Share

Become a Shield?

   Pria bertubuh besar dan wanita itu langsung berpaling melihat seorang pria di belakang pria bertubuh besar. Dan tentunya benar! Nama dari wanita bertopeng adalah Aghata. Kini bertambah satu orang lagi yang mengetahui identitas Aghata sebagai wanita bertopeng.

   Mata Aghata dan pria itu bertemu, beradu dengan mulut yang membisu. Tatkala kegelisahan datang, Aghata berkata, “Andi?”

   Tepat sekali! Pria yang berdiri terpaku di belakang pria bertubuh besar adalah Andi, seseorang yang dianggap sebagai keluarga oleh Aghata. Andi tak bisa berkata-kata, lidahnya terasa kelu dan tenggorokan terasa kering. Dibanding dengan rasa takut ketika dikepung, Aghata lebih takut jika identitasnya diketahui, terlebih lagi oleh orang yang berharga bagi dirinya.

   Sementara pria berkumis tipis di belakang Aghata bangkit, mengambil pisau yang tergeletak di lantai. Ujung pisau yang tajam melayang di udara, mengarah ke tubuh Aghata. Akan tetapi Andi dengan cepat menyadari hal itu, dan berlari ke arah Aghata. Andi memeluk dan mengubah arah pandang Aghata, sehingga Aghata bisa melihat pria berkumis tipis berdiri di hadapannya.

   Mata Aghata dan pria berkumis tipis beradu tanpa suara dan makna. Awalnya Aghata tidak menyadari sesuatu, sampai Andi merintih kesakitan dengan suara serak. Perasaan buruk mulai menyelimuti Aghata. Ia teringat satu film yang pernah ditonton. Ada salah satu bagian dalam film itu terjadi saat ini. Di mana bagian itu adalah penikaman pada orang yang sudah ditandai sebagai target. Akan tetapi target yang sudah ditandai meleset, dan mengenai orang lain yang berkorban untuk si target.

   Sayang sekali! Aghata telat menyadari bagian itu. Perlahan dia menyentuh punggung Andi, simbah darah melekat di tangannya. Aghata terkejut bukan main! Tubuh Andi langsung terhuyung membuat Aghata jatuh ke lantai sambil memangkunya.

   Aghata ingin menangis, akan tetapi kemarahan lebih menguasai dirinya. Menyesal? Tentu saja! Jika Aghata menyadari lebih awal tindakan pria berkumis tipis, ia tidak akan membiarkan Andi menjadikan tubuhnya sebagai perisai. Dengan cepat Aghata merobek sebagian baju di balik mantel, membalut luka Andi untuk menghentikan pendarahan sementara.

   Iris mata Aghata menatap tajam ke arah pria berkumis tipis, kemudian berdiri setelah menepikan tubuh Andi yang masih setengah sadar. Semua jemari tangan Aghata mengepal, menahan amarah yang sudah di ujung tanduk. Perkataan Aghata tentang melukai dirinya bukanlah semu! Meski yang terluka adalah Andi, akan tetapi pisau yang menggores bagaikan kunci untuk membuka kandang singa.  

   Tanpa mengulur waktu Aghata langsung meluncurkan peluru pada pria berkumis tipis, kemudian bergilir ke arah pria bertubuh besar. Kedua pria itu terkulai lemas di lantai akibat tembakan di tulang kering, sehingga mereka berada di ambang kematian.

   Aghata menghampiri pria bertubuh besar lebih dulu. Ia menginjak batang leher pria itu dengan satu kaki. Kemudian menekan kakinya dengan sekuat tenaga sampai pria bertubuh besar kehabisan napas. Karena belum puas, moncong pistol diletakkan di dada pria itu tanpa membidik melalui mata. Jemarinya menarik pelatuk, membuat darah segar menyembur.

   Kini tinggal tersisa pria berkumis tipis, Aghata menghampirinya sambil menyeringai. Karena pria itu adalah pelaku utama yang menikam Andi, maka akan diberikan perlakuan istimewa dari Aghata. Ia meletakkan moncong pistol di dada pria itu, meluncurkan peluru pertama sampai darah bersimbur memberi motif pada lorong yang polos.

   Dan untuk peluru kedua, Aghata membuka paksa mulut pria itu, sebagai tempat memuntahkan peluru. Suara pistol meredam di dalam tenggorokan pria itu. Perlahan darah segar mengucur melalui mulut pria itu.

   Tentunya tidak sampai situ perlakuan istimewa dari Aghata. Ia memecahkan kaca transparan yang ada di hadapannya dengan kaki, kemudian menyeret pria itu dan melemparnya ke tanah dengan ketinggian 15 meter. Suara mayat pria itu yang jatuh menyentuh tanah membuat seringai tipis di wajah Aghata. Kegelapan kala itu seakan bersahabat dengan Aghata, si wanita bertopeng berdarah dingin.

***

   Dinding putih menemani setiap langkah Aghata yang bergerak cepat. Roda kecil berjumlah empat membawa Andi ke ruangan ICU. Perawat menyuruh Aghata menunggu sampai dokter selesai menyelamatkan nyawa Andi.     

   Cemas? Tentu saja! Tapi apa boleh buat, Aghata hanya berdiam sambil menunggu. Ia pergi ke toilet untuk membasuh wajah dengan air. Cermin berbentuk persegi panjang terbentang di dinding depannya. Tiba-tiba ia teringat saat Andi tertikam, hal itu mengingatkannya pada luka tikam di perut ibunya.

