Aku tengah menyiapkan surat-surat kelengkapan untuk mengajukan proses perceraian. Selain membeli ponsel baru, sengaja tadi siang menyempatkan diri untuk memfotokopi beberapa berkas. Rencananya, besok pagi aku baru akan mengurus ini ke pengadilan agama.Namun, suara ketukan di pintu membuyarkan fokusku. Memang pintu kamar ini tadi sengaja dikunci. Setelah merapikan kembali surat-surat tersebut dan menyimpannya di lemari, segera kuayunkan kaki menuju pintu.Bang Leon sudah berdiri tepat di hadapanku dengan tatapan yang terlihat gelisah dan gusar."Ada apa?""Ada yang perlu kubicarakan," ujarnya pelan."Oh, iya. Aku lupa. Baiklah. Abang duluan saja turun. Sebentar lagi kususul."Bang Leon mengangguk pelan, lalu berbalik dan pergi. Sesaat sebelum menuruni tangga, dia kembali menoleh. Memandang dengan tatapan yang sulit kuartikan, lalu kembali melanjutkan langkahnya."Ayo, Sayang! Kita turun dulu temui papamu." Aku menggendong Alva yang sedang bermain di atas ranjang dengan bola-bola kecil
Alva merengek melihatku terisak sembari menggendongnya. Kubaringkan dia perlahan dan segera menyusuinya. Aku sudah mencoba mengontrol perasaan, tapi air mata ini tidak bisa diajak kompromi.Aku pernah mendambakan keluarga yang harmonis seperti Ibu dan Ayah. Mereka tetap setia sampai maut memisahkan, tapi aku? Aku gagal meraih impian itu. Alva harus kehilangan papanya di usia yang masih hitungan bulan."Maafin mama, Nak." Kukecup kepalanya lembut. "Bukan mama enggak sayang, tapi mama ingin merawat dan menjagamu dengan penuh senyuman, bukan tangisan. Mama akan terus terluka jika bertahan," lirihku seraya mengucek mata yang buram karena air mata."Saat kamu besar nanti, kuharap kamu bisa mengerti keputusan mama ini. Belajarlah dari kesalahan papamu, Nak. Belajarlah untuk memahami bahwa kesetiaan itu penting."Aku menyeka air mata saat menyadari ponsel bergetar. Nanny memanggil.Dia memang sahabat terbaik. Selalu tahu saat-saat di mana aku butuh sandaran."Assalamu'alaikum," sapanya setel
Setelah memasangkan tulisan 'rumah dijual' di gerbang, aku kembali ke dalam. Memasang iklan online supaya rumah ini bisa segera terjual. Setelah uangnya ada, aku bisa mencari rumah ukuran kecil yang lebih murah, atau bisa menyewa dulu jika rumah baru belum ada.Aku mengambil foto bersama Alva. Mempostingnya dengan caption 'sekuat apa pun kita menjaga dan menggenggam, yang harusnya pergi akan tetap pergi. Selamat datang masa depan!'Banyak komentar dari teman yang tak jarang bertegur sapa di komen. Terkadang, membaca komen mereka bisa memberikan semangat tersendiri.Bang Leon sendiri tak tahu kalau aku masih memiliki akun facebook. Dulu, dia memintaku menghapus akun karena tak suka saat banyak teman pria yang ikut berkomentar jika memposting foto dan status.Kini, aku jadi punya banyak waktu santai. Aku hanya membantu mengepel dan menyapu saja karena Alva sering bermain di lantai. Untuk pekerjaan lain, biarkan saja Mira yang mengerjakan nanti. Meskipun, sebenarnya mata dan tangan ini g
Setelah pembicaraan kami tadi, Mira tidak keluar kamar lagi. Aku yang merasa jenuh pun mengirim pesan pada Bang Leon akan pergi ke taman dan dia mengizinkan.Kuayunkan kaki menuju taman yang tidak begitu jauh. Cuaca cerah sore hari dengan semilir angin ini lebih mampu menentramkan pikiran. Jauh lebih baik daripada terus berada di rumah dan mendengarkan Mira yang terkadang terdengar melempar barang di kamar. Sepertinya, dia benar-benar kesal dan kecewa dengan Bang Leon.Itulah resikonya karena sudah berani mengganggu rumah tanggaku. Tak hanya dia yang akan terbakar sendiri, tapi Bang Leon juga. Mereka berdua pasti akan sangat menyesalinya tanpa aku harus membalas dengan perbuatan jahat.Alva tersenyum riang melihat banyak anak kecil bermain di taman. Dia meronta-ronta ingn turun, tapi jelas aku tetap menggendongnya. Kubawa Alva menuju ayunan di pojok taman karena area lain sudah diisi banyak pengunjung.Alva semakin senang saat ada penjual balon mendekat. Tangan mungilnya menunjuk-nunj
