Share

A Truth

   “Jangan bicara sekarang! Bisa saja ruangan ini sudah disadap seseorang,” sela Andi membuat Aghata berhenti bicara.

   “Aku memang tidak berniat menjelaskan di sini.” Aghata menjawab dengan dingin.

   Andi berdecak sambil menatap Aghata dengan tajam. Tiba-tiba Andi merasakan rasa sakit yang menjulur ke seluruh tubuhnya, ketika berusaha mengingat saat tertikam dan jatuh di pangkuan Aghata. Dan untuk pertama kali Andi bisa melihat tatapan hangat dari sosok Aghata yang lebih cenderung bersikap dingin. Berapa banyak lagi kepingan misteri yang Aghata sembunyikan? Wanita yang cantik di depannya, bukanlah wanita yang hanya memikirkan percintaan. Akan tetapi di mata Andi, Aghata adalah wanita yang mempunyai banyak rahasia.

   “Aku akan pesankan makanan untukmu, karena aku tahu makanan rumah sakit sangatlah tidak enak rasanya.” Aghata beranjak dari kursi sambil merapihkan rambutnya.

   Lamunan Andi menjadi buyar ketika Aghata berbicara, ia melihat Aghata sambil berkata, “Suapi aku!” Andi tersenyum melipat kedua tangan di atas rusuk.

   Iris mata Aghata kembali dibuat tajam. “Jangan harap!” kata Aghata sedikit menekan suaranya.

   “Tega sekali kamu, aku ini pasien dan penyelamatmu juga.”

   “Diam saja di sini dan jangan berharap apapun! Buang pikiranmu tentang aku yang akan merawatmu, sebelum aku menendang tulang keringmu!” Aghata pergi setelah mengecam. Andi ingin mengatakan sesuatu lagi, akan tetapi Aghata tidak melihatnya lagi. Memang perlakuan hangat tidak bisa didapatkan dari Aghata, perangainya yang seperti es sangat sulit dilelehkan.

***

   Sudah lewat dua hari sejak Andi keluar dari rumah sakit. Di dalam ruangan berbentuk persegi, sinar mentari menyorot melalui tirai jendela kamar Andi. Sementara Andi duduk di tepi ranjang sambil membuka perban yang melingkar di pinggang. Ia berniat untuk mengganti perban yang sudah kotor. Tetapi setiap kali Andi melintir pinggangnya sedikit, rasa sakit terus membuatnya meringis. Meskipun tidak sesakit saat tertikam, tapi tetap saja ia bisa merasakannya.

   “Diamlah! Aku yang akan mengganti perbanmu,” ucap Aghata berjalan masuk sambil meletakkan makanan di meja.

   Aghata ikut duduk di sebelah Andi, ia merengut perban kotor di tangan Andi yang masih melingkar di pinggang. Tubuh Andi spontan mengubah arah sehingga membelakangi Aghata. Tanpa sepatah kata, Aghata cepat melepaskan perban di pinggang Andi, menggantinya dengan yang bersih.

   “Kamu belum menceritakan semuanya dengan jujur,” ucap Andi memecah keheningan.

   Aghata sempat terdiam, kemudian lanjut membalutkan perban yang bersih. “Aku belum selesai mengganti perbannya!” Aghata mengencangkan perban yang melingkar di pinggang Andi, membuatnya meringis kesakitan.

   Tak lama setelah Aghata selesai mengganti perban Andi, ia pindah posisi di sofa depan Andi. Sementara Andi masih sibuk memakai baju. Sesekali Andi melihat Aghata dengan penuh tanda tanya, apakah ini saatnya ia tahu kebenaran tentang Aghata? Andi merasa gugup sampai tak bisa melihat Aghata setelah pikirannya bercabang.

   “Siapa empat pria yang mengejarmu sampai ke gedung malam itu?” tanya Andi.

   Aghata menatap Andi yang sangat membutuhkan jawaban darinya, ia berdengus sambil menjawab, “Ingat rentenir bernama Baron yang menjadi korban tembak lari di sebuah bar?” Andi mengangguk. “Aku mendengar percakapan Baron dan seorang ibu hamil. Baron memberikan pinjaman pada ibu hamil itu. Akan tetapi saat ibu hamil itu ingin membayar lunas hutangnya, pria dengan nama Baron meminta bunga sebesar tujuh puluh persen dari hutang si ibu hamil. Aku tak bisa menahan diri melihat orang lemah ditindas seperti itu, terlebih lagi dia sedang mengandung seorang anak.”

   “Jadi kamu membunuhnya?”

   Aghata mengangguk cepat. “Dan empat pria itu adalah orang yang dikirim oleh rekan Baron untuk membunuhku. Sepertinya orang yang mengirim mereka berempat bernama Regi, karena pria bertubuh besar selalu menyebut nama itu sebagai orang yang memberi informasi.”

