Setelah ceramah Bapak tadi, tak ada lagi percakapan di antara kami. Bapak dan Ibu lebih banyak menghabiskan waktunya bermain dengan Alva. Sementara, aku pergi ke supermarket untuk membeli bahan masakan. Bang Leon ingin mengantar, tapi kutolak dan memilih pergi dengan ojek saja. Mira sendiri tadi pamit pergi keluar. Meski sudah dilarang, tapi dia tetap bersikeras pergi.
Aku pulang dengan kedua tangan menjinjing kantong plastik putih. Melihatku datang, Bang Leon yang tengah duduk dengan kedua orangtuanya pun bergegas bangun, lalu mengambil alih kantong belanjaan dari tanganku.
"Abang bantuin, ya, Dek." Bang Leon dengan semangat mengeluarkan semua bahan masakan dari dalam kantong plastik tersebut.
"Enggak usah," sahutku dingin.
"Enggak apa-apa. Biar Abang bantu, Dek. Potong-potong apa kek gitu." Dia bersikeras, lalu menarik kursi di sampingku dan duduk.
"Enggak usah. Sa
Aku yang tengah membuat sarapan, terkejut melihat Ibu dan Bapak keluar dari kamar dengan menjinjing tasnya. Segera kuhampiri mereka dengan tatapan bingung."Ibu, Bapak, mau ke mana? Kenapa bawa tas?" tanyaku seraya memandang ke arah tangan Bapak yang menjinjing tas berukuran sedang."Bapak sama Ibu mau pulang," jawab Ibu pelan."Lho ... kok, pulang? Ibu dan Bapak 'kan baru datang kemarin siang.""Enggak apa-apa. Kami mau pulang saja," lirih Ibu."Bu, apa ini karena aku?" tanyaku pelan seraya maju mendekat, lalu meraih tangannya. "Apa Ibu dan Bapak kecewa denganku?"Ibu tersenyum. "Enggak, Nak. Ini bukan salahmu. Kamu berhak menentukan pilihan dan mencari kebahagiaanmu sendiri. Ibu dan Bapak akan mendukung apa pun keputusanmu. Kamu sudah kami anggap seperti anak sendiri." Ibu mengusap kepalaku lembut."Jadi ... Ibu dan Bapak tetap mau pulang sepagi ini?" lirihku dengan mata mengerjap cepat karena embun yang mulai menggenang."Iya," jawab Bapak. "Kami merasa malu dan bersalah atas apa y
"Maumu apa, sih?" tanyaku kesal."Jadilah modelku."Aku diam sejenak, lalu tertawa. "Terima kasih sudah menghiburku dengan leluconmu itu," ujarku, lalu pergi."Aku enggak bercanda." Pria itu menyejajarkan langkahnya denganku. "Aku memang lagi butuh model baru dan kamu itu cocok. Ayolah! Kamu akan kubuat terkenal dengan bayaran yang memuaskan.""Enggak. Makasih. Aku enggak tertarik," sahutku cuek tanpa menoleh padanya."Kamu dan bayimu ini bisa jadi model barengan, lho," bujuknya lagi."Enggak.""Oh, C'mon. Apa ruginya jadi model? Kamu akan dikenal banyak orang.""Aku bilang enggak, ya, enggak. Maksa banget, sih." Aku mendelik kesal padanya."Tolonglah ... aku butuh model yang fresh. Dan kamu sangat sempurna dan cocok untuk kriteria model yang kucari," rayunya seraya berjalan mundur di hadapanku.Aku berhenti melangkah, lalu menghela napas pelan. "Terima kasih atas tawaran baiknya. Tapi aku benar-benar enggak minat. Maaf. Aku enggak mau fokusku mengurus anak terganggu.""Enggak akan me
Sudah pukul setengah tujuh lewat, tapi Bang Leon belum juga pulang. Padahal, sebentar lagi orang yang mau survei rumah ini akan segera datang. Sudah coba kuhubungi, tapi tidak aktif. Tidak biasa-biasanya Bang Leon pulang setelat ini tanpa kabar apa pun.Aku turun untuk menanyakan hal itu pada Mira. Dia istrinya Bang Leon sekarang. Mungkin pria itu mengabari soal keterlambatan pulangnya pada wanita itu.Namun, baru saja hendak mengetuk pintu kamarnya, tangan ini seketika terhenti di udara saat samar-samar mendengar Mira tengah berbicara dengan seseorang. Kutempelkan telinga ke daun pintu supaya lebih jelas. Mira sedang tertawa dan berbicara dengan nada manja pada seseorang. Cukup membuat kaget ketika mendengar kata 'sayang' terucap darinya.Sayang? Mungkinkah itu Bang Leon? Tapi bukankah nomornya sedang tidak aktif?Pikiran negatif mulai merasuki kepala. Tak mau menduga-duga, segera kuhubungi kembali nomor Bang Leon untuk memastikan dan ternyata memang masih tidak aktif."Terus, siapa
Aku yang tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam koper pun terdiam sejenak. Mata memindai ke sekeliling kamar. Berbagai kenangan manis bersama Bang Leon saat kami masih bersama kembali hadir satu per satu bak cuplikan film. Menghadirkan desiran perih di hati dan mata yang terasa memanas.Begitu banyak kenangan di rumah ini. Sejujurnya, aku berat hati untuk menjual, tapi mau bagaimana lagi? Ini yang terbaik untuk kami berdua.Kuseka air mata, lalu kembali melanjutkan merapikan pakaian. Tak berselang lama, pintu kamar di ketuk pelan."Boleh abang masuk, Dek?" tanyanya dari luar kamar."Masuklah, Bang. Enggak dikunci!" sahutku tanpa menghentikan aktivitas.Kulirik sekilas Bang Leon yang sedang berjalan mendekat, lalu dia duduk di tepi ranjang. Alva seketika merangkak mendekat dan langsung naik ke pangkuannya. Bang Leon menciumi wajah bayi itu, lalu memeluknya erat.Aku memilih pergi menuju lemari. Berpura-pura mencari sesuatu lagi. Padahal, hanya ingin menyembunyikan mata yang
