Share

Part 6

"Daddy, kita akan ketemu nenek dan kakek sama mommy kan? Setelah itu kalian menikah, kita akan hidup bahagia bersama. Tidak akan terpisah lagi."

"Dea, Daddy sudah me—"

"Tian," potong Aruna sambil menggeleng pelan. Berharap Tian tidak mengecewakan putrinya di pertemuan pertama.

"Tapi aku gak bisa Aru," lirih Tian sangat pelan.

"Please kita bahas itu nanti, Tian. Jangan buat Dea sedih sekarang," mohon Aruna. Tian hanya diam, tidak menolak juga tidak mengiyakan keinginan Deandra yang diartikan gadis kecil itu sebagai persetujuan.

Ressa sudah menyiapkan kopernya, mendatangi Tian yang masih melamun di halaman belakang.

"Jangan cari aku dulu, setelah melahirkan aku akan mengabarimu dimana tinggal. Kamu bisa bertemu anakmu nanti. Bahagiakan Aru dan Dea, mereka keluarga impianmu Tian, aku pamit." Ressa memeluk Tian untuk terakhir kalinya.

"Maafkan aku, Sayang." Tian memejamkan mata, satu tetes cairan bening terjatuh di sana. "Maaf aku selalu membuatmu terluka, bawa ATM ini," katanya memberikan kartu ATM pada Ressa.

"Jangan hidup susah, aku gak mau kamu kelelahan. Bayar perawat untuk menjagamu, ini keputusanmu aku tidak bisa menahan lagi karena kamu yang tidak ingin tinggal."

"Iya," Ressa menerima kartu itu. Dia memang butuh uang untuk bertahan hidup dan juga kebutuhan janinnya.

"Jangan minta cerai, aku cuma memberimu jeda waktu menjauh dariku. Aku tidak akan menceraikanmu," Tian memberikan kecupan di seluruh wajah Ressa lalu melepaskan istri tersayangnya untuk pergi.

Hanya sebentar, ya dia hanya akan memberikan waktu sebentar untuk istrinya ini menenangkan diri.

Ressa menaiki taksi menuju rumah sahabatnya. Dia tahu Tian tidak akan benar-benar melepaskannya. Suaminya itu punya seribu satu cara untuk menjeratnya kembali.

Sesampainya di kediaman sang sahabat, Ressa menyeret kopernya. Hira sedang di teras hendak melepaskan suaminya berangkat kerja.

"Ressa, ada apa?" Tegur Erfan, suami Hira lebih dulu. "Ayo masuk," ajaknya, mengambil alih koper Ressa dan membawa masuk ke rumah, lalu meminta pada asisten rumah tangga untuk menyiapkan kamar tamu.

Hira menatap iba sahabatnya lalu membawanya duduk.

"Tian berbuat ulah apa Sa?" Tanya Erfan dengan tatapan khawatir.

"Rumit," ucap Ressa lirih. Erfan merupakan mantan bosnya, dia bertemu Tian karena dulu pria itu sering berada di kantor Erfan.

"Akan lebih rumit kalau kami hanya menerka-nerka apa yang terjadi diantara kalian, bagaimana kami bisa membantu." Ujar Hira lembut membawa sahabatnya dalam pelukan.

"Tian punya anak dari perempuan lain Ra, perempuan itu Aru." Ucap Ressa sendu, tidak ada air mata yang terjatuh di sana. Walau hatinya sangat sakit tapi dia masih bisa kuat di depan orang lain.

Hira membulatkan mata terkejut, menatap suaminya yang sudah memijat pelipis. "Jadi Dea anak Tian?"

Ressa mengangguk pelan, "dari dulu Dea sangat menginginkan ayahnya Ra. Aku tidak ingin mengecewakannya."

"Tapi kamu bisa bicarakan ini dengan Aru, Sa. Aku yakin dia akan mengerti kalau kamu bilang Tian itu suamimu." Saran Hira, dia mengenal Aru. Saat perempuan itu sedang hamil tua ia dan Ressa yang membantu merawatnya.

"Aku gak bisa, Ra. Kasihan Dea."

"Anak kamu juga perlu ayah, Sa." Hira menatap suaminya butuh pencerahan.

"Aku mengenal Tian, Sa. Dia pasti tidak akan menceraikanmu dan menikahi Aru. Tian pasti bisa menyelesaikan semuanya tanpa melepaskanmu. Dia hanya memberi kamu waktu untuk menenangkan diri selama dia memecahkan masalah ini," tutur Erfan.

"Aru mencintai Tian dan juga sebaliknya Tian masih sangat mencintai Aru." Ressa mengungkapkan apa yang ada dipikirannya. Itulah yang pikirannya katakan, suaminya masih mencintai perempuan lain.

"Aku mengenal Tian tidak hanya setahun dua tahun Sa, walaupun dia menyembunyikan masalahnya dengan Aru. Tapi aku mengetahuinya sejak dulu." Ungkap Erfan yang membuat Hira melotot pada suaminya itu. Itu niat menghibur apa menjatuhkan mental sih.

"Ketika Tian memutuskan menikah denganmu, aku yakin perasaan cinta pada Aru sudah tidak ada lagi." Lanjut Erfan, yang membuat Hira lega.