   Ingatan itu bagaikan roll film, berwarna hitam putih yang membawa Aghata menyelami kisah kelam. Garis pembuluh darah bermunculan seperti kilat, ketika ia berusaha menahan trauma yang mencekamnya. Tangan Aghata berusaha melonggarkan lingkar pakaian agar bisa bernapas luas.

   Hampir 10 menit ia menahan rasa trauma yang mencekam dirinya. Energi Aghata terkuras habis melalui keringat yang bercucuran. Dan akhirnya trauma itu mulai hilang secara perlahan. Ia kembali membasuh wajah yang sempat memucat dan kembali menghampiri ruangan di mana Andi berada.

   Aghata tiba di ruangan Andi bersamaan dengan dokter yang mengobatinya keluar dari ruangan Andi. Dengan segera ia mendekati dokter itu ingin tahu keadaan Andi.

   “Dokter, bagaimana keadaan teman saya?” tanya Aghata.

   “Syukurlah kamu cepat membawanya ke rumah sakit, kalau tidak? Bisa saja teman kamu tidak tertolong,” ucap dokter itu.

   Aghata bisa menghela napasnya sejenak, dan kembali bertanya, “Lalu apakah lukanya sangat parah?”

   “Tidak terlalu parah, pisau yang menikam punggungnya tidak terlalu dalam. Tapi mungkin butuh beberapa jam untuk dia kembali sadar.”

   “Apakah saya sudah bisa melihatnya ke dalam?”

   “Silahkan!”

   Aghata masuk dengan ragu, perlahan celah-celah pintu terbuka. Jauh mata Aghata memandang, Andi terkulai lemas di atas ranjang. Aghata memberanikan diri untuk mendekati Andi. Tangan Andi terlihat lebih pucat dengan jarum terbalut plester cokelat. Aghata melirik tiang impusan di sebelah Andi, membuatnya berdengus tak bisa berkata-kata.

   Aghata menarik kursi untuk duduk di sebelah Andi. Tangan Aghata ingin menyentuh impusan di punggung tangan Andi. Namun ia ragu dan kembali meletakkan tangannya di tepi ranjang. Ia menatap wajah Andi yang tak sadarkan diri.

   Bagaimana bisa Aghata tidak menyadari sosok Andi yang membuntutinya? Dan kenapa Andi harus mengorbankan dirinya? Rasa kesal karena tidak bisa melindungi orang terdekatnya mulai bermunculan, kepala Aghata terus menunduk. Tak jemu ia menunggu Andi sampai sadarkan diri, menebus rasa bersalah karena menempatkannya dalam posisi yang berbahaya.

   Walaupun Aghata lebih cenderung bersikap dingin, akan tetapi Aghata tak ragu menaikan selimut di tubuh Andi agar ia tidak merasa dingin. Tangan Aghata ditumpuk menjadi satu di tepi ranjang, sebagai bantal untuk menopang kepalanya yang ingin beristirahat.

***

   Raja siang keluar dari ufuk timur, sinarnya menembus jendela besar yang transparan ke ruangan di mana Andi dirawat. Andi mengerutkan kening sambil membuka kelopak mata. Ia merasa tak asing dengan bau obat di dalam ruangan itu, di mana ruangan itu tak lain dari rumah sakit. Baru saja terlintas di pikirannya, bahwa alasan dia berada di rumah sakit karena ditikam seseorang. Entah sudah berapa lama ia terbaring, tapi bisa merasakan tubuhnya remuk.

   Ketika Andi melihat sisi ranjang, ia mendapati Aghata yang sedang tertidur pulas di sebelahnya. Lesung pipi mulai timbul saat Andi tersenyum, jemari Andi menyapu rambut Aghata yang menutupi wajah. Tak sengaja jari Andi menyentuh pipi Aghata yang mulus, membuatnya terbangun dari tidur. Andi langsung menarik tangannya dan berpaling melihat ke arah lain. Sementara Aghata masih mengumpulkan kesadaran.

   “Kamu sudah sadar?” tanya Aghata.

   “Baru saja. Seharusnya kamu pulang saja ke rumah dan istirahat, tapi kenapa malah menemaniku di sini?”

   Andi ingin mengangkat tubuhnya sedikit ke atas, akan tetapi ia terlihat kesusahan. Dan Aghata berniat untuk membantu Andi membenarkan posisi tubuhnya. Entah karena gugup atau bahkan takut, Andi kerap berpaling saat Aghata menatap matanya. Lalu Aghata menyadari sesuatu, kalau tubuh Andi sedikit bergemetar saat dilihat lebih dekat. Hal itu membuat Aghata berpikir kalau Andi merasa takut jika dekat dengannya.

   “Kenapa kamu harus bertindak ceroboh seperti itu?” marah Aghata dengan raut wajah tak bersahabat.

   “Lalu aku harus bagaimana? Diam ... menyaksikanmu ditikam oleh pria itu?” Mata Andi menatap Aghata yang berbalik marah. Sementara Aghata tak tahu harus menjawab apa. Hal itu membuat Andi sedikit geram akan sikap Aghata yang selalu terlibat hal berbahaya.

   “Jangan lupa kamu masih berhutang penjelasan padaku!” tandas Andi.

   Mana mungkin Aghata lupa kalau ia harus menjelaskan semuanya tanpa ada yang terlewat. Aghata menunduk sambil berkata, “Aku ...”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status