Aku yang tengah duduk santai menonton televisi, langsung menoleh saat mendengar pintu dibuka. Tak lama, Bang Leon dan Mira muncul. Keduanya tertegun yang hanya kubalas dengan senyuman miring."Kok, Mbak Lusi masih ada di sini, sih, Bang? Bukannya dia pergi tadi pagi?" Mira menggoyang-goyang lengan Bang Leon."Memangnya kenapa kalau aku masih di sini? Masalah buatmu?" sahutku santai."Dek ...." Bang Leon mendekat. "Apa kontrakannya ada masalah? Biar abang bantu carikan lagi.""Enggak perlu, Bang." Aku mengibaskan tangan."Kenapa? Nanti keburu pemilik rumah ke sini dan ngusir kamu, gimana?"Aku berdiri seraya menggendong Alva."Abang enggak usah pikirin aku. Kalian mau keluar sore ini, kan? Lebih baik cepat bereskan barang-barangnya dan pergi," titahku, lalu pergi meninggalkan keduanya dalam mode kebingungan.Masih bisa kudengar Mira mempertanyakan soal keberadaanku, tapi Bang Leon pun tidak tahu jawabannya.Setelah menyusui Alva, kubaringkan dia di box bayi, lalu pergi dan menutup pint
Ponsel Mas Firman berdering. Dia berbicara entah dengan siapa, tapi sepertinya membahas pekerjaan."Ada pertemuan mendadak, Pak. Bagaimana?""Kamu saja yang wakili saya.""Baik." Mas Firman mengangguk, lalu menatap padaku. "Maaf, Mbak. Saya pamit duluan. Mbak makan siang dengan Pak William saja.""Katanya tadi kamu yang lapar," tukasku pelan. Berusaha tak terlihat kesal."Iya, Mbak. Maaf. Pertemuannya dadakan. Permisi." Mas Firman membungkukkan badannya padaku, lalu bergegas pergi.Ish, tahu gitu mending tadi langsung pulang saja. "Lusi?""Y-ya?" Aku tergagap karena sempat menggerutu dalam hati."Ayo dimakan. Jangan dianggurin itu makanannya. Sayang sudah pesan." Pak William tersenyum."Iya, Pak." Aku mengangguk, tersenyum canggung, lalu mulai menikmati hidangan yang tersaji.Rasa kesal perlahan memudar saat kami mulai terlibat percakapan ringan. Dulu, kami memang akrab karena aku bekerja dengannya, tapi semenjak berhenti dan lose contact, aku jadi bingung dan merasa canggung sendiri
"Berhenti memaksanya seperti itu."Kami serempak menoleh, menatap Pak William yang berdiri tak jauh dari kami."Lepaskan tangannya." Mas William menghampiri kami dengan raut wajah dingin."Siapa kamu berani ikut campur urusan orang?"Aku mundur beberapa langkah seraya mengusap lengan setelah Austin melepas cekalannya."Siapa pun aku, itu bukan urusanmu," sahut Mas William.Keduanya saling melemparkan tatapan tajam dengan jarak yang sangat dekat. Aku berdiri tertegun sambil menelan ludah. Menatap khawatir ke sekeliling ketika perdebatan kami mulai semakin menjadi pusat perhatian.Bagaimana kalau mereka berkelahi di sini?Baru saja maju selangkah untuk memisahkan dan hendak mengucapkan sesuatu, mulut ini dibuat terkatup rapat lagi ketika melihat keduanya tiba-tiba tertawa bersama, kemudian berpelukan sebentar. Aku masih melongo di sini dengan mata mengerjap cepat beberapa kali. Keduanya menoleh, tapi malah semakin tertawa kencang saat melihatku bengong."Kenapa? Kaget, ya?" Austin mende
"Katakan ada perlu apa." "Anu, Dek. Abang ...." Dia menunduk seraya menggaruk kepalanya. "Abang dipecat dari kantor beberapa hari yang lalu," lirihnya dengan tatapan sendu. "Dipecat? Kenapa?" tanyaku kaget. Bang Leon menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan dengan wajah menengadah ke atas. "Abang ketahuan terlibat korupsi, Dek." "Apa?!" sahutku kaget. "Enggak besar, Dek. Hanya seratus juta saja." "Enggak besar kata Abang?" Aku tertawa miris. "Seratus juta itu bukan uang yang sedikit, Bang. Mau seribu perak pun yang namanya korupsi, ya, tetap korupsi! Abang kenapa bisa sampai meelakukan hal bodoh itu, sih? Sejak kapan Abang berani ambil uang haram?" cecarku dengan tatapan tajam. "Abang terpaksa, Dek. Abang juga enggak pernah berniat melakukannya." "Lalu?" desakku geram. "Mira, Dek. Mira selalu nuntut ini itu. Uang gajian Abang selalu habis untuk foya-foya. Dia selalu beli barang-barang mahal yang harganya bikin Abang syok." "Ya, jangan Abang turutin, dong! Abang