fahri berdecak. "Sudahlah, tidak perlu dipikirkan lagi. Kalau memang sudah tidak berguna ya sudah, buang saja. Dan kita bisa langsung segera mencari yang baru, yang jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan wanita itu," papar ibu Fahri dengan santainya."Iya, Bu. Aku tahu. Tetapi memangnya siapa yang harus aku kejar? Kemarin-kemarin aku terlalu fokus dan menikmati waktuku dengan Fiona sampai-sampai aku lupa untuk mencari target yang baru saat Fiona s
Saat ini Fahri dan Alina meminta waktu berduaan. Mereka memilih untuk tidak diam rumah. Mereka berjalan-jalan sejenak mencari angin. Hubungan yang baru pertama kali terjalin itu benar-benar sangat menyenangkan bagi Alina. Begitupun dengan Fahri yang tidak bisa tidak tersenyum ketika menatap wanita di sebelahnya itu.Orangtua Fahri sangat menyukai Alina juga. Jadi, sudah tidak ada batasan bagi keduanya untuk tidak dekat. Fahri benar-benar merasa bahagia. Bahkan untuk menjalin hubungan ini mereka tidak perlu pikir panjang lagi."Aku benar-benar bahagia bisa mengenalmu, aku bahkan ingin mengenalmu lebih dalam lagi. Seiring berjalannya waktu aku pasti tau semua tentangmu," celetuk Fahri begitu serius.Alina yang malu-malu hanya bisa tersenyum manis. Entah mengapa hatinya juga terasa hangat bisa berduaan dengan Fahri."Jangan ditahan kalau mau senyum atau ketawa," ujar Fahri ketika melihat Alina yang entah mengapa menahan semua itu."Kapan kita jalan?" "Ini kan sekarang lagi jalan," ledek
Fahri masih diam saja. Dia asik memilih pakaian apa yang akan dirinya kemas. Fahri terdiam karena dia malas meladeni Fiona. Sampai pada akhirnya telinganya muak mendengar pekikan Fiona.Brak!Saat itu juga Fahri menggebrak meja."Brisik! Kamu gak lihat aku lagi ngapain?!" bentak Fahri yang kini sudah menatap Fiona tajam."Ya makanya kalau ada orang tanya itu dijawab!" balas Fiona tak mau kalah."Kalau aku diam saja itu tandanya aku tidak mau menjawab pertanyaan kamu. Sadar diri dong dari tadi, berisik tau gak!" marah Fahri yang kini sudah mengepalkan kedua tangannya.Ditatap seperti itu sukses membuat Fiona sedih. Fiona hampir saja meneteskan air matanya, tetapi dia cegah dengan mendongak cepat-cepat.Sedangkan Fahri sudah mengalihkan pandangannya ke lain arah. Setelah itu Fahri kembali membereskan pakaian yang sejak tadi menjadi tujuan utamanya datang ke rumah ini."Jahat kamu Mas. Berani-beraninya kamu bentak aku seperti itu," lirih Fiona merasa sedih.Tidak ingin ambil pusing, Fahr
Fiona masih tak kuasa menahan dadanya yang justru semakin sesak. Dia terus memukul-mukulnya dengan kepalan tangan saking sakit dan perih hatinya saat ini.“Fahri, kamu benar-benar kejam!” isaknya yang sejak ditinggal Fahri tadi sudah menangis dengan lelehan air mata berurai di kedua pipinya yang bening. Fiona bahkan tidak peduli bila saat ini dirinya hanya terduduk di lantai saking gontai dan lemas kedua lututnya mendengar untaian kalimat demi kalimat yang dilontarkan Fahri.Lantai keramik di ruang tengah yang dingin itu menjadi saksi pertengkaran keduanya beberapa saat yang lalu serta menjadi saksi pula betapa hancurnya perasaan Fiona saat ini.“Bisa-bisanya kamu bilang bahwa selama ini kamu hanya memanfaatkanku saja, Fahri!” Fiona masih tidak menyangka. “Padahal, waktu itu wajah kamu begitu tulus saat menyatakan perasaanmu. Kita bahkan harus menghadapi berbagai lika-liku sampai-sampai kau bercerai dengan Ayra.”“Perjuangan kita begitu panjang dan berat. Tapi kenapa … kamu malah ber
“Fahri pulang! Dia akhirnya pulang setelah berhari-hari,” sorak Fiona yang merasa memiliki secercah harapan dengan kepulangan pria itu.Beberapa hari belakangan, Fiona sama sekali tidak bersemangat untuk melakukan aktivitas. Hari-harinya dipenuhi oleh fisik lesu dan perasaan lelah dan tekanan batin.Namun, begitu mendapati bahwa Fahri akhirnya kembali pulang membuat Fiona merasa bersemangat dan berharap-harap cemas. Akankah lelaki itu pulang karena sadar dan ingin meminta maaf, ataukah jangan-jangan ingin melakukan hal lain yang membuat Fiona semakin terpuruk? Itu lah pertanyaan yang memenuhi benak Fiona sekarang ini.Wanita itu langsung bangkit dari sofa dan berjalan beberapa langkah untuk membukakan pintu. Sebelum muncul di ambang pintu, Fiona sedikit merapikan rambut dan kondisi pakaiannya agar terlihat lebih layak untuk menyambut kepulangan suaminya.Fahri pun turun dari mobilnya begitu mesin mobil sudah dia matikan. Wajah pria itu tampak datar dan bahkan tanpa ekspresi. Dari sudu