"Aku yang akan menemui Aru dan menjelaskan semua padanya. Sekarang kamu istirahat, tidak ada yang bisa mengganggumu di sini."

"Jangan katakan pada Aru, Ra. Jangan kecewakan Dea," mohon Ressa.

"Lihat bagaimana nanti," putus Hira membawa Ressa ke kamar tamu. Dia tidak akan diam saja membiarkan sahabatnya ini terluka. Aruna membesarkan anaknya sendiri itu pilihannya karena tidak mau dinikahi pelaku.

"Ra, please. Kasihan Dea, dia masih kecil." Mohon Ressa di kamarnya.

"Sekecil apapun Dea, dia akan mengerti nanti kalau ayahnya sudah punya istri. Lagipula kamu tidak memisahkan ayah dan anak." Hira membuka lemari dan mengambil pashmina lalu memasangkan di kepala Ressa. "Cantik," pujinya saat pashmina itu terpasang di kepala sahabatnya.

"Itu kan sebenarnya yang Tian mau, tapi kamu terlalu buru-buru Sa."

"Entahlah Ra, aku buntu. Sedari awal memang hubunganku dengan Tian salah. Mungkin Tuhan marah padaku. Aku bukan anak yang baik, lengkaplah sudah." Ressa menyalahkan diri sendiri atas keadaan yang menimpanya sekarang.

"Allah sayang kalian, Sa. Ini hanya pengingat bukan hukuman. Kalau ini hukuman, kamu tidak akan ada di sini dalam keadaan masih sehat dan bisa bernapas bebas." Hira mengingatkan dengan lembut. Ressa sedang mengalami tekanan berat, ia tidak bisa menasehati dengan cara keras.

"Aku capek!" Lirih Ressa.

"Istirahat, bukan menyerah. Pernikahan kalian baru satu minggu, ini baru ombak kecil dalam hubungan kalian. Tenangkan diri biar bisa berpikir jernih, jangan pikirkan yang aneh-aneh." Hira menepuk pelan pipi sang sahabat, menasehati memang mudah. Melaluinya yang berat.

***

Tian memijat pelipisnya yang nyeri, baru satu minggu hidupnya berwarna sekarang sudah kelam lagi. Ia tahu kemana istrinya pergi dan sudah memastikan kalau Ressa aman di sana. Hanya saja bagaimana dia menghadapi Deandra dan menjelaskan pada anaknya itu.

"Bengong tidak akan menyelesaikan masalah, Tian. Lo harus tegas, siapa yang mau lo pertahankan."

Suami Ressa itu menoleh ke arah pintu, sahabatnya sudah berdiri seperti jin pintu di sana dengan tangan terlipat di depan dada.

"Dea ingin gue menikahi ibunya, Fan. Itu satu-satunya permohonan anak gue, agar dia bisa terus memeluk gue sebagai ayahnya. Nasabnya dengan gue terputuskan? Dia bukan mahram gue, itu yang Dea bilang. Walau gue gak paham banyak, tapi sedikit gue ngerti, apa yang dia mau. Apa salah, kalau gue memenuhi keinginannya."

Erfan tertegun, Tian tetap harus menikahi Aruna agar bisa menjadi mahram Deandra, walau nasabnya dengan sang ayah terputus.

"Gue cuma pengen memberikan itu, tapi Ressa tidak akan bisa mengerti." Sambung Tian frustasi, ia pusing memikirkan istrinya yang pergi.

"Lo harus tetap menjalankan pernikahan yang sesungguhnya Tian kalau ingin menikahi Aruna, jangan sampai salah niat."

"Itu artinya gue harus melepaskan Ressa, dia akan meminta cerai kalau gue meniduri perempuan lain." Tian menggeleng pelan, tidak tahu jalur mana yang harus dia ambil. "Parahnya lagi mereka kakak adik, Erfan."

Pernyataan Tian yang terakhir membuat Erfan terperanjat. Tadi di rumah dia pikir Ressa mengenal Aruna karena mereka bersahabat seperti dengan Hira.

"Satu-satunya jalan gue harus menceraikan Ressa dan menikahi Aru kalau ingin menuruti keinginan Dea, atau gue tetap bertahan dengan Ressa dan anak gue kecewa yang bisa memicu keributan lain. Ressa sudah dibenci ibunya, dia akan bertambah tertekan kalau Aru dan Dea membencinya."

"Ressa maunya bagaimana?" Tanya Erfan, suami Hira itu ikut memijat pelipis karena bingung harus memberikan pendapat apa.

"Cerai."

"Mungkin jodoh kalian memang sampai di sini, dan keinginan dua orang itu terpenuhi." Erfan tertawa mirisnya dengan pendapat bodohnya.

"Ya, sebaiknya memang begitu. Gue titip Ressa, jangan biarkan dia pergi dari rumah lo, Fan. Dengan begini dia tidak akan terus terluka karena berada di sisi gue." Ucap Tian akhirnya setelah lama berpikir. Awalnya dia tidak ingin melepaskan Ressa. Namun semakin dijerat, Ressa akan semakin tertekan dengannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status