   Andi melipat kedua tangan di atas rusuk, kerutan di wajahnya mulai timbul saat ia berpikir keras. “Kalau orang yang bernama Regi bertugas sebagai pemberi informasi, dia adalah tersangka utama yang melihatmu keluar dari ruangan Baron?”

   “Mungkin saja! Aku ingat berpapasan dengan seorang pria tinggi bermuka masam saat keluar dari ruangan Baron. Tapi tenang saja! Aku bisa menemukan keberadaan Regi melalui ponsel ini.” Aghata menunjukkan sebuah ponsel, membuat Andi semakin berpikir keras.

   Sewaktu ingin membawa Andi ke rumah sakit saat ditikam, Aghata sempat mengambil ponsel pria bertubuh besar untuk menggali informasi tentang rekan mereka. Terdapat nama Regi di riwayat panggilan, dan nama Regi juga disebut-sebut pria bertubuh besar sebagai orang yang berpapasan dengan Aghata saat insiden pembunuhan terjadi.

   Sementara Andi terus menatap Aghata dengan kening berkerut. “Lalu untuk apa ponsel itu?”

   “Tentu saja aku akan melacak keberadaan Regi melalui nomor teleponnya!”

   Wajah Andi tidak terlihat senang, ia masih penasaran dengan satu hal. Mungkinkah Aghata memiliki maksud tersendiri sampai bertahan di kota ini? Jika terus memendam isi pikirannya, Andi tidak akan mendapatkan jawaban sedikitpun, melainkan hanya teka-teki tanpa jawaban. “Apa tujuanmu di kota ini hanya memberi hukuman pada penjahat? Atau ada alasan lain?” tanya Andi.

   Aghata sedikit terkejut, ia sudah mempersiapkan jawaban untuk Andi. Tetapi Aghata tidak menyangka Andi akan bertanya hal itu secepat ini, karena alasan Aghata bertahan hidup di kota E bukanlah alasan yang sepele. Sikapnya yang dingin tentu saja tidak akan membuang waktu bertahun-tahun untuk hal yang mengusik ketenangannya.

   Tanpa basa basi Aghata langsung mulai bercerita, mulai dari kematian orang tuanya. Ayah Aghata meninggal saat usia Aghata menginjak 10 tahun. Semenjak saat itu, ibu Aghata menjadi seorang janda yang memiliki satu anak yaitu Aghata. Jabatan ibunya adalah pemimpin Alto Grup, dia menikah dengan seorang pria dari keluarga terpandang. Awalnya Aghata berpikir pernikahan itu sangat baik untuk Sang Ibu dan dirinya. Sampai ibunya Aghata rela menyerahkan jabatannya pada pria itu.

   Beberapa bulan sebelum kematian Sang Ibu, Aghata melihat ayah tiri dengan seorang wanita yang memiliki jabatan sebagai HRD tengah berbincang di ruang kerja pribadi ayahnya. Pembicaraan mereka terlalu berat untuk ditangkap Aghata saat itu, jadi Aghata hanya tak acuh. Sampai suatu hari, Aghata mendapat kabar kalau ibunya ditemukan tak bernyawa di sebuah gedung yang terbengkalai. Pantas saja seharian ia tak melihat batang hidung Sang Ibu tercinta.

   Bercak darah di gaun putih ibunya membuat Aghata menangis tersedu-sedu, ia bahkan tak mengerti kenapa seseorang berbuat jahat pada ibunya. Dan berita kematian ibunya cepat menyebar, hal itu membuat ayah tiri Aghata berpikir tak logis. Ia menyangka kalau kematian sang istri akan melibatkan dirinya dalam keadaan yang buruk, maka dari itu dia sengaja mengusir Aghata dari kediamannya.

   Begitulah akhirnya Aghata bisa hidup di kota E. Dia melatih dirinya selama bertahun-tahun. Meretas, bela diri, menembak, semua sudah ia pelajari guna mencari informasi tentang kematian ibunya. Akan tetapi berita kematian ibunya tidak meninggalkan jejak, semua artikel hilang begitu saja dalam beberapa jam. Tentunya semua itu dilakukan oleh orang dari Alto Grup.

   “Jadi bisa disimpulkan ada yang membunuh ibumu saat jabatannya diambil alih oleh ayah tirimu?” tanya Andi.

   “Benar! Aku merasa ada yang janggal dengan kematian ibuku, karena menurut sepengetahuanku, ibuku tidak memiliki musuh selama memimpin Alto Grup. Semenjak aku mengangkat kaki dari rumah ibuku, aku membuat sebuah misi yang besar. Tapi sayang sekali aku harus menundanya, karena aku tak bisa gegabah untuk menjalankan misi itu.”

   Andi merasa bingung sambil memajukan tubuhnya sedikit, ia menatap Aghata dengan serius tanpa berkedip. “Misi besar? Apa misi itu?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status