Tak ada lagi percakapan setelah itu. Kami sama-sama diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing."Apa kamu menyesal sudah mengenal abang, Dek?" Dia kembali membuka suara setelah cukup lama terdiam.Aku menggeleng. "Aku enggak menyesal pernah mengenal dan menjadi bagian hidup dari Abang.""Benarkah?"Aku mengangguk, lalu menatapnya datar. "Penyesalanku hanyalah ketika memberikan kepercayaan terlalu besar, tapi akhirnya disia-siakan."Senyum Bang Leon yang sempat terbit, hilang seketika dan berganti dengan raut wajah sendu."Hanya satu pesanku untuk kamu, Bang. Hargailah apa yang masih Abang miliki saat ini. Kebahagiaan enggak akan pernah datang pada orang yang enggak bisa bersyukur dan menghargai apa yang dimilikinya."Bang Leon menunduk dalam. Menyuapkan kembali nasi gorengnya dengan pelan."Jadikan ini sebagai pelajaran untuk kita berdua, Bang. Penyesalan ada supaya kita enggak mengulangi kesalahan yang sama. Dan kita sadar kalau rnggak semua hal di dunia ini bisa diulang kembali."B
Aku sudah berkeliling mencari kontrakan kosong yang cukup nyaman dan bersih, tapi tidak ada. Semuanya penuh. Kontrakan kosong justru ada di tempat yang kurang bersih dan rapi.Aku tidak merasa nyaman melihatnya. Jadi, memilih mencari ke tempat lain saja. Akan tetapi, ternyata semua tempat sama saja. Penuh.Aku tengah duduk di halte menunggu taksi yang lewat, tapi sebuah mobil pajero hitam tiba-tiba berhenti tepat di depanku. Kening ini berkerut melihat kaca jendela terbuka. Di mana sesosok pria di balik kaca mata hitam di dalam mobil itu tersenyum.Aku menoleh ke kanan-kiri, memastikan apakah pria ini memang tersenyum padaku atau orang lain. Tak ada siapa pun di sini.Siapa dia?"Lusi," sapanya setelah keluar dari mobil."Pak William?" Aku masih tak percaya mantan bossku itu bisa kebetulan ada di sini.Pantas saja aku sempat ragu, ternyata penampilannya sungguh sangat berbeda. Dahulu rambutnya cokelat terang, panjang dan selalu diikat. Akan tetapi, sekarang dia terlihat lebih berwibaw
Aku tengah memberikan Alva MPASI saat Bang Leon menghampiri kami."Ibu sama Bapak sebentar lagi sampai, Dek." Ia menarik satu kursi di depanku."Hm," sahutku singkat."Kamu jangan keceplosan, ya, Dek. Jangan sampai Ibu dan Bapak ...." Bang Leon tak melanjutkan ucapan saat menyadari sorot mata tajamku mengarah padanya."Maaf, Dek." Bang Leon tersenyum hambar, lalu kembali beranjak dari kursi. "Abang nunggu Ibu dan Bapak di depan aja." Ia berucap sambil mengusap tengkuk, lalu pergi menuju pintu seraya sesekali melirik pada kami.Tak berselang lama, Mira keluar dengan rok mini dan kaus tanpa lengan alias tanktop. Berjalan menghampiriku dengan gaya bak model seraya tersenyum puas."Aku baru beli perhiasan baru, lho, Mbak. Bang Leon yang kasih." Ia sengaja memperlihatkan, mengusap cincin dan kalung di lehernya."Siapa?""Apanya?" Ia bingung."Siapa yang nanya?" Aku tersenyum sinis."Ish!" Mira mengentakkan kaki dengan kesal. "Bilang aja Mbak sirik sama aku. Ya, 'kan? Ngaku aja, Mbak!" Mira
Setelah ceramah Bapak tadi, tak ada lagi percakapan di antara kami. Bapak dan Ibu lebih banyak menghabiskan waktunya bermain dengan Alva. Sementara, aku pergi ke supermarket untuk membeli bahan masakan. Bang Leon ingin mengantar, tapi kutolak dan memilih pergi dengan ojek saja. Mira sendiri tadi pamit pergi keluar. Meski sudah dilarang, tapi dia tetap bersikeras pergi.Aku pulang dengan kedua tangan menjinjing kantong plastik putih. Melihatku datang, Bang Leon yang tengah duduk dengan kedua orangtuanya pun bergegas bangun, lalu mengambil alih kantong belanjaan dari tanganku."Abang bantuin, ya, Dek." Bang Leon dengan semangat mengeluarkan semua bahan masakan dari dalam kantong plastik tersebut."Enggak usah," sahutku dingin."Enggak apa-apa. Biar Abang bantu, Dek. Potong-potong apa kek gitu." Dia bersikeras, lalu menarik kursi di sampingku dan duduk."Enggak usah. Sa